Oleh: Nadiah Azri Br Simbolon
Bulan Mei lalu, Indonesia digemparkan dengan aksi serangan bom tiga gereja di Surabaya. Beberapa saksi mata menyatakan bahwa dua dari pelaku yang melakukan aksi pengeboman tersebut menggunakan cadar.
Tentu ini sangat berpengaruh terhadap pandangan masyarakat Indonesia. Masyarakat menganggap cadar sangatlah erat kaitannya dengan umat Islam. Sehingga dari kejadian ini, banyak warga Indonesia yang menghujat para pemeluk agama Islam. Tak bisa dipungkiri, aksi pengeboman ini juga menimbulkan rasa takut yang dirasakan beberapa masyarakat saat berhadapan dengan wanita islam yang menggunakan cadar. Fenomena ini dikenal dengan nama Islamfobia. Kasus lainnya, pada 14 Februari 1999 warga Kariu yang beragama Kristen membantai warga muslim Pelauw yang terjadi di Pulau Haruku, Maluku Tengah. Tercatat 15 warga muslim terbunuh dan 43 lainnya luka parah akibat terkena tembakan dan granat. Kasus yang dilakukan oleh warga kristen Kariu menyebabkan ketakutan pada warga muslim yang berada di provinsi Maluku lainnya. Ketakutan ini disebut dengan Kristenfobia.
Dilansir dari kompasiana.com persoalan mengapa kemudian timbul istilah fobia yang direkatkan pada agama adalah karena tidak memahami bahwa beragama adalah persoalan individu untuk memilih suatu agama yang diyakini dan bukan karena dipaksa oleh kekuatan-kekuatan di luar manusia. Padahal sekarang manusia berada dalam lintasan sejarah yang berbeda. Seseorang berhak beragama apa saja bahkan tidak beragama sekalipun sesuai pilihan pribadinya. Namun faktanya agama apapun yang dipilih atau memilih untuk tidak beragama, ternyata tidak membawa implikasi signifikan terhadap pola berinteraksi dengan orang lain.
Sikap penuh prasangka merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya agama fobia. Prasangka buruk yang melekat pada diri yang nantinya akan menghantarkan suatu individu menolak untuk tidak bertoleransi, menumbuhkan sikap antipati kepada yang berbeda agama dengannya. Serta menyebarkan ujaran kebencian hingga menyulutkan konflik yang biasanya berakhir dengan pembantaian massal. Dengan demikian ketakutan yang berlebihan terhadap suatu agama dapat menghantarkan masyarakat pada pertikaian yang tak berujung.
Sikap penuh prasangka kerap dirasakan sebagian orang pada saat berpapasan dengan wanita bercadar atau biarawati yang menggunakan kerudung saat berbelanja di pasar ataupun biksu wanita yang mencukur habis rambutnya. Hal tersebut selalu diidentikkan dengan sikap fanatik seseorang terhadap agamanya. Terlebih lagi dengan kasus wanita bercadar yang melakukan aksi bom gereja di Surabaya, masyarakat Indonesia seakan menanamkan pemikiran bahwa semua wanita yang menggunakan cadar identik dengan terorisme.
Stereotip masyarakat yang buruk mengganggu mereka dalam menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh agamanya. Tak jarang pula ditemukan masyarakat yang memusuhinya secara terang-terangan saat mereka melakukan aktivitas sehari-hari. Mereka merepresentasikan sebuah agama dengan hanya melihat bagaimana sikap dari sebagian kecil penganutnya.
Padahal agama bukan hanya satu-satunya faktor yang membentuk sikap dari seorang pemeluk agama tetapi ada hal-hal lain seperti kepentingan politik, ekonomi, maupun psikologi. Pun terkadang pengaruh agama hanya sepersekian persen lebih kecil dari pada kepentingan-kepentingan lainnya.
Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan Dalam Ilusi Identitas sumber kekerasan sejatinya ada pada kecacatan logika, yaitu pendekatan ‘soliteris’ dalam menggolongkan identitas tiap manusia ke dalam satu identitas tunggal. Menurutnya sumber dominan datangnya potensi konflik di dunia kontemporer ini terdapat pada pengandaian bahwa tiap manusia dapat secara unik dikategorikan hanya berdasarkan aspek agama atau budayanya saja.
Kegagalan masyarakat dalam memahami suatu makna identitas mengakibatkan umat-umat beragama terus mengalami konflik karena semata-mata melihat diri mereka sebagai penganut dari suatu agama. Mereka seakan lupa mempunyai identitas lainnya seperti kesamaan ras, suku, bangsa, maupun identitas lainnya.
Agama fobia juga biasanya terjadi pada kelompok minoritas yang tinggal di suatu daerah. Kebijakan yang diskriminatif kerap dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Akhirnya praktik diskriminasi terhadap kaum minoritas dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan politik pun tak terelakkan.
Kasus diskriminasi ini kerap terjadi di Indonesia contohnya saja masih banyak kasus pelarangan pembangunan tempat ibadah di beberapa wilayah. Parahnya lagi, diskriminasi sudah memasuki bidang pendidikan. Pendidikan zaman sekarang sangat sering terdengar kasus diskriminasi dalam pemberian nilai yang lebih tinggi pada siswa yang memiliki agama yang sama dengannya. Dunia pekerjaan pun begitu, banyak pelamar yang gagal mendapatkan pekerjaan hanya karena ia menggunakan barang-barang identitas yang menunjukkan agama yang dianutnya.
Padahal pemerintah sudah mengatur kebebasan hak setiap individu dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat 2 G yang menyatakan: “Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Namun lagi-lagi peraturan hanya sekadar kata-kata yang sangat sulit diterapkan pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kata toleransi pun dewasa ini sudah tak terlihat ampuh untuk mengatasi konflik dalam beragama. Hal ini dibuktikan dengan kasus penistaan agama yang dari tahun ke tahun semakin bertambah. Halili Hasan, peneliti di Setara Institute sekaligus dosen Universitas Negeri Yogyakarta yang dilansir dari voaindonesia.com menjelaskan dari hasil riset yang dilakukan sepanjang 1965-2017 terdapat 97 kasus penistaan agama. Toleransi dalam beragama seolah-olah hanya omong kosong yang dikoar-koarkan oleh masyarakat.
Jika isu agama fobia dibiarkan terlalu lama maka bisa saja Indonesia selalu dikelilingi konflik agama yang tidak ada hentinya. Mestinya pemerintah harus tegas dalam menindak lanjuti para pelaku yang menyulutkan kebencian antaragama. Hal ini dilakukan agar seseorang berpikir dahulu sebelum menyebarkan kicauan yang menimbulkan konflik perpecahan. Pemerintah juga harus memberlakukan hukum dengan adil tanpa berat sebelah dengan maksud menguntungkan pihak mayoritas.
Masyarakat juga harus lebih memahami sifat kemajemukan. Dengan memahami ilusi identitas yang telah dipaparkan, diharapkan masyarakat daapat menghapus kebiasaan dalam memberikan labelling pada kelompok agama. Saya percaya semua agama membawa kedamaian. Tak apa jika ada pemeluk agama beranggapan bahwasanya ‘agama yang dianutnya merupakan agama yang paling benar’ selama ia tak memaksakan ajaran agamanya dan menghina ajaran penganut agama yang lain. Karena saya percaya semua umat penganut agama memiliki pemahaman seperti itu.
Begitu juga dengan sikap fanatik. Taat dalam menjalankan ibadah memiliki makna yang tidak sama dengan fanatik. Sifat fanatik lebih mengaju kepada konotasi yang negatif. Usahakan selalu berpikiran terbuka dan menghargai perbedaan.
Pada akhirnya, peristiwa Islamfobia, kristenfobia, Hindufobia, Budhafobia, maupun agama fobia lainnya diharapkan tidak menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang hanya memandang agama sebagai tolak ukur hubungan bermasyarat, berbangsa, dan bernegara. Hidup dengan damai dan saling tolong menolong pastinya lebih indah dari pada harus saling mencari darah untuk keegoisan semata.