Oleh: Ika Putri A Saragih
Awal tahun 2016 masyarakat republik ini ramai-ramai mencurahkan perhatian terhadap kasus “Kopi Maut”. Banyak sebabnya, salah satunya media yang secara masif dan kontinu menyiarkan pemberitaan ini hingga menggiring opini publik menjadi “Para hakim”.
Saya sempat merasa kesal melihat pemberitaan “Kopi Maut” di salah satu televisi berita swasta negeri ini. Sepanjang sore hari itu, saya menyaksikan bagaimana kasus tersebut dianalisis dan didalami dengan menghadirkan pakar-pakar yang berkaitan dengan peristiwa kopi maut. Di akhir, seolah-olah mereka telah menemukan benang merah dan terang benderanglah siapa dalang pemberi racun ke dalam kopi naas itu.
Padahal, penyidikan pihak kepolisian belum rampung dilakukan. Lalu, selang beberapa hari setelahnya muncul judul bombastis “J pembunuh M?” saat teman si korban ditangkap kepolisian. Wah. Walau sudah ditetapkan sebagai tersangka, tapikan belum ketuk palu di pengadilan kalau JKW adalah terdakwa, kan?
Kejadian-kejadian seperti ini bukan satu dua kali terjadi dalam pemberitaan media massa. Dalam istilah jurnalistik hal itu disebut dengan trial by the press. Secara harfiah trial by the press diartikan sebagai pengadilan oleh pers. Dalam konteks ini, pers diibaratkan sebagai lembaga peradilan yang tugasnya mencari bukti, menganalisa dan mengkaji sendiri untuk kemudian membuat sebuah keputusan. Ya seperti contoh yang saya kemukan di atas.
Trial by the press biasanya muncul dalam kasus-kasus yang dialiri perhatian masyarakat secara deras. Dalam kasus-kasus tersebut, masyarakat akan menanti informasi keseluruhan mengenai kejadian perkara. Dan sebagai salah satu lumbung informasi, pers memang punya kewajiban untuk memuaskan dahaga akan informasi kepada masyarakat. Apalagi, dahaga informasi ini nantinya akan berdampak pada masa depan media. Sederhananya kalimat itu bermaksud ‘rating’.
Namun sejatinya, dalam dunia hukum dan pers ada istilah asas praduga tak bersalah. Dalam pers sendiri, asas praduga tak bersalah sudah lama menjadi perdebatan panjang. Berdasarkan Jurnal Dewan Pers yang dirilis November 2010 lalu, hal tersebut belum mencapai titik temu. Ada yang berpendapat, asas praduga tidak bersalah dalam pers berarti, pers tidak boleh memberitakan secara lengkap seseorang yang sedang dalam proses hukum, mulai tingkat penyidikan di kepolisian hingga tingkat pemeriksaan dipengadilan. Alasannya, sesuai dengan bidang hukum, sesorang belum dinyatakan bersalah selama belum ada tetapan dari pengadilan.
Kubu ini meyakini pers harus merahasiakan identitas tersangka, tertuduh dan terdakwanya. Sayangnya proses mencapai keputusan dalam suatu perkara bukanlah hal yang mudah. Belum lagi kalau kasus itu harus ditinjau kembali, bisa-bisa memakan waktu lima sampai sepuluh tahun. Barang tentu lenyap sudah keingintahuan dari masyarakat.
Sementara kubu lain berpendapat asas praduga tidak bersalah sama sekali tidak membatasi pers selama tunduk pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pendapat ini dinilai terlalu umum, walaupun sama-sama berniat taat pada KEJ tapi penerapan asas praduga tidak bersalah sesama pers mungkin berbeda bahkan mungkin bertolak belakang.
Lebih lanjut dalam jurnal itu dipaparkan untuk menjaga tidak terjadi penghakiman dalam meda massa, pasal 3 ayat (7) KEJ PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) menyebutkan bahwa berita tentang pemeriksaan perkara pidana harus dijiwai prinsip praduga tak bersalah. Karena seseorang tersangka baru dianggap jika terbukti bersalah dalam keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan tetap.
Kemudian dilanjut ayat selanjutnya yang mengatakan bahwa penyiaran nama secara lengkap, identitas dan gambar dari seorang tersangka dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan dihindarkan dalam perkara-perkara yang menyangkut kesusilaan dan menyangkut anak-anak yang belum dewasa. Hal demikian untuk menghindari trial by the press.
Namun penerapan kedua pasal tersebut tersandung jika si tersangka adalah orang terkenal seperti artis atau politisi dan kasus yang cukup mendrama seperti kopi maut. Maka dari itu, trial by the press masih belum menemukan pijakannya.
Dalam hemat saya, trial by the press ibarat dua sisi mata uang. Rentetan informasi yang disampaikan oleh pers memberi informasi yang cepat meski belum tentu akurat kepada masyarakat. Ya, meskipun saya kesal karena pemberitaan yang menghakimi itu namun saya mungkin juga Anda tak bisa menafikkan kelanjutan ‘drama’ kasus itu. Usaha-usaha penyelidikan yang dilakukan pers pun mungkin bisa membantu pengadilan untuk menetapkan putusan.
Di sisi yang lain trial by the press ini mencederai hak asasi manusia. Sebab ia telah menjatuhi vonis pada seseorang yang belum tentu bersalah. Namun penjatuhan vonis dari pers ini cukup efektif juga untuk diberikan kepada pelaku kejahatan yang dianggap kejam dan tercela melebihi batas kemanusiaan. Misalnya, pada koruptor atau pelaku kejahatan terhadap anak.
Pun ‘kemeriahan’ pemberitaan di media massa akan berdampak pada gandrung media sosial yang terjadi di era masyarakat melek telepon pintar ini. Cek saja sudah berapa banyak akun instagram yang mengatasnamakan JKW, penggunaan tagar kopi maut yang ujung-ujungnya menyindir JKW hingga meme-meme yang dibuat berdasarkan kasus itu. Lalu bayangkan jika JKW adalah salah satu anggota keluarga kita.
Maka sebagai penonton kita harus melihat sajian oleh pers secara kritis dan skeptis mengingat informasi tak selamanya mutlak kebenarannya. Sebab sulit melepaskan embel-embel kepentingan media dalam sebuah penyampaian informasi. Sebagai bagian dari insan terpelajar juga, mahasiswa khususnya tidak menjadi bagian dari budaya tiru yang akhir-akhir banyak menjangkiti masyarakat. Selain itu, trial by the press bisa dianggap sebagai salah satu cermin bagi para penegak keadilan di negeri ini bahwa pers beserta rakyat mengawasi kinerja mereka.
Terakhir bagi pelaku dan penyelenggara media massa, guna meminimalisir penghakiman agaknya tidak mendramatisasi kasus yang terjadi. Sederhana saja, hindari judul yang bombastis, hati-hati saat menggali informasi latar belakang kehidupan si tersangka karena banyak media yang memanfaatkan sisi ini hingga akhirnya menjadi sebuah kisah yang bernilai humanis, hindari pemakaian musik dan efek tertentu dalam sajian pemberitaan dan yang paling sulit dilakukan mungkin, melepaskan ‘kepentingan’ dalam tiap pemberitaannya.
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan lmu Politik 2013. Saat ini aktif sebagai Bendahara Umum di Pers Mahasiswa SUARA USU 2016.