Oleh: Rati Handayani
Janji Presiden Mahasiswa (Presma) Brilian Amial Rasyid saat pelantikan kabinet, Sabtu 11 Oktober lalu: Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU akan jadi pusat pergerakan mahasiswa, harus cepat direalisasikan. Salah satunya memperjuangkan unsur mahasiswa jadi anggota Majelis Wali Amanat (MWA).
Pema USU harusnya berkaca dari aksi pemberian “kado” berupa pakaian dalam perempuan oleh Kajian Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS) bersama Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi (Gemaprodem) dari Fakultas Ilmu Budaya Selasa, 21 Oktober lalu. Itu tak hanya masukan, tapi peringatan keras!
Pema USU dinilai diam dan tak bergerak perjuangkan hak mahasiswa. Pema USU dinilai tengah “sakit”.
Lewat “kado” itu, KDAS dan Gemaprodem menuntut Pema USU bergerak bersama mahasiswa untuk memperjuangkan hak mahasiswa cabut UKT dan tuntut transparansi keuangan USU. Walau ini baru satu aksi yang nyata, tapi inilah manifestasi mahasiswa yang tengah resah dan bertanya-tanya kabar Pema USU saat ini.
Selain tentang tuntutan itu, saat ini, ada pekerjaan rumah atau PR Pema USU lainnya. PR itu ialah memperjuangkan mahasiswa sebagai jadi anggota MWA. Sebab amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2014 tentang Statuta USU kembali tak menyebut mahasiswa sebagai salah satu unsur anggota MWA.
Padahal MWA adalah organ USU yang tugasnya menetapkan kebijakan non-akademik kampus ini. Dan pemangku kepentingan terbesar kebijakan tersebut ialah kita, mahasiswa. Tak rasional bila kita tak diberikan kesempatan ikut menentukan nasib kita sendiri.
Sekretaris MWA 2009-2014 Prof Alvi Syahrin bilang USU tak masukkan unsur mahasiswa jadi anggota MWA karena masa jabatannya lima tahun. Sedangkan masa kuliah mahasiswa hanya empat tahun dan mahasiswa tak mungkin bisa jadi anggota MWA sejak ia mahasiswa baru. Tapi alasan itu bisa dibantah. Universitas Indonesia bisa buat masa jabatan khusus untuk mahasiswa di MWA, satu periode, satu tahun.
Sebenarnya USU ada opsi lain, mahasiswa bisa masuk lewat unsur masyarakat, namun USU sendiri tak menyosialisasikannya. Walaupun demikian, ini masih tak bisa diterima. Sekali lagi, kita pemangku kepentingan kebijakan terbesar di kampus ini, kita harus ikut tentukan nasib kita sendiri. Lagipula tak ada defenisi masyarakat di PP No 16 Tahun 2014.
Jadi, memasukkan mahasiswa sebagai anggota MWA harusnya jadi agenda penting Pema USU. Ini bukan kali pertama mahasiswa tak diperhitungkan jadi unsur anggota majelis tertinggi universitas itu. Saat USU masih berstatuta PT-BHMN pun sama halnya.
Ada kekhawatiran bila Pema USU tak berjuang untuk yang satu ini: mahasiswa tak akan pernah mempermasalahkan peraturan itu. Kata lainnya, mahasiswa tak tahu dengan haknya dan menganggap ketentuan itu hal biasa yang sudah sepatutnya demikian. Padahal tidak.
Di luar sana, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) misalnya, telah berjuang sejak bertahun-tahun yang lalu untuk hal ini. Beda dengan USU, mahasiswanya senyap-senyap saja. Tak ada pergerakan melawan keputusan statuta, yang dalam pembuatannya pihak USU turut andil.
Lagi, dari tujuh universitas terdahulu yang berstatuta PTN-BH, Pema USU harusnya sadar bahwa hanya USU dan UPI yang tak masukkan mahasiswa jadi anggota MWA. Sedangkan UI, ITB, Unair, IPB, dan UGM memberi peluang mahasiswa ikut jadi pengambil kebijakan tertinggi di kampusnya.
Bukan tak ada mahasiswa yang gusar dengan keadaan ini. Beberapa aktivis mahasiswa yang paham hak mahasiswa itu, pernah bersuara. Namun apalah arti hanya bersuara tanpa ada aksi nyata dan tanpa wadah pergerakan. Vakumnya Pema USU di bawah pimpinan Presma Muhammad Mitra Nasution sejak 2012 hingga awal tahun ini bisa juga jadi sebabnya. Sebab, kala itu, Pema USU hanya berpusar pada masalah internalnya. Ia lupa fungsinya sebagai pusat pergerakan mahasiswa.
Jadilah rentang 2012 hingga mendekati akhir 2014 ini tak ada suara mahasiswa yang didengar rektorat kampus ini. Karena memang tak ada yang diperjuangkan dengan aksi nyata.
Pema USU dikepalai Brilian harusnya banyak belajar. Bukan hanya mengiyakan akan berjuang ketika ditanya wartawan. Atau memang punya rencana tapi persiapan tak matang. Jika memang serius, Pema USU bisa susun timeline aksi—bukan hanya aksi dalam arti demonstrasi—dari sekarang.
Pema USU harus perkuat Kementerian Kebijakan Publik serta Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan. Merekalah yang utama dan pertama harus paham hal ini. Mereka bisa kerja sama mengkaji keadaan ini dari segi historis, sosiologis hingga yuridis. Lalu ajak tokok-tokoh terkenal beropini di publik tentang tak adanya unsur mahasiswa di MWA USU.
Pema USU pun harus buka mulut ke masyarakat di luar sana lewat media. Katakan komposisi MWA USU sedang tak baik-baik saja. Adakan audiensi dengan rektorat! Tentu tujuan advokasi itu memasukkan mahasiswa jadi anggota MWA dan beri masa jabatan khusus buat si mahasiswa, seperti di UI. Artinya, ubah poin PP Nomor 16 Tahun 2014 itu, walau akhirnya mesti ke Mahkamah Agung.
Juga, buat mahasiswa USU tak pernah lupa dengan tiap detail perjuangan itu. Karena mahasiswa akan selalu silih-berganti, ada generasi yang tugasnya mempertahankan perjuangan yang telah dirintis.
Tak ada kata terlambat jika memang ada niat. Walau PP Nomor 16 Tahun 2014 itu telah dijalankan, tapi ia hanya buatan manusia. Bukan kitab suci yang tak bisa ditawar atau ditukar karena isinya bukan wahyu Sang Pencipta. Maka, Pema USU jangan lagi hanya berkutat dengan masalah internalnya, seperti persiapan upgrading anggota dan rapat kerja yang selalu ditunda. Jangan lengah! Segera duduk bersama, siapkan rencana nyata, agar mahasiswa jadi unsur MWA!