Oleh: Ridho Nopriansyah
Pria itu menggerakkan kedua bola matanya. Memutarnya bersamaan dengan cepat, ke atas, ke kanan, ke bawah, ke kiri. Sesekali ia juga mengusap wajah. Tiupan pendingin ruangan tak serta merta menguapkan keringat. Perasaannya berdebar, ia bakal menjalani babak baru dalam hidupnya. Setelah sekian tahun mendekap dalam gelap, ia akan menyongsong cahaya.
Dipandangi kulit tangannya, keduanya memutih, pucat seperti mayat. Seolah-olah tak ada darah yang mengalir di bawah situ. Sekejap saja kedua tangan itu menanggalkan pakaian dan celana yang melekat. Kini ia telanjang bulat. Ia menarik kaos bertuliskan Wanted is Free dan celana jeans di lipatan paling atas lemarinya.
Sebelum mengenakannya, ia berjalan ke arah cermin besar. Ia bisa melihat pantulan seluruh tubuhnya. Ia teliti satu per satu; telapak kaki, betis, paha, penis, perut, dada, bulu ketiak, lengan, wajah penuh brewok, rambut sebahu, dan mata. Semuanya pucat, menandakan tak ada gairah kehidupan. Matanya juga kosong, tembus saja ke dalamnya.
***
“Target lepas. Semua lini segera bergerak maju. Kepung lokasi. Jangan lolos lagi,” seorang kepala polisi menyalak dari kegelapan. Radio di tangannya kuat-kuat digenggam. Suaranya timbul lalu tenggelam.
Malam itu, Kampung Ramai Makmur gempar. Belasan pemudanya digiring ke mobil patroli. Ada yang kakinya lumpuh terkena tembakan senjata api, ada yang wajahnya babak belur nyaris tak berbentuk. Ada juga yang mati. Polisi-polisi itu melakukan apapun untuk meringkus pemuda yang kedapatan main-main dengan ganja. Target utama polisi, sang bandar.
Hans berlari kencang ke luar kampung. Napasnya sudah satu-satu saat desing timah panas menyambar telinganya. Ia ngeri sendiri. Sementara salakan polisi yang mengejarnya semakin nyaring di belakang.
Hans merasa tak kuat lagi berlari. Ia mulai berpikir untuk menyerahkan dirinya saja, toh teman-temannya juga sudah banyak yang tertangkap.
Seketika itu juga bayangan jeruji penjara menghantamnya. Polisi dengan senjata api, kurungan bertahun-tahun, ia juga takut dihukum mati. Baru-baru ini ia menonton berita di televisi: laki-laki asal suatu negeri di Afrika dihukum mati karena menyelundupkan narkoba.
“Berhenti kau, Anjing!”
Tak pelak lagi itu pasti teriakan polisi.
Hans mempercepat larinya, ia merasakan paru-parunya nyeri, seakan hendak meledak. Belum lagi degup jantungnya yang bekerja kelewatbatas. Kepalanya semakin berat, nanar pandangannya menyulitkan ia melihat arah. Ia berlari sekencang-kencangnya, sejauh-jauhnya.
Buk buk buk
Hans tersungkur, tak dapat merasakan apapun. Semuanya gelap.
***
Pelan-pelan matanya membuka. Gelaplah yang ditangkap pupil mata Hans terakhir kalinya. Hingga cahaya matahari yang tiba-tiba banyak itu jadi menyilaukan. Hans meraba pelan bekas hantaman beton sisi selokan di kepala, ada bercak merah rupanya.
Setelah melihat sekitar, sempat terbersit niat untuk pulang ke rumah. Namun urung. Takut-takut polisi tengah menunggu di sana. Hans berpikir keras mencari jalan keluar dan cara sembunyi dari warga kampung yang lain. Ia tak mau dirinya diteriaki warga yang sanak saudaranya juga ditahan.
Saat itulah ia teringat Jintan, pelacur langganannya. Dengan terseok dan mengendap-endap, Hans jalan ke rumah Jintan.
***
Jintan menerima Hans di kediamannya dengan lapang dada dan dada terbuka. Ia sudah mendengar kabar penggerebekan polisi dan sempat berpikir nasib lelakinya.
“Bandar ganja ini bisa lolos juga rupanya,” bisik Jintan.
***
Hans sembunyi di rumah Jintan selama seminggu. Selama itu pula ia melihat langsung Jintan bekerja esek-esek, sebelum akhirnya istri Hans, Vero, menjemputnya di sebuah pusat perbelanjaan. Tak mungkin ia menampakkan diri di lokalisasi kediaman Jintan.
***
Vero membawa Hans ke sebuah ruangan pengap berukuran empat kali tujuh meter. Ada kasur, lemari, meja rias, televisi, lemari pendingin,microwave, perangkat komputer terkoneksi jaringan internet. Namun tak ada cahaya matahari yang mampu menembusnya.
Vero meninggalkan Hans di situ. Setelah mengunci pintu dari luar, Vero berbalik dan menaiki tangga menuju sebuah lubang kecil seperti katup di atas. Ia mendorong katup itu kuat-kuat. Kemudian melompat keluar. Meninggalkan ruang rahasia di bawah tanah itu. Lantas keluar dari ruangan bekas kandang kuda. Tanah di bawah kandang itulah persembunyian Hans. Sesekali Vero mengunjungi Hans untuk menambah stok makanan, menyuplai ganja dan menuntaskan berahinya.
Vero tak dapat menemani Hans. Ia takut kalau persembunyian suaminya diketahui warga, lebih-lebih polisi. Ia melarang dua putranya mendekati bekas kandang kuda. Dari sanalah Hans mengendalikan imperium bisnis ganjanya.
***
Suatu pagi Vero mengunjungi Hans. Ia berlari-lari kecil dari pintu belakang rumah, terus menuruni tangga. Kemudian ia membuka kunci pintu dan menemui Hans yang sudah siap dengan kaos bertuliskanWanted is Free. Ia pandangi wajah suaminya yang lama tak melihat matahari. Wajah itu seperti mayat, pucat dan lembek. Pun bagian-bagian tubuhnya yang lain. Untuk pertama kali dalam empat tahun terakhir, muka Vero sumringah.
Tiba-tiba saja air mata Vero jatuh, ia bergerak perlahan hingga menubruk badan suaminya. Walau ia bingung, Hans mendekapnya dalam. Tangis keduanya pecah.
“Sebentar lagi kamu bebas, Sayang. Jangan khawatir. Aku sudah urus. Polisi tak akan menangkapmu,” bisik Vero di sela isaknya.
Keduanya melangkah keluar ruang bawah tanah dan meniti tangga. Hans merasa seperti tengah berjalan di sebuah terowongan. Ada titik-titik cahaya menerobos sela-sela katup. Matanya mulai bereaksi. Vero menyuruhnya tetap menutup mata sampai keduanya keluar dari bekas kandang kuda. Perasaan Hans berkecamuk.
Matanya masih ditutup. Hans bisa merasakan cahaya matahari mencubit kulitnya. Ia berhenti di depan bekas kandang kuda dan meresapi hangat matahari sebanyak-banyaknya. Vero melepas gamitannya di lengan Hans. Ia ingin memberikan jeda untuk suaminya menikmati kebebasannya.
Hans membuka kedua matanya. Silau. Lalu ia menutupnya kembali. Ia belum terbiasa lagi dengan intensitas cahaya sebanyak itu. Vero betul-betul membiarkan Hans sendiri. Dari belakang, Vero melihat rapuh dan bahagia meletup-letup dari tubuh Hans. Sekali lagi ia menyeka tangisnya.
Suamiku, kini kau bebas.
Vero merogoh ponsel di saku celananya. Mendengar dering ponsel, Hans menoleh ke arah Vero yang menyambutnya dengan senyuman. Kemudian Hans kembali menikmati cahaya mataharinya.
“Halo, jangan lupa janji kita nanti sore, Sayang,” suara dari ponselnya.
“Aku tak akan lupa, Pak. Aku akan datang ke hotel itu.”
“Bagus, atau suamimu segera kutangkap. Hukuman mati sedang menunggunya.”
“Akan aku turuti semua ingin Bapak.”
“Seharusnya begitu. Sudah dulu, saya harus pergi. Ada banyak penjahat yang harus ditangkap. Selamat pagi, Sayang.”
“Selamat pagi, Pak,” desis Vero pelan.
Vero menghela napas, lalu beranjak ke arah Hans dan menggamit lengan suaminya itu. Ia tak ingin melepaskannya.
“Mari jumpai Ben dan Louis. Malam ini kita pesta. Nanti sore aku belanja sebentar ya, Sayang.”