Oleh: Ika Putri A Saragih
Baginya, pengabdian di Kampung Nelayan menjadi cara menghargai waktu dan nyawa. Sejak dua tahun silam, ia masih konsisten merawat huruf-huruf di Kampung Nelayan.
Nama Arnila dibubuhkan di ukiran tali temali yang menandai pondok itu. Awalnya Arnila hendak menamai tempat belajar itu sebagai Pondok Belajar saja, namun ayah menambahkan namanya di belakang sehingga nama tempat itu menjadi Pondok Belajar Arnila.
“Ayah tahu kali perjuangan kamu buat itu. Ya harus dibuat Arnila-nya biar mereka mengerti perjuangan ini,” kata Ayah.
Pondok yang baru rampung awal tahun lalu itu merupakan hasil kerja keras Arnila selama berbulan-bulan. Ia menyisihkan uang jajan dan menjual kreasi bunga-bungaan guna membeli bahan-bahan bangunan. Selama kurang lebih sepuluh bulan, Arnila menyicil bahan bangunan dengan membeli sedikit demi sedikit. Hari ini ia membeli tiga buah papan triplek, minggu depannya ia membeli pintu bekas, esoknya lagi membeli sekotak paku. Begitu seterusnya. Tak terasa belasan juta sudah Arnila habiskan demi membuat pondok itu kini berdiri kokoh.
Arnila sebenarnya bisa saja mengajukan proposal ke instansi atau elemen lain untuk meminta bantuan dana. Namun Arnila merasa ngeri menggunakan uang yang bukan miliknya. Pernah suatu kali ada satu partai menghibahkan sejumlah uang dan meminta ia mengelolanya untuk pondok. Namun ia enggan.
“Lebih baik mereka mendata sendiri apa saja yang ingin mereka bantu. Misalnya memberi buku atau peralatan lain,” Ujar wanita yang bercita-cita menjadi dokter anak ini. Lagipula Arnila merasa ini tanggung jawabnya.
Di awal tak pernah terbersit dalam benak Arnila untuk mendirikan pondok belajar. Pada pertengahan 2014 itu niat awal datang ke Kampung Nelayan hanya untuk membagikan buku Ketika Alam Membisu miliknya kepada anak-anak di sana. Sesampainya di sana ia bertemu dengan salah satu anak, Wahyu. Wahyu marah sewaktu Arnila memberinya buku.
“Kakak ngapain ngasih buku? Kakak ngejek aku ya?”
Ternyata Wahyu yang duduk di kelas dua sekolah dasar itu belum bisa membaca. Ia menjumpai kasus yang sama pada kebanyakan anak-anak lain di sana. Setelah berinteraksi dengan beberapa anak Arnila menyadari bahwa mereka punya ketertarikan untuk belajar namun tidak ada fasilitas. Arnila berjanji pada anak-anak di sana ia akan datang kembali untuk belajar bersama mereka.
Kedatangan Arnila yang kedua disambut dengan antusias oleh anak-anak Kampung Nelayan. Anak-anak itu telah menunggu kedatangan Arnila di bibir kampung. Ia datang bersama salah seorang temannya dengan membawa papan tulis dan lemari kecil tempat menyimpan buku. Mereka menggelar kegiatan belajar mengajar itu di halaman musala.
Setelahnya Arnila rutin dalam seminggu bolak-balik hingga empat kali untuk mengajar di sana. Ia sengaja turun dari perahu agak jauh dari musala sembari menyusuri rumah warga memanggil anak-anak untuk belajar di hari itu. Ia mengajarkan baca tulis selama satu jam setelah itu menyesuaikan dengan pelajaran sekolah. Arnila juga melakukan praktik-praktik sederhana dan permainan guna memudahkan muridnya memahami pelajaran.
Demi menjalin kedekatan dengan muridnya, Arnila menghabiskan waktu akhir pekannya menginap bersama mereka. Jika ia mendapat libur satu minggu, kini Arnila lebih memilih menghabiskan waktu di pondok ketimbang pulang ke kampung halaman.
Niat perempuan dua puluh satu tahun ini tak sepenuhnya berjalan mulus. Di awal ia menghadapi penolakan dari beberapa warga. Beberapa orang tua murid tak ingin anaknya belajar karena mereka masih berpikir sekalipun pandai, nasib mereka akan tetap menjadi nelayan.
Selain itu, ada orang tua yang bersikeras anak mereka harus membantu membubu ikan buat pemasukan keluarga. Beberapa anak akhirnya absen karena dimarahi oleh orang tua mereka. Ia mencoba menjelaskan pentingnya pendidikan kepada orang tua muridnya namun respon yang diterima tetap penolakan. Arnila putar akal. Ia ikut bersama warga menjaring ikan untuk semakin membaurkan dirinya. Sembari membubu ikan itu ia membawa buku dan mengajari muridnya di atas kapal.
Bukan hanya itu kendala yang dihadapinya. Arnila pernah menghadapi tuduhan sebagai mata-mata pemerintah. Ia pernah dicegat preman yang menanyakan tujuan kedatangan Arnila ke kampung itu. Kondisi geografis Kampung Nelayan yang dekat dengan laut dan pelabuhan membuat watak masyarakatnya lebih keras.
“Nila juga bilang sama ayah ibu di Bengkalis agar ikhlas pada apapun nanti yang terjadi,” ujarnya seraya tersenyum. Ia tak gentar karena niatnya ke sana untuk mengajar.
Tak hanya itu, ada bisik-bisik di sana-sini yang mengatakan dirinya mendapatkan banyak suntikan dana dari berbagai pihak dan pencitraan diri. Bisik-bisik itu juga diarahkan kepada keluarga angkatnya, ayah dan mamak yang meminjami tanah kavling tempat pondok belajar itu berdiri. Tapi Arnila tak ambil pusing dengan itu semua.
Anak-anak Kampung Nelayan menjadi penyemangatnya. Arnila harus pandai mencuri waku di tengah padatnya jadwal kuliah dan akses yang lumayan jauh. Mahasiswi Fakultas Kedokteran UISU ini bolak-balik dari Medan ke Kampung Nelayan dengan menggunakan angkutan umum. Tak jarang ia kelelahan hingga ketiduran di dalam angkutan umum. Makanya Arnila hanya membawa barang dan uang seperlunya jika berkunjung ke sana.
Kini Arnila yang sudah berada di semester tujuh semakin sibuk sehingga ia hanya dua sampai tiga kali dalam seminggu bisa mengunjungi pondoknya. Ia pernah mencoba membuka semacam kelompok relawan dengan beberapa kawan-kawannya. Namun tak jalan karena kesibukan masing-masing. Alhasil ia sendiri yang konsisten mengajar di sana. Maka kini di sela kesibukannya, demi keberlangsungan kegiatan belajar mengajar di sana, Arnila dibantu oleh seorang guru honorer. Arnila berkomitmen ingin tetap memfasilitasi anak-anak Kampung Nelayan hingga akhir.
Teman dekat Arnila, Arindi Habibi menggambarkan ia sebagai sosok orang yang baik dan peduli dengan orang lain. Arnila juga lihai membagi waktu di antara sekian banyak kesibukannya mengikuti organisasi di kampus, mengikuti kegiatan belajar di kampus dan mengajar di pondoknya.
“Hal yang patut ditiru dari dia itu semangatnya. Dia itu gak kenal capek,” katanya.