Oleh: Dewi Annisa Putri
Judul | : Rings |
Sutradara | : F. Javier Gutierrez |
Penulis Skenario | : David Loucka, Jacob Estes, dan Akiva Goldsman |
Pemeran | : Matilda Anna Inggrid Lutz, Alex Roe, Johnny Galecki, dan Bonnie Morgan |
Rilis | : Februari 2017 |
Durasi | : 102 menit |
Seharusnya Rings bisa menjadi obat rindu bagi para penggemar setia The Ring dan The Ring Two. Sayangnya, film yang telah dinanti belasan tahun ini malah melipatgandakan rasa kecewa penonton.
Dua belas tahun berlalu sejak The Ring Two tayang dan menuai banyak kritik lantaran dinilai tak semenakutkan film pertamanya. Padahal kala itu, tepatnya tahun 2005, film ini disutradarai oleh Hideo Nakata—sutradara film Ringu (1998) dan Ringu 2 (1999).
Sebelumnya, pada 2002, The Ring yang disutradarai oleh Gore Verbinski sukses dan mendapat apresiasi besar para penikmat horor. Buktinya,The Ring berhasil memenangkan 14 penghargaan dan masuk dalam 11 nominasi lainnya. Hingga kini sosok hantu Samara yang diciptakannya masih membekas di benak penonton dan menjadi yang paling menyeramkan.
Sebenarnya kegagalan Nakata bukan karena ia tak bisa menciptakan suasana horor dalam film. Hanya saja ia melakukan hal yang sama persis dengan Verbinski. Tak ada sesuatu yang baru dan bisa membuat penonton mendapat kejutan. Apalagi, The Ring Two terkesan lebih banyak menceritakan hubungan psikologis antara ibu dan anak—Rachel dan Aidan—di dalamnya. Sehingga penampakan Samara pun menjadi biasa saja dan film berjalan tak begitu menegangkan.
Kini, Samara Morgan hadir kembali dalam film ketiga yaitu Rings yang disutradarai oleh F. Javier Gutierrez. Tentu saja setelah kegagalan yang ditanggung The Ring Two, para penggemar mengharapkan film ini dapat membayar kekecewaan mereka dua belas tahun silam.
Sayangnya, Rings malah lebih mengecewakan lagi. Memang, sang sutradara ingin membuat semua yang ada di film ini serba baru. Mulai dari cerita yang terpisah dari film terdahulu hingga para pemainnya. Hanya ada empat orang yang sama dari film sebelumnya. Di antaranya Laurie MacDonald dan Walter Parkes sebagai produser, serta Bill Sturgeon dan Bart Mix sebagai make up efek artis.
Perihal para pemain, kealpaan Naomi Watts dan David Dorfman tampaknya berdampak besar. Di dua film sebelumnya, mereka berperan sebagai Rachel Keller dan Aidan. Acting keduanya cukup memberi kontribusi besar bagi keberhasilan film, karena berhasil membangun ketegangan dengan ekspresi mereka yang maksimal. Chemistry keduanya sebagai pasangan ibu dan anak pun begitu terasa lekat.
Sedangkan dalam Rings, aksi Matilda Lutz dan Alex Roe yang memerankan Julia dan Holt sebagai sepasang kekasih, tak berhasil membuat penonton ikut membatin. Efek horor yang mereka buat dari melalui mimik dan gestur tak bisa menggantikan kengerian yang diciptakan oleh Rachel dan Aidan.
Sebenarnya, skenario film Rings bisa dibilang lumayan bagus sebab jalan ceritanya tidak mudah ditebak. Namun, penonton akan kebingungan karena film ini masih menggunakan ‘video rekaman’ yang sama. Video rekaman ini selalu hadir dalam setiap film dan menjadi alat Samara untuk datang ke dunia nyata. Satu hal yang menggelikan adalah, dalam Rings, kini video rekaman ini dapat dengan mudah dikopi dengan flashdisk dan bahkan muncul di telepon genggam.
Selanjutnya, sudah lekat di ingatan penonton bahwa Samara mati di dalam sumur setelah didorong oleh ibunya. Sementara di film ini, penyebab kematian Samara ternyata berbeda. Bahkan, ia mempunyai ayah yang berbeda dari yang telah terungkap pada film kedua.
Tak hanya Samara, ibunya yaitu Evelyn juga diceritakan mengalami hal yang berbeda. Bahkan bila kita melihat dengan jeli, Evelyn juga tampil beda dengan rambut keriting merah dalam film ini. Padahal, sebelumnya ia berambut hitam pekat. Tentu saja penonton yang sudah akrab dengan masa lalu Samara sebelumnya jadi sulit mencerna cerita baru ini.
The Ring sendiri awalnya digarap karena film versi Jepang-nya, Ringu, dikenal sebagai film hantu paling menyeramkan pada masanya. Maka versi Amerika-nya pun digarap dengan harapan akan mendapat keuntungan besar pula. Misi pertama berhasil. The Ring sukses menimbulkan kengerian luar biasa yang membekas di benak penonton.
Tentu saja yang menjadi poin penting penilaian untuk film horor adalah tingkat keseraman film itu sendiri. Namun, justru hal itulah yang menjadi kelemahan trilogi film ini. Film pertamanya diapresiasi sebab berhasil membuat penonton bergidik, takut, deg-degan, dan kaget dalam waktu bersamaan dan sepanjang film berlangsung.
Sungguh, sekali lagi, sangat disayangkan Rings harus hadir mengecewakan seperti ini.