Oleh: Surya Dua Artha Simanjuntak
“Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman se–ideologi, dan lain-lain,” – Soe Hok Gie.
Itulah kegelisahan Gie ketika dirinya akan melepaskan status mahasiswa. Menurutnya masih terlalu banyak mahasiswa Indonesia yang munafik. Gie takut melihat mahasiswa Indonesia berkembang menjadi ‘manusia yang biasa’ tak terwujud. Maksudnya, menjadi pemuda-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
Kegelisahan Gie mungkin berangkat dari kekecewaannya terhadap teman sejawat sesama aktivis mahasiswa 1966 yang memilih bungkam setelah mendapat jabatan di dewan. Gie melihat mereka tak berbuat apapun untuk menghentikan aksi pembantaian partisipan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilakukan pemerintah baru.
Kesuksesan gelombang demonstrasi mahasiswa dalam merevolusi pemerintahan pada 1966 memang menjadi cikal bakal tersematnya label ‘agen perubahan’ dalam diri mahasiswa Indonesia. Setelahnya, para mahasiswa tak lagi segan melakukan aksi turun ke jalan jika menemukan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
Sayangnya, sikap kritis mahasiswa sempat dikebiri saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Dengan dikeluarkannya SK tersebut, mahasiswa tak lagi bisa melakukan kegiatan bernuansa politik di kampus.
Namun, perjuangan mahasiswa untuk menjaga kestabilan negara tak bisa direnggut begitu saja. Warisan idealisme dari para pendahulunya seakan sudah berakar di hati para mahasiswa Indonesia. Gerakan demonstrasi mahasiswa melawan rezim tirani Soeharto terus berlanjut—walau selalu dibungkam.
Lewat edisi khusus tirto.id berjudul Kronik Reformasi, tergambar puncak gerakan tersebut terjadi pada Mei 1998. Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 membuat kegeraman mahasiswa Indonesia berada di titik nadir. Aksi solidaritas terkait gugurnya empat mahasiswa Universitas Trisakti dilancarkan di berbagai daerah.
Namun, gerakan mahasiswa melawan lingkaran rezim Orde Baru tak sampai di situ. Beberapa aksi militan lainnya kembali dilakukan hingga pemilu 1999.
Tentu, sejarah panjang gerakan mahasiswa Indonesia dalam menjaga kestabilan negara dapat dengan mudah menggugah hati para penerusnya untuk melakukan hal yang sama. Namun pada kenyataannya, pada Era Reformasi kini, tak banyak terdengar gerakan demonstrasi mahasiswa yang masif.
Kalaupun nampak aksi mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah, gerakan tersebut tak pernah solid dilakukan seluruh mahasiswa Indonesia. Gerakannya hanya terkonsentrasi di suatu daerah atau beberapa daerah.
Sontak, banyak lapisan masyarakat yang mempertanyakan label ‘agen perubahan’ yang tersemat pada diri mahasiswa. Banyak yang beranggapan kini mahasiswa sangat apatis –tak kritis terkait masalah sosial.
Jika dilihat dari konteksnya, kondisi politik yang terjadi pada akhir Orde Lama dan Orde Baru sangat berbeda dengan era saat ini. Jelas, dua gerakan mahasiswa pada 1966 dan 1998 didukung penuh oleh masyarakat –mahasiswa dan rakyat memiliki satu pandangan politik yang sama. Ya, dahulu mahasiswa bersama rakyat dan rakyat bersama mahasiswa.
Bagaimana dengan sekarang? Rasanya hal tersebut akan sulit tercapai jika para aktivis mahasiswa masa kini masih konservatif. Maksudnya, demonstrasi dengan cara lama –melakukan long-march, membakar ban, dan aksi sejenis yang hanya akan mengganggu masyarakat umum. Tak peduli apakah demonstrasi mengatasnamakan kepentingan rakyat atau bukan dapat dipastikan masyarakat akan menentang aksi tersebut.
Alhasil, rakyat tak lagi berpihak kepada mahasiswa. Malahan, para demonstran terpelajar tersebut mendapat stigma negatif. Faktor lain ialah partai oposisi. Dalam pemerintahan Orde Lama, tak ada suatu partai atau koalisi yang mutlak menjadi oposisi pemerintah.
Berlanjut pada Orde Baru, sontak tak ada partai oposisi pemerintah –pengkritik di bungkam, sistem politik oposisi dimatikan, pergerakan partai selain Golkar dijaga ketat.
Dalam dua periode tersebut, tentu tak ada kelompok yang bisa mengkritik pemerintah selain kaum terpelajar seperti mahasiswa. Lantas, masyarakat hanya dapat berharap pada mahasiswa. Sedangkan pada Era Reformasi—tepatnya setelah pemilu 2004, partai oposisi selalu ada di parlemen. Tugas ‘tersier’ mahasiswa sebagai oposisi pemerintah pun berkurang.
Walaupun tak lagi masif seperti masa Orde Lama dan Orde Baru, gerakan demonstrasi tetap berakar dalam diri mahasiswa hingga kini. Hal tersebut tak terlepas dari kejayaan masa lalu para pendahulunya.
Mahasiswa generasi Y dan Z mana yang tak tergugah hatinya ketika mendengar cerita para aktivis mahasiswa 1966 dan 1998 dalam meruntuhkan rezim otoriter? Keberhasilan gerakan kiri yang dilakukan para pendahulunya seakan memotivasi mereka untuk berbuat hal yang sama.
Namun, mereka harus menyadari bahwa tuntutan zaman tak dapat dilawan. Kini Indonesia sudah berada di era demokrasi. Lantas, aksi turun ke jalan tak lagi relevan.
Bukankah kebebasan berpendapat tak lagi dikekang? Bukankah kekuasaan tak lagi mutlak lancip ke atas? Lantas, mengapa harus turun ke jalan? Kini, mengkritik dan menuntut pemerintah tak harus dengan demonstrasi. Tugas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai penyambung lidah rakyat ke pemerintah pusat telah jelas diatur dalam Undang-Undang (UU).
Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 108 tertulis bahwa, “Anggota DPRD provinsi berkewajiban menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat….,” pun mahasiswa tak perlu skeptis dengan kinerja DPRD karena dalam Pasal 137 dijelaskan “Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada badan kehormatan DPRD provinsi dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih …,”
Sudah ada kekuatan hukum yang jelas mengatur hak berbicara rakyat—dalam hal ini mahasiswa—dan kewajiban DPRD sebagai penyambung lidah rakyat.
Jadi dalam menyampaikan aspirasi dan tuntutan, kini para mahasiswa tak perlu turun ke jalan dan mengganggu aktivitas masyarakat umum. Jika ingin mengkritisi suatu isu sosial ataupun kebijakan pemerintah, sebaiknya gunakan data yang akurat dengan perdalam kajian akademis dan mengajak diskusi para ahli. Lalu, aspirasi dan tuntutan—beserta solusinya—yang didasarkan data dan kajian akademik tersebut diserahkan kepada DPRD oleh perwakilan mahasiswa. Biarkan DPRD menyelesaikan kewajibannya yang sudah diatur oleh hukum.
Belakangan ini, janggal rasanya melihat banyak mahasiswa yang turun ke jalan dengan membawa isu yang minim data dan tak jelas kajian akademisnya. Jika begitu, apa bedanya demonstrasi mahasiswa dengan demonstrasi yang dilakukan preman bayaran? yang ada malah berorasi tanpa solusi bahkan masyarakat umum dibuat rugi.
Kawan-kawan mahasiswa, jika idealisme tak sesuai realita, mari lawan dengan cara yang elegan. Saatnya progresif, jangan konservatif. Jangan terjebak dengan kejayaan masa lalu para pendahulu. Meminjam perkataan Gie, jadilah mahasiswa yang tak mengingkari eksistensi. Jangan jadi mahasiswa yang munafik –merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.
Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!