Oleh : Sagitarius Marbun
“Salibkan dia, salibkan,” teriakan-teriakan itu mengelegar di seantero negeri. Tidak sedikit yang sesenggukan menahan pilu.
***
Maria termenung sendiri di sudut rumah. Sementara suami dan anaknya tidak tahu pasti di mana keberadaannya. Ia sudah terbiasa memang diperlakukan seperti itu. Ditinggal sendirian di rumah. Kedua lelaki yang dicintainya itu kadang lupa waktu ketika sudah berhadapan dengan mata pancing.
Hari sudah semakin sore. Lembayung pun perlahan tampak. Dengan gelisah, Maria mengedarkan pandangnya menuju pintu rumah panggungnya. Padahal tanpa diamati pun akan segera tahu ada tidak yang melewati pintu itu lantaran deritnya yang teramat setelah puluhan tahun tak diganti.
Meski udara dingin, tubuh Maria berlumuran keringat. Panas dingin dia. Memang seperti itulah batin seorang istri, risau hati kala suami tiada pulang. Memang begitulah jiwa seorang ibu, kalang kabut jika si anak tiada pulang. Di tengah kecamuk pikirannya yang menyuruh pergi mencari atau menunggu, suaminya akhirnya datang. Sesaat hatinya tenang, namun perlahan gelisah merayap lagi.
“Je di mana?” tanyanya bergetar. Belum jua suaminya melewati pintu berderit itu, Maria langsung menyongsongnya.
“Tiadakah dia pulang,” suaminya balik tanya.
“Suf. Je pergi bersamamu. Masakah kau tidak tahu di mana dia,” tanya Maria semakin kesal. Urat-urat lehernya mengeras seketika.
“Je sudah terlebih dahulu pulang saat aku memancing. Kemana anak itu sampai sore ini tiada pulang,” kata suaminya Yusuf. Sepertinya ia akan marah.
Menyadari hal itu, Maria buru-buru menariknya ke rumah. “Masakah dia pulang duluan,”
“Sudahlah Dinda. Aku harus segera mencarinya. Kau tetap lah di rumah. Jangan kau pikirkan apa-apa. Aku akan menemukan anak kita,” kata Yusuf setelah mendengar keraguan istrinya. Ia merasa tersinggung sebenarnya. Tapi besok ada perayaan yang penting. Tak boleh ia marah ke pada istrinya.
***
Lonceng gereja berbunyi bertalu-talu, mengetarkan hati yang pilu setelah satu tahun menjalani kerumitan hidup. Hari ini hari Jumat. Dari berbagai sudut desa, orang-orang terhuyung membawa duka ke gereja yang nantinya akan ditangiskan dalam adegan penyesalan. Maria pun tak ingin melewatkan peristiwa itu. Ia dengan hati berkecamuk datang ke gereja. Mengambil tempat paling strategis untuk menikmati setiap adegan yang akan dipertontonkan nanti.
Ia duduk sendiri tanpa suami dan anaknya. Anaknya belum pulang sedari kemarin diikuti suaminya yang tiada pulang mencari anaknya. Malang betul nasibnya. Sebenarnya di tengah malam, saat ayam mulai ragu-ragu untuk berkokok ia ingin keluar rumah. Mencari suami dan anaknya. Tapi separuh hatinya kalah dari separuh hatinya yang lain. Ia tergolek tak berdaya dan akhirnya memilih menunggu. Tradisi dan ketakutan yang membuatnya demikian. Jika ada orang yang berkeliaran menjelang malam Jumat Agung ia akan dihukum sebagai pengisi adegan perjalanan salib. Itu berlaku supaya adegan kelihatan faktual, ditambah algojo yang tak segan-segan mencambuknya hingga berdarah-darah. Itulah hukuman bagi orang yang dianggap mencemari kesucian malam Jumat Agung. Orang di desa percaya, Yesus tengah berdoa di bukit getsemani dan tidak boleh diganggu.
Adegan demi adegan diperankan. Maria terkejut. Hatinya berontak. Semua ketakutannya telah terjawab hari ini. Air matanya tiada berhenti mengalir seperti sunday yang meluap. Di depan matanya, anaknya tengah memperagakan tokoh Yesus dalam perjalanan salib. Sementara algojo-algojo itu memerankan prajurit yang menyukainya. Benar-benar nyata. Libasan demi libasan, cambuk demi cambuk menghujani tubuh letih anaknya, Je.
Tak ada yang peduli raungnya menyisakan pilu. Tak dinikmatinya lagi kebaktian yang setiap tahun ditunggunya ini. Setiap gertakan yang diperoleh anaknya menyiksa batinnya. Ingin rasanya ia menggantikan anaknya. Ingin rasanya ia membubarkan dan menurunkan pendeta atau entah siapa yang berhak menghentikan adegan itu. Je dilibas lagi. Bercak darah mengalir dari tubuhnya. Orang-orang kelingking kasihan, tapi tak satu pun yang berani menghentikan. Hanya pasrah jika ini hanyalah sebuah adegan ketika Yesus disalibkan.
“Salibkan dia, salibkan dia,” teriak orang-orang. Tangis Maria semakin pecah. Ia tak tahan lagi. Dengan bermodal keibuannya, ia berlari ke tempat penyaliban. Direbutnya anaknya dari genggaman para algojo dan dibawanya pergi. Orang-orang menatapnya nanar. Marah. Karena telah mengacaukan ritual. Tapi tak mampu berbuat apa-apa. Hanya menceracau. Mengutuk Maria yang membawa tokoh Yesus pergi.
***
“Kenapa kau sampai bisa tertangkap anakku,” tangis Maria kala membersihkan luka-luka cambukan di tubuh Je yang menahan nyeri kala kapas beralkohol itu menyentuh lukanya.
“Aku sudah mencoba berlari Bu, tapi algojo itu lebih jago,” katanya.
“Setelah pamit dari Ayah, aku hendak pulang Bu. Tapi pendeta menyuruhku membeli ikan asin dari pasar. Akibatnya aku kemalaman,” ceritanya.
“Tak kau bilang ke algojo itu Pendeta yang menyuruhmu.”
“Sudah Bu. Tapi Pendeta yang telah menjebakku. Ia tidak punya tokoh untuk disalibkan kali ini,”
Maria menggeleng. Ia mengelus lembut kepala anaknya yang lugu. Ternyata Pendeta pun sudah tak lagi tempat berlindung umatnya. Ia sudah menyerupai pemerintah yang menggerogoti rakyat. Demi kelancaran ibadat Jumat Agung ia menjebak Je. Naruli keibuannya seakan dipertanyakan.
“Ayah di mana Bu,” seiring pertanyaan itu terlontar dari mulut Je. Pintu rumah berkarat berderit. Yusuf telah pulang. Pipinya babak belur.
Maria menyusulnya. Terpelanting ia menggapai suaminya. “Kau kenapa?,” tanya Maria. Tangannya gemetar menatap nanar setiap lebam yang membiru.
“Maafkan aku yang jadi pertemuan bagi anak kita. Aku tak berdaya membelanya di hadapan para algojo,” terangnya terisak.
Air mata tumpah di dua pasang mata itu. Mereka berpelukan. Seakan kisah sedih tak habis dirasakan mereka. Je menyusul. Bulir-bulir ngilu masih melekat di tubuhnya. Ia bergabung di antara pelukan ibu dan ayahnya. Sungguh khusyuk Jumat Agung bagi mereka. Tuhan yang tahu seberapa perih adat dan pencitraan bagi mereka.