Narasi dominan yang diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia masih berkisar terkait “toleransi antarumat beragama”. Ya, hanya kepada yang beragama. Titik. Kita masih jauh dari narasi “toleransi beragama untuk orang tanpa agama”.
Belum lama ini, saat sedang mencari info tentang pluralisme di Indonesia, saya ketemu laporan menarik namun miris dari Humanists International. Kenapa miris? Karena ternyata tren pluralisme di Indonesia kontemporer terus memburuk. Namun, kenapa menarik? Karena laporan itu menyoroti secara khusus mengenai ateisme dan kepercayaan non-agama di Indonesia—suatu isu yang masih jarang dibicarakan.
Laporan yang dirilis pada 2020 itu menilai penganut ateisme dan kepercayaan non-agama di Indonesia “tetap terpinggirkan secara sosial dan secara hukum tidak diakui”. Dalam hal pemerintahan misalnya, Humanists International menyatakan orang yang “tak punya agama dilarang memegang jabatan pemerintah.”
Selain itu—dalam hal pendidikan, sekolah-sekolah negeri dinilai masih belum berani memperkenalkan pelajaran sekularisme dan humanisme. Dalam hal bermasyarakat, ateisme dan sejenisnya masih dianggap tabu bahkan kerap dipersekusi secara sosial. Sedangkan dalam urusan kebebasan berekspresi, ateisme dan kepercayaan non-agama masih tak diakui bahkan ilegal.
Hasilnya—ketika Humanists International mengindeks 141 negara, Indonesia hanya berada pada peringkat 129 dalam hal kebebasan berpikir. Kita masih tertinggal jauh dari beberapa negara tetangga seperti Papua Nugini (peringkat 55), Singapura (peringkat 76), Filipina (peringkat 91), dan Thailand (peringkat 103).
Berkaca dari laporan itu, sepertinya masyarakat Indonesia masih belum siap menerima konsep ateisme dan keyakinan tanpa agama seperti agnostisisme, deisme, dan aliran-aliran sejenis, yang pada dasarnya tak setuju atau tak percaya pada institusi-institusi keagamaan. Tampaknya, mayoritas masyarakat Indonesia masih memandang penganut ateisme dan kepercayaan non-agama dengan stigma klasik, seperti: amoral, tak berakhlak, atau bahkan sesat. Singkatnya: kita masih menganggap segala bentuk akhlak dan moralitas hanya berasal dari agama ataupun ilahi.
Terlihat memang, misalnya dari hasil laporan The Global God Divide rilisan Pew Research Center pada 2020 lalu, yang menyatakan bahwa 96% responden di Indonesia merasa keyakinan kepada Tuhan diperlukan untuk membentuk akhlak atau moralitas. Hanya 2% yang menyatakan sebaliknya dan 2% lain bungkam.
Padahal, menurut Filsuf sekaligus Sejarawan Yuval Noah Harari (2018: 214-217) moralitas itu merupakan suatu hal alami yang umum dimiliki mamalia sosial—tak hanya manusia. Harari berargumen moralitas tak berkaitan dengan ‘perintah ilahi’, melainkan sebatas usaha ‘mengurangi penderitaan’. Moralitas berkembang ketika kita mulai memahami “bagaimana suatu tindakan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu bagi diri Anda atau orang lain”. Artinya: ketika seorang sudah mengembangkan kepedulian yang mendalam atas kesengsaraan maka ia akan menghindari hal itu. Asumsinya: kita tak akan membunuh ketika sudah sadar mengenai penderitaan yang ditimbulkannya.
Argumen senada tapi sedikit berbeda juga diungkapkan oleh Ahli Biologi dan Primatologi Frans de Waal (2015), yang melihat perkembangan moral dari perspektif evolusi biologis. De Wall meyakini bahwa landasan moral manusia sudah dibentuk sejak nenek moyang kita masih primata. Melalui pengamatan panjang dengan simpanse (dan primata lain), ia berkesimpulan primata sudah memiliki bentuk respon emosional semisal empati dan rasa kasih sayang. Landasan moral yang berupa respon emosional itulah yang kemudian secara evolusioner digunakan manusia untuk membangun masyarakat dengan sistem moral yang lebih kompleks.
Sedangkan Ahli Psikologi Sosial Jonathan Haidt (2020) punya pendapat yang lebih netral: moralitas adalah “hasil kombinasi bawaan dan pembelajaran sosial.” Bagi Haidt, kita ‘terlahir’ untuk jadi berbudi (hasil serangkaian intuisi yang diciptakan evolusi), namun kita juga belajar bagaimana—seharusnya—jadi manusia berbudi (seiring anak-anak belajar menerapkan intuisi-intuisi hasil evolusi itu dalam budaya tertentu). Artinya: walau secara alami akal manusia sudah tertanamkan landasan moral (istilah Haidt: intuisi), bagaimana landasan moral itu diterapkan harus tetap melalui pembalajaran sosial: melalui budaya (dalam hal ini, termasuk agama).
Dari ketiga pendapat di atas, jika coba ditarik kesimpulan: agama memang punya peran dalam membentuk moralitas, namun secara evolusi akal manusia sudah punya moralitas bawaan: intuisi dan respon emosional. Moralitas bawaan itu kemudian dikembangkan melalui pembelajaran sosial: entah itu melalui budaya atau hasil pengalaman pribadi seperti usaha mengurangi penderitaan. Singkatnya: banyak jalan menuju Roma (baca: banyak jalan menuju moralitas).
Bagaimanapun, bahasan asal-usul moralitas ini menjadi penting, sebab—mengutip Daniel C. Dennet (2021: 19)—jika “kita niscaya tidak tahu mengenai landasan segala pemikiran moral itu sendiri, moralitas menjadi omong kosong.”
Dengan begitu, sampai sini dapat kita tarik garis pembatas: jikalau ternyata landasan pemikiran moral tak hanya datang dari agama, maka tak etis rasanya bagi orang beragama melabeli penganut ateisme atau agnostisisme sebagai amoral, tak berakhlak, dan sejenisnya.
Bagaimanapun, pada 1993 Komisi HAM PBB sudah menegaskan dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik bahwa negara harus “melindungi kepercayaan teistik, non-teistik dan ateistik, serta hak untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan apa pun”. Indonesia juga telah mengesahkan perjanjian multilateral itu melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2005.
Sayangnya, insting tribalisme acapkali membuat kita membenci orang dari luar kelompok (Frans de Waal, 2015: 76-78; Jonathan Haidt, 2020: xii-xiii). Dalam kasus ini: orang beragama dengan orang tak beragama. Sehingga, mayoritas masyarakat Indonesia yang katanya ‘berkebhinnekaan’ malah merespon perbedaan keyakinan ini dengan kebencian bukan solidaritas.
Seharusnya masalah perbedaan ini dapat diatasi. Caranya? Mulai dari diri sendiri! Meminjam nasihat Haidt: saat kita menghadapi orang yang berbeda keyakinan, coba jangan menyinggung moralitas sebelum kita menemukan beberapa kesamaan atau membentuk sedikit rasa saling percaya. Setelahnya, ketika mengungkit masalah moralitas, “cobalah mengawali dengan pujian atau ekspresi minat yang tulus”. Alhasil, perbedaan bukan jadi kebencian, malah sebaliknya: solidaritas.
Pesan-pesan senada seharusnya juga digaungkan oleh media. Peran media sebagai pencerah masyarakat sangat diperlukan dalam merekonsiliasi isu yang masih tabu. Sayangnya, tren kerja media arus utama di Indonesia masih berlandaskan jurnalisme mayoritarian (berorientasi pada jumlah populasi). Hasilnya—ketika membahas isu keagamaan, media masih cenderung bias ke agama mayoritas dan bahkan menyudutkan keyakinan minoritas.
Tren ini harus diubah. Dalam membahas isu ateisme atau keyakinan non-agama ini misalnya, masyarakat perlu diberi pengertian yang tak menyesatkan. Bahkan, tak berlebih rasanya jika semangat “toleransi antarumat beragama” diperluas menjadi “toleransi beragama untuk orang tanpa agama”. Dengan begitu, akhirnya kita bisa merayakan toleransi kebhinnekaan yang sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA Daniel C. Dennett. 2021. Ragam Akalbudi: Memahami Kesadaran. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Frans de Waal. 2015. Primat dan Filsuf: Merunut Asal-usul Kesadaran Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Jonathan Haidt. 2020. The Righeous Mind: Mengapa Orang-orang Baik Terpecah Karena Politik dan Agama. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Yuval Noah Harari. 2018. 21 Lessons: 21 Adab untuk Abad ke 21. Manado: Global Indo Kreatif.