Oleh: Mayang Sari Sirait
Kata orang dewasa jika ada bintang jatuh, pejamkan matamu, dan berdoalah. Ketika kau buka matamu, semua sudah jadi nyata.
“Maaf..”
Aku diam, pura-pura tidak mendengar. Tanganku sibuk menggambar boneka dengan kayu yang kudapat di dekat tumpukan koran lama disamping kandang ayam kosong itu.
“Aku tau ini salah, tapi aku benar-benar tak bisa bermain lagi denganmu,” sepertinya itu kalimat terakhir yang keluar dari bibir perempuan berkuncir dua ini. Aku tak berani mengangkat kepala, melihat Ratih—satu-satunya teman yang tersisa untukku. Aku tau dia hanya datang untuk berpamitan. Aku tidak suka itu.
Sekarang desa ini benar-benar menjadi desa hantu—jika tidak ingin disebut desa neraka, tak berpenghuni semenjak pabrik itu berdiri. Dua tahun belakangan, banyak warga yang meninggalkan desa dengan alasan sudah tercemar limbah beracun. Aku tidak begitu mengerti, apalagi Ratih yang hanya tahu bermain masak-masakan. Setidaknya itu yang dibicarakan orang dewasa.
Ratih menjatuhkan boneka beruang cokelat kesayangannya, mungkin sebagai hadiah perpisahan. Aku jelas senang mendapat sebuah boneka, karena memang tak ada mainan yang kumiliki selain bola pingpong yang diberikan Ayah dulu, entah kapan itu. Tapi kurasa tidak dalam keadaan seperti ini.
Setelahnya ku dengar langkah kaki menjauh, jelas itu Ratih yang semakin nyata meninggalkanku. Bagaimana aku kini? Bocah 7 tahun yang tidak punya teman dan kehidupan.
Tanganku terangkat, berusaha menyeka air mata yang tanpa di undang datang tiba-tiba. Apa Ratih sudah benar-benar pergi? Aku takut dia melihat aku menangis. Aku kan laki-laki. Aku bangkit, berlari sambil menutup mata dengan tanganku. Walau harus tersandung berkali-kali, aku ingin segera pulang dan memeluk Ayah untuk mengatakan: “Aku ingin pergi, Ayah,”
Ternyata benar, aku tersandung gundukan tanah dan terjatuh. Kugigit bibir bawahku sekuat-kuatnya, menahan rasa sakit dengkulku dan sesuatu yang menyesakkan di dada ini, menahan tangisku.
“Ayah,” aku rasa aku tidak kuat lagi dan menangis. Aku mencoba bangkit dan berbalik arah. Rasanya aku tidak sanggup merengek di hadapan Ayah. Aku ingat jelas Ayah marah dan berteriak tidak punya uang, lalu memukulku dengan sapu saat terakhir kali aku meminta pindah. Itu sakit, dan aku tidak ingin lagi.
Aku kembali berlari, kali ini tanpa menutup mata. Tidak akan ada yang peduli, tidak akan ada yang mengolok-olokku karena menangis, toh tidak ada orang lagi disini. Hari semakin gelap, ku lihat langit mulai berwarna oranye yang menakjubkan. Namun tak sempat kunikmati, melupakan sejenak pesonanya yang menenangkan.
Ini tidak jauh, tapi rasa lelahnya seperti aku sudah berlari sejauh ribuan kilo meter. Mungkin karena membawa beban berat. Mungkin kesedihan.
Aku menutup hidungku, kuingat Ayah menyuruhku melakukannya jika berada dekat dengan pabrik itu. Aku hanya ikut saja. Bangunan itu tampak menyeramkan dari sini. Besar dan kelam. Kepulan asap hitam keluar dari cerobong yang tidak sempat ku hitung banyaknya pun aku belum mahir berhitung.
Dari sela-sela gerbang abu-abu yang tinggi itu terlihat beberapa orang dewasa yang memakai baju kombinasi biru muda dan merah serta penutup mulut di kepala tengah mengerjakan sesuatu yang tidak ku mengerti.
Sejujurnya aku mengagumi bangunan ini. Sebelumnya tidak ada bangunan besar di desaku. Paling besar ya rumah Pak Darwo, yang kerjanya pulang-pergi ke kota besar. Itupun jauh jika dibandingkan dengan pabrik ini.
Langkahku beralih ke arah selatan. Rasanya aku rindu pada sungai tempat aku tumbuh. Dulu aku sering ikut almarhumah Ibu yang setiap pagi pergi mencuci bersama Ibunya Ratih.
Sungai itu tak kalah menenangkan dari langit oranye yang kusebut tadi. Airnya jernih, banyak bebatuan indah, ikan-ikan lucu dan menggiurkan tak terhitung jumlahnya. Dulu. Ya dulu.
Hari mulai malam, kulihat matahari sudah melambaikan tangan padaku. Aku masih menutup hidungku, namun bau tajam dan menyengat yang tidak ku mengerti menusuk indera penciumanku. Mataku perih melihat air berwarna hitam pekat dengan buih bersamanya.
Kepalaku sedikit berat, rasanya pusing dan perutku mual. Aku terbatuk, memegang dadaku yang lebih sesak dibanding melihat kepergian Ratih tadi. Sayup-sayup ku dengar suara Ayah memanggil namaku dan aku jatuh.
Ucapan Ratih kembali mengisi ingatanku ketika mataku menangkap secercah cahaya yang bergerak seperti bintang jatuh—ku harap begitu agar aku bisa membuat permohonan. “Kau tau doa yang paling ampuh? Dialah bintang jatuh, buatlah permohonan dan kau akan melihat keajaiban,” begitu katanya.
“Selamatkan negeri ini dari pabrik itu bintang jatuh,” aku tersenyum, meski rasanya seluruh tenagaku hilang entah kemana. Senyumku perlahan lenyap, mataku tertutup. Dan tangisan Ayah menjadi hal terakhir yang ku dengar.
Kata orang dewasa jika ada bintang jatuh pejamkan matamu, dan berdoalah. Ketika kau buka matamu, semua sudah jadi nyata.
Nyatanya, aku tidak membuka mataku lagi.