Oleh: Tantry Ika Adriati
Judul | : Cantik Itu Luka |
Penulis | : Eka Kurniawan |
Penerbit | : PT Gramedia Pustaka Utama |
Tahun Terbit | : 2015 (Cetakan keenam) |
Jumlah halaman | : 479 halaman |
Harga | : Rp 100.000,- |
Tampaknya Eka Kurniawan mewarisi kesusastraan Pramoedya Ananta Toer. ‘Cantik Itu Luka’ hadir dalam bentuk realisme magis, sastra wangi, filsafat, humor, dan tentunya lebih kekinian.
Seorang Indonesianis Benedict Anderson tentu tak main-main mendeklarasikan Eka Kurniawan sebagai pengganti kesusastraan Pramoedya Ananta Toer melalui pembuktian pada novel sastra pertamanya, Cantik Itu Luka. Konsep realisme sosialis yang biasa ditulis Pramoedya Ananta Toer jelas terlihat nyata.
Unsur sejarah Indonesia seperti masa akhir kolonial, masa kemerdekaan, dan masa revolusi dicampur-adukkan dengan cerita kehidupan Dewi Ayu yang tidak rasional. Sebagai contoh, pada salah satu bab ketika Rengganis Si Cantik dihamili oleh anjing beberapa tahun pasca-pembunuhan komunis di Indonesia—G30SPKI. Maka disuguhkanlah cerita tentang komunisme dan teori Marxis Karl Max.
Meski jauh dari kata masuk akal, namun pada setiap hal yang tidak masuk akal tersebut selalu diselipkan sejarah Indonesia yang jelas nyata. Inilah konsep realisme yang coba dihadirkan Kurniawan.
Tapi kita tak perlu jauh menilai Cantik Itu Luka sebagai ‘ralat atas sejarah’ Indonesia seperti Tetratologi Buru Pram. Novel ini jelas karya sastra fiksi, terlepas dari konsep realisme di dalamnya. Kisah cinta Dewi Ayu dan keluarganya yang dilatarbelakangi cerita magis tidak rasional ini sesungguhnya berlawanan dengan konsep realisme Pram.
Maka bolehlah saya kutip sebuah review kritikus sastra Katrin Bandel; Cantik Itu Luka merupakan sebuah sastra dengan konsep ‘realisme magis’. Ia hadir sebagai wajah baru sastra Indonesia masa kini.
Cerita dibuka dengan prolog mengundang tawa. Diceritakan Dewi Ayu pada suatu sore di bulan Maret bangkit dari kuburnya setelah mati selama 21 tahun. Kebangkitannya membuat gempar penduduk Halimunda. Lantaran penasaran, semua orang datang berbondong ke rumah mantan pelacur paling disegani itu.
Saat kembali dalam keadaan hidup, Dewi Ayu menemukan putri bungsunya sedang duduk di teras rumah, hari itu adalah pertemuan pertama mereka berdua. Ialah Si Cantik, anak keempat Dewi Ayu yang dilahirkan beberapa minggu sebelum kematiannya. Namun, Si Cantik tak secantik ketiga anak Dewi Ayu lainnya. Gadis itu berkulit hitam, buruk rupa, dan terlihat seperti monster.
Kurniawan ternyata tak melanjutkan kisah Si Cantik yang tiba-tiba hamil tanpa disetubuhi manusia. Itu terjadi beberapa hari setelah kembalinya Dewi Ayu. Lalu cerita kembali ke waktu Dewi Ayu hidup di zaman kolonial. Alur maju mundur mendominasi novel ini.
Dewi Ayu merupakan wujud wanita masa penjajahan Belanda. Ia habiskan seluruh hidupnya menjadi pelacur di Halimunda. Cucu dari Ted Stammler ini lahir dari hubungan cinta sedarah antara Henri Stammler (putra Ted Stammler) dan Marietje Stammler (putri Ted Stammler). Ia digambarkan sebagai wanita tangguh, cerdas, dan berani dalam menghadapi masalah kehdiupannya yang rumit.
Maka dari itu, Cantik Itu Luka, seperti judulnya, mengandung makna perwujudan kehidupan wanita masa penjajahan. Pesannya hadir pada setiap konflik yang dialami Dewi Ayu, Si Cantik, Ma Gedik, Krisna, dan seluruh tokoh yang ada dalam novel. Intinya, punya paras cantik tak bakal jauh dari luka, luka yang dialami oleh semua tokoh tentunya.
Kurniawan juga punya cara unik saat mengenalkan tokoh baru. Misalnya, setelah diceritakan saat Dewi Ayu mengabdikan diri menjadi pelacur di rumah Mama Kalong, ia bertemu seorang tentara terkenal bernama Sang Sodancho. Pria itu ingin menikahi putrinya, Alamanda.
Maka pada bab berikutnya sudut pandang tokoh akan beralih ke Sodancho, bagaimana ia bisa menjadi tentara dan jatuh cinta pada Alamanda. Dewi Ayu hanya akan hadir sebagai pemeran pembantu. Begitu juga saat cerita beralih ke kisah Alamanda, putri Dewi Ayu, atau pun kisah Krisna, cucu Dewi Ayu yang ternyata dalang di balik kehamilan Si Cantik.
Tokoh utama Cantik Itu Luka tak melulu tentang Dewi Ayu saja, melainkan semua tokoh yang ada dalam cerita.
Alumni Filsafat UGM ini juga tak segan-segan memborbardir mata pembaca dengan kalimat ‘nyentrik’ tentang seks. Untuk hal ini, saya rasa Kurniawan terlalu berani dan frontal. Ia beruntung bisa hadirkan sastra wangi dalam kisah pelacuran Dewi Ayu. Meski pembaca sempat dibingungkan dengan plot maju mundurnya, novel ini kaya akan narasi yang mengalir apik.
Berkat kesuksesannya meracik Cantik Itu Luka, novel ini diangkat ke dalam bahasa Jepang, Malaysia, dan Inggris. Lalu masuk long list Khatulistiwa Literary Award pada 2003 dan sudah dicetak keenam kalinya oleh Gramedia Pustaka Utama.
Kurniawan tentu bukan penulis fiksi pertama yang diangkat tulisannya dalam bahasa Inggris. Ia juga bukan satu-satunya yang memasukkan sastra wangi dalam penulisannya, karena masih ada Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Dan juga, Kurniawan bukan yang pertama kali menuliskan realisme-surealisme selain Gus tf Sakai.
Namun, Kurniawan adalah yang pertama kali mengkombinasikan semua elemen dalam sastranya; realisme, surelisme, sejarah, filsafat, humor, dan sastra wangi. Bisa dibilang, Cantik Itu Luka merupakan novel ‘realisme magis’ karya pertama Eka Kurniawan dan patut diapresiasi.