Oleh: Surya Dua Artha Simanjuntak
Definisi perempuan di KBBI jadi polemik. Aktivitis perempuan menganggapnya terlalu diskriminatif. Namun, ahli bahasa USU melihatnya sebagai fakta bahasa.
“Ganti penjelasan kata ‘perempuan’ dalam KBBI!”
Begitu kalimat tercetak di kaus yang dikenakan Asterika, Vokalis Band Barasuara, dalam foto yang ia unggah di akun Instagramnya. Dalam keterangan foto, Aster menyoroti penjelasan kata perempuan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang “negatif sekali” dan “tidak objektif”. Ia juga mendesak Badan Bahasa mengganti penjelasan itu. Sejak dipos 28 Januari lalu, setidaknya sudah 34 ribu orang yang menyukai foto itu.
Definisi perempuan di KBBI pun mulai banyak diperbincangkan. Bahkan, Komnas Perempuan hingga politisi ikut berkomentar, tanggapan mereka senada dengan Aster.
Sebenarnya, kritik serupa sudah dimotori oleh Praktisi Seni Ika Vantiani sejak 2018 lalu, ketika ia memajang karya seni instalasi yang menampilkan penjelasan kata perempuan dalam KBBI edisi kesatu sampai kelima di Galeri Nasional Indonesia. Lewat karyanya itu, Ika ingin menunjukkan dalam KBBI, perempuan selalu dideskripsikan sebagai “orang yang hidupnya hanya berkisar tentang seks semata.”
Jika dilihat di KBBI edisi kelima, perempuan memang didefinisikan sebagai “1. orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita, 2. istri; bini; 3. betina (khusus untuk hewan).” Selain itu, semua gabungan kata perempuan juga berkonotasi negatif, seperti perempuan geladak, jahat, jalan, jalang, jangak, lacur, lecah, nakal, dan simpanan.
Lantas, muncul pertanyaan: mengapa tim penyusun KBBI mendefinisikan perempuan seperti itu? Apakah mereka sudah bekerja secara objektif?
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu, Mulyadi, Ahli Bahasa USU, punya penjelasan. Menurutnya, Bahasa Indonesia adalah hasil dominasi laki-laki.
“Posisi perempuan lemah di budaya kita,” jelas dosen linguistik Fakultas Ilmu Budaya USU ini.
Hasilnya, penjelasan perempuan dalam KBBI cenderung berkonotasi negatif. Jelas Mulyadi, hal ini karena kamus hanya memuat dan memaknai kata sesuai pemakaiannya di dalam masyarakat. Sehingga, kamus bukanlah hasil pemikiran subjektif.
Artinya, definisi dan gabungan kata perempuan di KBBI bukan asumsi ahli bahasa, melainkan hasil pengamatan bahasa yang digunakan masyarakat sehari-hari (fakta bahasa). “Kalau kenyataannya definisi itu yang tercatat, memang itulah yang terjadi di masyarakat,” terangnya.
Sebagai contoh, Mulyadi membandingkan pemakaian kata ‘perempuan’ dengan kata ‘wanita’ dalam budaya kita. Menurutnya, masyarakat cenderung mencirikan perempuan sebagai pribadi yang lemah sedangkan wanita sebaliknya. Itulah mengapa ada istilah pemberdayaan perempuan, bukan pemberdayaan wanita.
“Kenapa mesti diberdayakan? Karena (perempuan—red) dianggap lemah. Itu jelas itu, karena masyarakat sendiri yang menamai itu,” terangnya.
Sedangkan, masyarakat cenderung menciptakan istilah yang lebih positif untuk kata wanita. Misalnya, wanita karier dan dharma wanita, bukan perempuan karier dan dharma perempuan.
“Berarti wanita itu orang yang berkarier, berorganisasi, cemerlang. Dari mana label-label itu? Dari mana komponen-komponen itu? Diberikan oleh masyarakat sendiri,” ujar Mulyadi.
Oleh karena itu, ia menganggap kritik yang ditujukan kepada Badan Bahasa salah alamat. Menurutnya, mereka sudah bekerja sesuai prosedur dan metode keilmuannya. Malahan aneh apabila Badan Bahasa memaknai suatu kata namun tak sesuai dengan realitas yang ada di masyarakat.
Mulyadi menegaskan, bahasa harus dilihat sebagai hasil pemikiran masyarakat. “Negatif-positifnya bahasa itu ada dalam pikiran kita,” tegasnya.
Artinya—dalam polemik ini, jika masyarakat masih memandang perempuan secara negatif maka berbagai label dan istilah yang tercipta mengenai perempuan juga akan negatif. Untuk itulah, kalau kita ingin mengubah penjelasan perempuan di kamus, yang terlebih dahulu harus diubah ialah cara berpikir masyarakat.
“Mari kita ubah cara berpikir kita, agar perempuan tidak dinilai secara diskriminatif. Kita ciptakan istilah-istilah yang memperkuat posisi perempuan dalam masyarakat,” ajaknya.