Oleh: Yulien Lovenny Ester Gultom
Bidiklah sesuka hatimu, perhatikan kode etiknya dan berhati-hati saat mempublikasikannya.
Teknologi untuk memotret sudah sangat berkembang pesat saat ini. Berbagai kamera juga beragam jenisnya, gopro, dslr dan alat komunikasi seperti telepon seluler kini memiliki kemampuan kamera di atas 10 megapixel, kualitas ini tentu menghasilkan jepretan dengan kualitas gambar yang bersih dan baik.
Hobi memotret juga tengah digandrungi masyarakat yang tak memiliki basic fotografi. Misal, fenomena selfie, hampir semua orang pernah melakukannya. Bahkan segala sesuatu yang aneh dan menarik di jalan pasti akan dijepret untuk dipublikasikan secara cepat di media sosial. Pun, akses internet yang tersedia di mana saja menambah cepat publikasi hasil bidikan.
Baru-baru ini ada banyak foto-foto berbau sadisme dipublikasikan, sebut saja kasus wanita berinisial EF yang meninggal akibat pemerkosaan dan disiksa dengan memasukkan cangkul ke dalam kelaminnya. Sebelum beritanya dimuat, foto tersebut sudah menyebar melalui media sosial tanpa sensor. Selain itu, ada banyak lagi kasus seperti ini, foto dosen asal Kota Medan yang dibunuh mahasiswanya juga disebar, lagi-lagi tanpa sensor. Ah, banyak lagilah. Terkadang, si pengambil foto juga menyempatkan diri untuk ber-selfie ria dengan korban ataupun di lokasi kejadian.
Dalam foto jurnalistik, hal-hal tentang pengambilan gambar diatur dan memiliki etika, inilah yang disebut etika foto. Tak hanya manusia yang harus beretika bukan? Jadi, ada tiga faktor yang menjadi pegangan dasar apabila kita ingin menerbitkaan ataupun menyiarkan gambar. Pertama manfaat, seberapa besar dampak yang akan ditimbulkan dengan publikasi yang kita berikan, apakah untuk kepentingan orang banyak?
Kemudian selanjutnya, Mutlak. Seorang wartawan foto harus mengambil gambar apabila memang harus disiarkan agar masyarakat tahu. Terakhir gabungan antara keduanya, yakni manfaat dan mutlak. Pada faktor ini difokuskan pada rambu-rambu peraturan seperti KUHP pasal 161 tentang ancaman pidana apabila mengganggu ketertiban umum, pun Kode Etik Wartawan Indonesia (KEW) juga menjamin kebebasan pers serta hak masyarakat yang harus dilandasi oleh moral, etika, dan profesi. Salah satu isi KEW ialah wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul dan tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
Di atas kita membahas mengenai fotografer-fotografer yang memang menggeluti bidang fotografi, lantas bagaimana dengan masyarakat luas yang juga harusnya memahami kode etik ini?
Menurut pasal 13 ayat (1) huruf J Undang-undang hak cipta mengatakan bahwa fotografi termasuk ciptaan yang dilindungi dan dalam pasal 19 untuk memperbanyak atau mengumumkan hasil ciptaaanya pemegang hak cipta atas potret seseorang harus mendapat izin dari orang yang dipotret. Pun jika subjek dalam foto telah meninggal dunia, harus mendapat izin dari ahli warisnya.
Dalam hal ini, apakah kita sudah melaksanakan sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang? Izin sebelum memotret bisa Anda lakukan sebelum mempublikasikannya, dan jika tidak diberi izin sepertinya memang Anda jangan coba-coba mengambilnya sebab yang bersangkutan bisa saja menuntut Anda, selama dua tahun dan denda 150 juta rupiah, angka yang fantastis untuk sebuah foto.
Dalam undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 27 Ayat (3) UU ITE mengatakan bahwa publikasi yang dilakukan secara sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan, mentrasmisikannya supaya dapat diakses memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dapat dihukum, secara rinci penghinaan nama baik juga merujuk pada KUHP pasal 310 dan 311.
Dalam buku Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sesuatu yang disebut penghinaan ialah dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu dan siarkan agar diketahui orang banyak. Jadi, selain melanggar hak cipta, salah bertindak bisa juga membuat Anda terjerat pasal pencemaran nama baik dan dendanya tak tanggung-tanggung, satu miliar.
Hmm, tasanya berpikir sebelum bertindak juga harus kita terapkan saat mengambil foto. Yah, memotret bukan untuk gaya-gayaan atau sekadar eksis di media sosial. Harus kita pikirkan apa dampak mempublikasikan untuk masyarakat luas.
Satu sisi memang jadi orang pertama yang tahu informasi tapi di sisi lain, orang lain bisa tersakiti dan kita pun dipenjara. Cara eksis dan menghasilkan juga ada, kirim saja fotomu tadi ke media-media di luar sana. Jika fotomu menarik puluhan rupiah pun bisa masuk ke kocek Anda!
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja 2013. Saat ini aktif sebagai Pemimpin Umum di Pers Mahasiswa SUARA USU.