Mimpiku Indonesia bisa menjuarai piala dunia, supaya Indonesia semakin dikenal dunia…
Sekiranya mimpi tersebut berada di banyak benak generasi muda Indonesia sejak dulu, bagaimana tidak? Euforia sepakbola dengan segala kejayaan di dalamnya memicu banyak anak Indonesia uuntuk bermimpi mengembangkan sepakbola Indonesia ke depannya. Namun mohon maaf sepertinya Indonesia tidak layak untuk itu jika kita sulit untuk berbenah.
Ya, Indonesia tidak layak untuk sepakbola. Dari sisi supporter dan federasi, Indonesia belum bisa dikatakan negara yang peduli akan sepakbola bangsanya sendiri. Ya benar, Tim nasional (Timnas) Indonesia sedang dalam performa yang baik, namun kita harus mengesampingkan hal tersebut terlebih dahulu jika kita memang betul mau mereformasi dunia sepakbola Indonesia untuk lebih baik lagi dan menghargai semua korban dari peristiwa ini.
Mutu Lembaga dan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dapat dilihat dari peristiwa yang terjadi di Kanjuruhan Malang. Hal tersebut menjadikan kembali hancurnya dunia sepakbola Indonesia di mata dunia. Peristiwa pasca pertandingan Arema Malang melawan Persebaya Surabaya tersebut telah merenggut lebih dari 180 jiwa supporter.
Parahnya, saya kutip dari Instagram @bolalobfootball, Menteri Kepemudaan dan Olahraga (Menpora) Republik Indonesia Zainudin Amali masih berharap FIFA tidak memberi sanksi pembekuan kepada Indonesia mengingat Indonesia mendapat jatah tuan rumah piala dunia U-20 tahun 2023.
Lantas setelah Menpora pun masih mengeluarkan statement seperti ini, siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi ini? tanggung jawab bersama? Tentu tidak, harus ada yang bertanggung jawab. Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) bersama PT.Liga Indonesia Baru (LIB) pun harus siap untuk dibekukan, hal ini harus menjadi pendewasaan dari segala bidang sepakbola Indonesia supaya kejadian yang sama tidak terulang kembali. Karena bagaimanapun, peristiwa ini harus diusut tuntas untuk menghargai nilai kemanusiaan dari korban yang telah berjatuhan.
Membahas tentang tanggung jawab, kita bisa melihat motif dan kronologi dari peristiwa ini. Pertama, kapasitas stadion Kanjuruhan memuat 38.000 penonton akan tetapi panitia menjual 42.000 tiket yang mengakibatkan stadion kelebihan kapasitas. Kedua, sudah dari sebelumya, liga Indonesia dilangsungkan pada sore hari apalagi pada laga rivalitas dua klub yang sangat kuat. Akan tetapi, pihak televisi, panitia PT.LIB dan PSSI memutuskan untuk memainkannya di malam hari.
Hal ini sesuai pernyataan sekjen PSSI Yunus di pewarta (2/10) yang dikutip dari sport.detik.com. “Ini (jadwal) jadi kesepahaman dan kesepakatan bersama bersama stakeholder PSSI, PT LIB, sponsor, klub, panpel, bahwa pelaksanaan itu telah diatur dalam jadwal yang sudah di share.” ungkapnya. Tanpa dijelaskan lebih lanjut lagi, sudah dapat kita ketahui, dibalik itu pihak yang bersangkutan ingin menaikkan rating dan jumlah penonton untuk pelaksanaan malam hari.
Ketiga, kurangnya pemahaman aparat keamanan akan Standar operasional pengamanan di lapangan sehingga memakai gas air mata untuk meredam kericuhan di stadion padahal merujuk FIFA Stadium Safety and Security Regulation pasal 19, poin B, jelas disebutkan pelarangan menggunakan senjata api atau gas pengendali massa di stadion.
Dikutip dari berita bola.okezone.com Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta mengatakan bahwa timnya yang berada di lokasi telah memberikan imbauan dan pengamanan secara persuasif namun ternyata tidak diindahkan. “Upaya pencegahan sampai dilakukan gas air mata, karena sudah merusak mobil (polisi) dan akhirnya gas air mata disemprotkan,” tuturnya.
Namun, dari dalih Kapolda Jatim mengenai tindakan persuasif yang dilakukan aparat berbanding terbalik dari banyak video yang beredar, nyatanya aparat masih melakukan represifitas dalam pengamanan dengan pemukulan dan tendangan fisik langsung ke supporter yang turun ke lapangan sehingga hanya menimbulkan situasi yang semakin chaos antara aparat dan supporter hingga akhirnya ditembakkan gas air mata ke udara dan arah tribun.
Hal tersebut yang mengakibatkan supporter berlarian dan dari situ, akhirnya ribuan Aremania (sebutan supporter Arema Malang) yang masih berada di tribun panik dan mencari pintu keluar. Puncaknya ketika mereka berebut menuju pintu 10 dan 12 sehingga terjadi penumpukan dan terjadi tragedi ratusan orang meninggal dunia akibat terhimpit, terpijak-pijak, sesak nafas dan permasalahan lainnya.
Melihat dari kompleksnya permasalahan dan pelanggaran yang terjadi dengan melibatkan banyak pihak, peristiwa ini dapat menjadikan refleksi yang kuat pada dunia sepakbola Indonesia dari sektor lembaga dan SDM yang dimiliki Indonesia. Harus ditegaskan pula, peristiwa ini harus diusut tuntas agar tanggung jawab yang dikeluarkan nantinya dapat menjadi pelajaran bagi semua.
Tentu harus ada sanksi tegas yang mesti dikeluarkan kepada pihak yang terkait terutama kepada PSSI, PT.LIB dan pihak klub karena ini bukan peristiwa yang hanya memakan sedikit korban, dunia persepakbolaan kita harus malu karena hal seperti ini masih terjadi di era modern sekarang ini. Dan untuk segala bentuk represifitas aparat, harus terdapat evaluasi yang keras dikarenakan tindak pengamanan yang dilakukan terlalu berlebihan sehingga menjadi penyebab banyaknya korban jiwa yang berjatuhan.
Hal ini juga tidak menutup mata kita pada permasalahan lain yang perlu dibenahi, seperti match fixing dari mafia sepakbola, pemukulan wasit, dan permasalahan lainnya yang melibatkan kualitas persepakbolaan kita dari sektor lembaga dan kualitas SDM kita. Jika sanksi FIFA dilayangkan ke PSSI kita harus menerima dengan lapang dada, jadikan hal tersebut sebagai momen reformasi sektor lembaga persepakbolaan Indonesia dan pihak-pihak yang bersangkutan untuk berbenah lebih baik di tahun-tahun berikutnya.
Untuk aparat keamanan, tolong untuk kesekian kalinya hentikan represifitas dalam pengamanan, kita berharap untuk segera dilakukannya evaluasi kepada pihak dari dua institusi pengaman. Dan terutama untuk supporter Indonesia, semoga tidak ada kasus serupa terjadi karena sepakbola ada untuk dinikmati sebagai hiburan, berikan rivalitas yang sehat untuk mewarnai persepakbolaan itu sendiri, tidak ada nyawa yang sebanding dengan sepakbola. Semoga berbenah. Turut berdukacita untuk sepakbola Indonesia