Oleh: Suratman
Katanya, jika pacaran akan mendekatkan pada kata ‘zina’. Dan, timbul sebuah ambiguitas pacaran itu sendiri.
La Ode Munafar mungkin kini bisa dikatakan berhasil dengan gagasan Indonesia Tanpa Pacaran-nya. Buktinya, pemuda asal Sulawesi Tenggara ini berhasil menjaring 700-an ribu pengikut di laman Instagram dan 400-an ribu di Facebook Indonesia Tanpa Pacaran. Bahkan dirinya mengaku telah memiliki 20 ribu anggota dari 80 daerah di Indonesia.
Siapa sangka, gerakan yang baru tiga tahun dirintis sejak 2015 itu benar-benar mampu menarik minat khususnya kaum muda sebagai mangsa pasarnya. Tahu pasar, gencar lakukan promosi, ditambahkan bumbu agama, dan beberapa guyonan seksi saat menarasikannya. Pendengar riuh bersorak bertepuk demikian terpikat. Fabrikasi yang dibuat Munafar rancak sangat.
Munafar melalui gerakannya ingin mengajak kaum muda Indonesia untuk tidak melakukan hubungan berupa pacaran. Singkatnya, pacaran seyogyanya selalu berujung pada hal-hal negatif dan menimbulkan banyak kerugian.
Kerugian yang ditimbulkan juga semata bukan hanya sebatas fisik, namun pelecehan kerap diterima pihak perempuan. Tapi sifat ketergantungan, malas, hal-hal demikian juga menjadi dampak lain tidak dapat dihindari.
Jika melihat gerakan Indonesia Tanpa Pacaran gagasan Munafar ini maka kita dapat menilai jika pacaran merupakan aktivitas yang merugikan dan harus dijauhi. Tapi jika dilihat berdasarkan ensiklopedia bahasa, sebenarnya pacaran diartikan sebagai suatu proses perkenalan dua individu sebagai rangkaian dari pencarian kesamaan dalam mencocokan karakter sebelum menjalin suatu ikatan pernikahan atau berkeluarga.
Secara defenisi bahasa pacaran sah-sah saja untuk dilakukan bukan juga merupakan aktivitas yang menyalahi aturan. Pasalnya, pacaran hanya serangkaian proses dalam menentukan kesamaan saja. Agar nantinya saat individu lanjut ke jenjang yang lebih mantap (pernikahan) diharapkan tidak ada ketidaksesuaian yang timbul. Karena ketidaksesuain telah diketahui pada saat proses pacaran terjadi.
Dewasa ini, dalam prosesnya, masyarakat (Indonesia) menilai pacaran sebagai rangkaian pencocokan maknanya sudah banyak berganti dan banyak terjadi aktivitas-aktivitas yang tidak sesuai menyalahi aturan. Ciuman, berpelukan, bahkan bisa sampai melakukan hubungan di luar pernikahan sebagian tindakan kerap dilakukan saat proses pacaran berjalan.
Tentunya, terlebih di masyarakat Indonesia yang paham ketimurannya dijunjung tinggi dengan norma-norma dan tradisi adat kental maka hal-hal demikian salah dan tidak pantas dilakukan. Oleh karena itu wajar saja pacaran kerap distigmai negatif. Adanya pemikiran negative muncul berbarengan dengan beriringannya normaltivitas dan normativitas adat serta aspek agama yang sudah hidup jauh bertahun-tahun lalu sebagai sebuah pedoman dan identitas.
Fornikasi atau persetubuhan yang dilakukan atas rasa suka sama suka dan saling membutuhkan tanpa paksaan dan tanpa bayaran antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan atau perkawinan.adalah salah satu kasus besar yang akibatnya paling ditakuti.
Hamil di luar nikah dampak seriusnya. Pertama, dalam prakteknya jika seorang perempuan hamil tidak akan bermasalah jika hasil dari hubungan dengan suaminya. Tetapi jika tidak itu merupakan aib bagi keluarga dan dosa dalam agama.
Kedua, jika kehamilan terjadi di luar nikah bisa saja timbul tidak adanya pertanggungjawaban dari satu pihak. Ketimpangan ini jelas merugikan pihak perempuan dan klaim untuk tidak menangungjawabi bisa saja dilakukan pihak laki-laki karena hubungan mereka tidak jelas (tidak ada ikatan pernikahan) terlebih secara hukum.
Tetapi, saat pelaksanaanya berjalan baik tidak menimbulkan aktivitas negatif itu sah saja. Pasalnya dalam menciptakan hubungan yang afeksi dan ekslusif pastinya membutuhkan proses perkenalan. Maka tak salah jika pacaran itu dilakukan. Karena pacaran proses perkenalan, dan perkenalan boleh dilakukan siapa saja.
Karena salah atau tidaknya hal yang dilakukan individu atau kelompok tergantung dengan kesepakatan atas normaltivitas dan normativitas. Selain itu tindakan dinyatakan salah dan dilarang secara hukum juga ditengarai jika ada kerugian di salah satu pihak. Lantas bagaimana dengan pasangan yang melakukan aktivitas ciuman, pelukan bahkan fornikasi saat pacaran karena kemauan bersama bahkan masing-masing tidak merasa dirugikan. Apa itu juga masuk kategori salah dan dilarang?
Dan apakah tetap salah dan dilarang jika aktivitas ciuman, berpelukan, dan fornikasi dianggap hal yang normal dan bukan suatu ketidakpantasan dilakukan saat pacaran?