Oleh: Widiya Hastuti*
USU harusnya cepat tanggap terhadap dampak ekonomi akibat Covid-19. Tapi, yang terjadi kebingungan dari pegawai birokrat sendiri. Korbannya tentu mahasiswa.
Kebijakan mengenai uang kuliah tunggal (UKT) yang diturunkan USU mirip bahan candaan Youtube untuk konten Prank. Hanya digunakan untuk mengibuli korbannya. Kerap, kebijakan yang dikeluarkan tergesa-gesa dan tidak jelas penerapannya.
Semester ganjil 2020/2021 lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengeluarkan kebijakan untuk membantu mahasiswa yang terdampak Covid-19 secara ekonomi. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2020, Mendikbud membebaskan mahasiswa yang tidak memiliki satuan kredit semester (SKS) dari pembayaran UKT baik karena cuti atau karena menunggu kelulusan, memberikaan keringanan pembayaran 50% bagi mahasiswa yang memiliki jumlah SKS ≤6 SKS, dan memberikan bantuan bagi mahasiswa semester 3-7 sebesar Rp2,4 juta melalui program Kartu Indonesia Pintar-Kuliah (KIP-K). Seluruh kebijakan tersebut direalisasikan melalui perguruan tinggi swasta dan negeri, mulai dari pengumuman hingga verifikasi.
USU, sebagai salah satu kampus negeri di Indonesia lambat tanggap. Buktinya, USU baru merespon kebijakan kemendikbud pada 10 Agustus 2020 padahal Permendikbud telah keluar pada 2 Juli. Melalui Instagram @Official_USU dan web bkk.usu.ac.id USU mengumumkan pendaftaran KIP-K dibuka hingga 20 Agustus.
Sayangnya, pegumumuman siapa yang mendapatkan bantuan tersebut tak kunjung keluar hingga masa pembayaran UKT selesai. Hingga, USU harus membuka portal akademik untuk heregistrasi dan menunda pembayaran UKT hingga semester genap.
Pencairan dana bantuan KIP-K tak jelas. Hingga semester genap USU tak memberikan informasi kapan dana tersebut akan keluar. Mahasiwa pun terbagi dua, mahasiswa yang membayar UKT pada semester ganjil dan mahasiswa yang tidak membayar UKT. Akibatnya, terdapat mahasiswa yang tagihan UKT-nya berlapis.
Tak hanya diam, mahasiswa melakukan demonstrasi. USU menjawab dengan mengeluarkan Peraturan Rektor Tentang Pelaksanaan Teknis Pemberian Bantuan KIP-K keluar pada 7 Februari 2021. Pada peraturan tersebut USU menyebutkan dana akan dicairkan melalui nomor rekening penerima. Bagi mereka yang belum membayar UKT semester ganjil akan diberikaan perpanjangan masa pembayaran UKT.
Namun, USU tak menjelaskan apakah dana dapat langsung dipotong dengan membayar UKT mahasiswa yang bersangkutan atau mahasiswa harus membayar UKT-nya terlebih dahulu dan menerima bantuan sebesar Rp2,4 juta melalui rekening. USU juga tidak menyebutkan perpanjangan pembayaran UKT dilakukan kapan.
Akhirnya, berita simpang-siur beredar dan mahasiswa kebingungan. Demi mendapat kejelasan mahasiswa harus ke biro rektor, jawaban yang diberikan tak juga jelas.
Tak hanya informasi pencairan yang tak jelas, pemberitahuan siapa yang berhak menerima bantuan inipun sama semrawutnya. Di web bkk.usu.ac.id, USU mengatakan bantuan hanya diberikan untuk mahasiswa yang memiliki UKT maksimal Rp2, 4 juta. Namun, dalam surat Keputusan Rektor Nomor 2736 tahun 2020 Tentang Bantuan UKT Kemendikbud yang keluar pada 25 November, USU mengatur tentang selisih bantuan dengan jumlah UKT.
Apabila penerima memiliki jumlah UKT lebih kecil dari jumlah bantuan, maka sisa dana bantuan akan diberikan pada mahasiswa. Jika jumlah UKT lebih besar, USU akan membayar Rp2,4 juta sedangkan sisanya akan dibayar mahasiswa itu sendiri.
Artinya, mahasiswa dengan jumlah UKT lebih besar dari Rp2,4 juta dan terdampak Covid-19 secara ekonomi harusnya dapat mendaftar penerimaan bantuan KIP-K tersebut. Apa daya, informasi baru diketahui setelah pengumuman penerima bantuan keluar.
Keringanan UKT tak Ikhlas Hati
Bantuan KIP-K hanya berlaku bagi mahasiswa semester 3-7 hingga mahasiswa yang telah memasuki semester sembilan ke atas tidak dapat mengajukan diri sebagai penerima bantuan. Tak seindah kebijakan kemendikbud, USU tidak membebaskan UKT mahasiswa yang tidak memiliki SKS atau memotong UKT mahasiswa yang memiliki beban SKS kurang dari enam SKS sebanyak 50%. USU hanya mengeluarkan kebijakan keringanan UKT/SPP atau pemindahan golongaan UKT.
Kebijakan keringanan UKT/SPP USU adalah cerminan USU yang tak ikhlas hati membantu mahasiswanya. Bagaimana tidak, USU mengeluarkan Surat Edaran Wakil Rektor I (WR I) pada 9 Februari, tepat sehari sebelum pembayaran UKT/SPP ditutup. Akibatnya, ada mahasiswa yang memaksakan diri membayar UKT/SPP karena khawatir tidak dapat mengikuti proses belajar mengajar. Ditambah Surat Edaran keluar dengan menyisakan waktu tiga hari sebelum akhir pekan. Berarti mahasiswa hanya memiliki waktu tiga hari untuk mengurus kelengkapan administrasi ke kepala desa.
Lebih konyol lagi mulai dari Surat Edaran WR I dikeluarkan hingga masa pendaftaran ditutup pada 16 Fenruari 2021 USU tak memperbaharui web sipk-ukt.usu.ac.id yang merupakan situs untuk mengajukan keringanan UKT/SPP. Formulir yang tertera di sana adalah formulir ajaran ganjil 2020/2021. USU harunya belajar dari pengalaman semester lalu di mana pengajuan keringanan UKT/SPP memakan waktu yang lama hingga USU harus berkali-kali memperpanjang waktu pengajuan keringanan UKT/SPP.
Surat Edaran WR I Tentang Keringanan UKT/SPP juga diskriminatif karena hanya mengakomodir mahasiswa S1 dan D3. Padahal, mahasiswa S2, koas, dan ekstensi juga terdampak Covid-19. Pun, perpanjangan pembayaran UKT dan pengisian KRS yang hanya berlaku bagi mahasiswa yang mengajukan keringanan UKT/SPP hingga dosen dapat memulai kelas tanpa harus menunggu mahasiswa yang ingin mengajukan keringanan UKT/SPP.
Transparansi penerima juga tak ada. Tidak ada yang tahu siapa dan berapa jumlah mahasiswa yang menerima keringanan UKT di semester ganjil. Padahal, itu dapat menjadi salah satu tolak ukur apakah USU memamng membantu mahasiswanya.
Kebijakan pindah golongan UKT sebenarnya bukan kebijakan tanggap dampak Covid-19. Hal ini memang telah diatur dalam Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2017 Tentang Uang Kuliah Tunggal. Dalam aturan tersebut dijelaskan mahasiswa dapat mengubah golongan UKT-nya jika tidak mampu secara ekonomi atau terdapat perubahan data ekonomi misalnya, orang tua meninggal dunia, di PHK, usaha bangkrut dan lainnya. Jadi, harusnya USU sudah mengeluarkan peraturan tentang pelaksanaan pindah golongan walau pandemi tidak melanda.
USU harus lebih meningkatkan lagi pelayanan terhadap mahasiswa. Surat edaran dan kebijakan USU sangat terkesan tidak matang dan tergesa-gesa. USU tampak tidak mempelajari peraturan menteri yang keluar lebih dulu. Jika dikatakan USU gagap menghadapi pandemi harusnya tidak lagi, carut-marut heregistrasi semester lalu harusnya menjadi pelajaran besar bagi USU.
Sayangnya, kesalahan yang sama terulang. Kemungkinannya hanya dua, pegawai birokrat USU tak saling koordinasi atau USU sengaja agar mahasiswa membayar UKT secara mandiri tanpa bantuan.
Jika, USU menganggap mahasiswa adalah anaknya—seperti yang kerap disampaikan ketika mahasiswa demonstrasi, sudah sepatutnya USU memperpanjang masa pengajuan keringanan UKT/SPP, pembayaran UKT/SPP, dan pengisian kartu rencana studi juga menunda kegiatan belajar-mengajar.
Kebijakan selanjutnya haruslah matang, jelas, dan tidak membingungkan karena tidak sedikit orang tua yang berharap pada keringanan UKT/SPP USU. Begitu pula dalam pencairan dana bantuan UKT, harusnya mahasiswa telah dapat menerima dana sebelum semester genap usai.
*Penulis merupakan mahasiswa aktif USU, Ilmu Sejarah 2016. Tulisan dimuat lewat program kontribusi.