
Sepucuk cahaya diujung laut lepas
Perlahan meredup seiring rotasi bumi
Bukankah seharusnya kita saling menatap dan bercerita tanpa kata-kata
Layaknya pasangan pada umumnya?
Bukankah seharusnya kita berbaring di atas pasir
Membiarkan mata kita saling bicara dan melepaskan semua beban?
Aku malu melihat cakrawala yang tak lagi berwarna jingga
mereka tertawa menyaksikan kita berdua yang membisu tanpa narasi
Aku mematung tak bersuara ketika kau terkunci dalam pemikiran mu yang abstrak
Duniamu tak bisa kugapai
Mencintaimu bagai memeluk kaktus
semakin ku peluk semakin sakit!
Kau sebut mereka semua biadap tak berperasaan
Kau sebut mereka bajingan yang munafik
Kau membenci mereka yang memperkosa hak orang lain
Tapi mengapa?
Mengapa harus aku yang kau jadikan korban ?
Apa bedanya kau dengan mereka?
Kepulan asap merayap diatas indahnya rambut ikalmu
Bak awan yang menutupi pegunungan Himalaya
Kau sebut itu mahakarya? Kau sebut itu seni?
Dimana letak seninya sayang
Kau hanya menyakiti dirimu dengan semua hal yang kau sebut sebagai idealisme
Aku mendaki gunung yang dipenuhi kerikil tajam
Tanpa peralatan, tanpa perlindungan, tanpa bantuan
Kau melihatku dari puncak tertinggi
Tidakkah kau tergerak menjulurkan tangan mu?
Aku dibawah setengah mati untuk menggapaimu
Kau ibarat bayangan yang semakin ku kejar semakin menghilang
Kau duduk menyakiti dirimu dengan dalil ekspresionisme
Kau tenggelam dalam kepulan asap cerutu
Yang kau sebut sebagai bagian dari hidupmu
Kau duduk menyendiri layaknya seekor landak yang tidak memiliki teman
Dan kau sebut itu bagian dari ekspresionisme?
Apa kau gila?
Kita hidup ditengah realita sayang
Aku tidak mampu bersaing dengan pemikiran mu
Dan tak akan pernah mungkin kita bisa bersanding
Sungguh. Aku mencintaimu yang tetap pada pendirian
Tapi aku disini sedari dulu
Menolehlah sejenak sayang
Aku menunggumu memanggil ku ke sampingmu
Dan kita akan melukis senja di penghujung hari