Oleh: Lazuardi Pratama dan Mutia Aisa Rahmi
“Malim ma hamu (Malim-lah kalian).” Artinya, “sucilah kamu atau senantiasalah suci dalam keagamaan” begitu pesan Raja Nasiakbagi pada pengikutnya. Diturunkan dari generasi ke genarasi, Malim suci, tak terkontaminasi kepercayaan lain yang datang mengisi zaman.
[dropcap]R[/dropcap]aja Marnakkok Naipospos berjalan tergopoh-gopoh dari dalam rumah menuju teras siang itu. Matanya agak sayu. Di usianya yang ke-76 ini, rambutnya sudah beruban, namun rambut hitamnya masih mendominasi. “Siapa yang telepon saya kemarin? Saya kan sudah bilang saya sedang sakit, tidak bisa wawancara,” katanya.Raja Marnakkok, seorang ihutan (berarti yang diikuti), pemimpin pusat Parmalim kemudian mengambil posisi duduk di kursi plastik. Ia adalah cucu dari Raja Mulia Naipospos, sahabat dan murid Sisingamangaraja XII. Raja Mulia itu dulunya adalah orang yang melembagakan Malim menjadi Ugamo Malim, setelah sebelumnya hanya menjadi kepercayaan dan ajaran lisan turun-temurun di Tanah Batak. Raja Mulia kemudian menjadi pemimpin spiritual.
Raja Marnakkok tidak banyak bicara. Istrinya yang lebih banyak bercerita. Katanya, Raja Marnakkok menderita penyakit gula selama beberapa tahun belakangan. Kondisi itu membuatnya lemah. Ia juga sulit mendengar dan tidak bisa berbicara panjang lebar karena membuatnya cepat lelah.
Raja Marnakkok dan istrinya berbicara ringan soal agama Malim dan Parmalim di wilayah ini, Huta Tinggi, Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, sekitar setengah jam dari Balige. Satu hal penting yang dingatkan Raja Marnakkok adalah Parmalim tidak seburuk rumor-rumor beredar. Kata Raja Marnakkok, “kami bahkan jauh lebih bersih.” Ini merujuk pada larangan Parmalim makan babi, anjing, atau darah. Juga, bila ingin memotong hewan, harus dipastikan hewan itu bersih.
Raja Marnakkok bercerita bagaimana rumah Parmalim punya lambang sendiri. Di kusen atau asbes pintu depan rumah, Parmalim biasa menggantungkan bane-bane. Bane-bane ini terdiri dari tali tiga warna yang menggantungnya: merah, putih, dan hitam (warna Batak).
Yang digantung adalah jeruk purut yang di bagian bawahnya dipasangi daun kemangi. Bane-bane ini harum wanginya. Tujuannya ialah, selain sebagai pewangi, juga sebagai penangkal aroma-aroma buruk dari luar supaya tidak masuk ke rumah.
Rumah mereka ini termasuk salah satu bangunan di komplek peribadatan Parmalim. Di depan rumah mereka ada pelataran yang diselimuti paving block. Pelataran itu menjadi pelataran Bale Pasogit Partonggoan alias BPP, rumah ibadah Parmalim. Pelataran itu juga menjadi lokasi upacara besar Malim, seperti Sipaha Sada dan Sipaha Lima.
Di dalam komplek itu juga ada kantor pengurus Punguan Malim, organisasi yang melingkupi Parmalim. Ada juga tiga rumah warga dan bangunan dengan kamar-kamar kosong. “Kalau lagi ada acara, Parmalim dari seluruh Indonesia menginap di situ,” kata Raja Marnakkok.
Hari itu Jumat siang, 15 Mei 2015. Sebelum permisi kembali masuk ke dalam rumah dan beristirahat, Raja Marnakkok berujar, “Mararisabtu besok jam 11 pagi, on time!” tegasnya.
Esok paginya, dari jam 9 pagi, para Parmalim mulai berdatangan, dan jam 11 pas, ibadah dimulai. Puluhan Parmalim duduk berbaris di dalam BPP, merapatkan kedua telapak tangannya dan meletakkannya di depan wajah. Kaum pria memakai sarung, ulos, dan tali-tali, semacam sorban di kepala. Sementara kaum wanita memakai ulos. Raja Marnakkok membacakan doa-doa di depan, kemudian salah seorang dari jemaat membacakan patik (aturan-aturan) yang kemudian diikuti jemaat lainnya. Ibadah ini berlangsung sekitar satu jam.
Ibadah Mararisabtu ini adalah ibadah mingguan kaum Malim yang dilaksanakan setiap hari Sabtu di BPP. BPP sendiri adalah rumah peribadatan yang berada di pusat ini, sementara untuk cabang lainnya diberi nama Bale Parsantian.
BPP di Huta Tinggi itu menjadi saksi bisu sejarah. Ia dibangun sejak zaman Raja Mulia. Dulunya masih berupa kayu, hingga sekarang telah direnovasi pada 1971 menjadi bangunan permanen. Ruangan persegi itu tidaklah luas, namun cukup menampung jemaat Malim setiap Mararisabtu. Bahkan, agak sedikit penuh sehingga menyisakan anak-anak dan ibu menyusui di terasnya.
Syahdan, Raja Mulia gundah gulana. Ini adalah kisah yang dituturkan Monang Naipospos, kepala pengurus Punguan Malim. Selain pengurus, Monang juga adik Raja Marnakkok, cucu Raja Mulia.
Raja Mulia gundah dengan strategi politik pecah-belah alias divide et impera Belanda yang berhasil memecah belah raja-raja kecil di Tanah Batak. Raja-raja kecil itu dinamakan Raja Parbaringin. Mereka sebelumnya tunduk pada Sisingamaraja XII yang berpusat di Bakkara.
Raja-raja itu diberi aturan-aturan kolonial untuk ditegakkan di wilayahnya. Untuk raja-raja itu, Belanda menghadiahi mereka rumah yang nyaman dan kekuasaan untuk menagih pajak. Apalagi waktu itu tersiar kabar bahwa Sisingamangaraja sedang sakit.
Melihat hal ini, Raja Mulia yang dulunya bernama Lanja Naipospos yang juga raja parbaringin di Huta Tinggi pergi ke Bakkara. Rupa-rupanya Sisingamangaraja sehat walafiat.
Ternyata itu adalah propaganda Belanda untuk melemahkan pengaruh Sisingamangaraja. Ini mengakibatkan banyak raja-raja parbaringin lainnya yang balik kanan. Tapi tidak dengan Lanja. Di situlah Sisingamangaraja berpesan kepada Lanja agar melanjutkan perjuangannya menyelamatkan ajaran-ajaran Batak. Ajaran-ajaran ini kemudian bernama Malim.
Pada waktu itu gerakan misionaris yang dipimpin Nommensen sudah menguat dan menjadi kekuatan tersendiri. Gerakan penginjilan itu kemudian banyak menggerus keyakinan masyarakat Batak yang sebelumnya mempercayai Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) dan Sisingamangaraja sebagai tokoh suci. Ajaran yang dipeluk masyarakat Batak pada waktu itu adalah ajaran Malim pada saat ini. Namun belum bernama Malim.
Hingga pada satu kesempatan lain setelah itu, Sisingamangaraja kembali bertemu Lanja.
Lanja ragu akan amanat Sisingamangaraja. Ia sadar diri. Ia miskin dan tak punya keturunan. Menurut Monang, sebelum itu ia telah menikah dua kali dan tidak punya anak. “Padahal bagi orang Batak itu penting,” kata Monang.
Menyadari hal itu, Sisingamangaraja berkata, “Percayalah samaku. Kau, namamu nanti pasti bermulia. Dan kau akan disebut Raja Mulia.” Begitulah hingga kemudian Lanja dikenal sebagai Raja Mulia.
Raja Mulia percaya. Tapi ia ragu.
“Akan datang nanti kusuruh orang untuk membantumu,” kata Sisingamaraja.
Akhirnya Sisingamangaraja dinyatakan wafat oleh Belanda pada tahun 1907. Ia ditembak di tempat persembunyiannya.
Banyak masyarakat yang tidak percaya kematian Sisingamaraja. Apalagi ia dikenal sakti sehingga beberapa kali berhasil lolos dari cengkraman Belanda.
Raja Mulia patah semangat. Apalagi, ajaran-ajaran yang dipesankan Sisingamangaraja belum juga dilaksanakan.
Pasca 1907, banyak orang datang menemui Raja Mulia. Mereka datang satu per satu dengan identitas yang berbeda. “Ada yang disebut marga Simatupang, ada yang disebut pedagang kerbau, pedagang emas, pedagang ini-itulah,” ujar Monang.
Suatu ketika, ada seseorang yang sedang mandi di sungai bersama Raja Mulia. Seseorang itu menanggalkan pakaiannya sehingga tampak tubuhnya. Raja Mulia memperhatikan dan sontak terkaget. Ia melihat tanda-tanda. Tanda-tanda Sisingamangaraja. Tidak banyak masyarakat Batak yang tahu bagaimana rupa Sisingamaraja, sehingga hanya orang-orang yang pernah berjumpa dan mengenalnya saja yang tahu. Raja Mulia menggumami itu dalam hati.
“Apa yang kau bilang?” kata orang itu tiba-tiba. “Orang yang kausebut tadi sudah pergi. Aku sekarang yang tidak punya kerajaan dan sanak saudara lagi. Aku siak bagi. Bagianku pedih,” kata Monang, berusaha menirukan perkataan orang itu. Nama itu kemudian menjadi nama Nasiakbagi. Raja Nasiakbagi ini kemudian banyak dikenal masyarakat Batak sebagai tokoh berpengaruh pengganti Sisingamangaraja.
Monang berujar pelan, dari Raja Mulia pada saat itu hingga sekarang, tidak ada Parmalim yang mengucapkan bahwa Raja Nasiakbagi adalah Sisingamangaraja. Parmalim meyakini itu.
Lagipula secara politik, Sisingamangaraja adalah buruan utama Belanda di tanah Batak. Apabila diketahui secara jelas Sisingamangaraja masih hidup, pemerintah kolonial pasti akan resah. “Apalagi sempat dikatakan, jika Sisingamangaraja hidup lagi, pengikutnya akan dibinasakan,” kata Monang.
Pemerintah Belanda memang tidak sepenuhnya percaya pada kematian Sisingamangaraja. Menurut Prof Ibrahim Gultom, guru besar Antropologi Pendidikan Universitas Negeri Medan dalam bukunya Agama Malim di Tanah Batak, kompeni yang bertugas menyergap Sisingamangaraja pada waktu itu tidak ada yang mengetahui pasti rupa Sisingamangaraja.
Raja Nasiakbagi ini, dikenal dekat dengan Raja Mulia dan murid-muridnya yang lain. Namun Raja Mulia enggan membeberkan identitasnya.
Pada waktu itu, menurut Prof Ibrahim, ia tidak lagi memfokuskan diri pada perjuangan politik, namun lebih ke pembinaan rohani masyarakat Batak. Suatu ketika Raja Nasiakbagi berkata pada Raja Mulia dan murid-muridnya yang lain, “Malim ma hamu (Malim-lah kalian),” Artinya, “sucilah kamu atau senantiasalah suci dalam keagamaan.”
Sejak itu, ajaran-ajaran yang tak bernama sebelumnya populer disebut agama Malim. Sementara itu penganutnya disebut Parmalim.
Beberapa tahun kemudian, Raja Mulia melembagakan ajaran-ajaran itu menjadi Ugamo Malim dan dipusatkan di Huta Tinggi. Awalnya ini mendapat tekanan keras dari Belanda, apalagi Nommensen. Namun setelah diamati, justru kegiatan para Parmalim tidak mengandung hasutan untuk menentang Belanda. Akhirnya pada tahun 1921, Belanda melalui Controleur Van Toba memberikan izin.
Pelembagaan ini terbukti bisa menyelamatkan ajaran-ajaran itu, khususnya dari pengaruh budaya luar, seperti Islamisasi dan Kristenisasi. Bagi Parmalim, ajaran-ajaran itu merupakan ajaran murni suku Batak. Setelah dan sebelum dilembagakan, banyak orang yang loyal dengan Sisingamangaraja atau menentang Nommensen bergabung.
***
Menurut dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Simalungun, Corry Purba, malim berasal dari kata dalam bahasa Aram mualim. Mualim berarti pintar dalam pengetauan dan agama. Dalam tulisannya Gerakan Politik dan Spiritual Parmalim dalam Rangka Mempertahankan Eksistensi Agama Suku di Tanah Batak, Corry menduga bahasa Arab itu ada berkat kedekatan Sisingamaraja XII dengan penganut Islam.
Pendapat ini dibenarkan Prof Ibrahim Gultom dalam bukunya Agama Malim di Tanah Batak. Menurutnya kata malim tidak dijumpai dalam kosakata bahasa Batak.
Kata malim dalam bahasa Indonesia bisa bermakna ‘orang yang alim (ulama)’ atau ‘guru agama Islam’ atau boleh juga ‘pemimpin’. Sementara dalam agama Malim, perkataan itu bisa berarti suci, saleh, atau taat.
Dalam bukunya, Prof Ibrahim mencatut beberapa budaya Malim yang terpengaruh agama lain. Di antaranya kaum pria yang harus memakai ikat kepala seperti sorban putih. Dalam Malim itu disebut tali-tali. Selain itu cara berdoa Parmalim yang merapatkan kedua telapak tangannya persis seperti penganut Hindu ketika bersembahyang. “Kedua ciri ini diduga merupakan pengaruh dari ajaran agama Hindu,” tulisnya.
Sementara itu Monang malah berpikir pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar. Sebab ajaran Malim telah ada lama sebelum agama besar seperti Islam dan Kristen datang ke tanah Batak. Ajaran Malim melekat, menjadi satu, dan berasal dari Batak. “Mungkin Batak yang terpengaruh (bukan Parmalim –red),” tegasnya.
Terasing di Negeri Sendiri
Monang Naipospos, adik Raja Marnakkok Naipospos yang jadi pemimpin pusat Parmalim punya banyak cerita menarik tentang bagaimana orang luar memandang Parmalim. Pengurus Punguan Malim ini tidak ingat pasti kejadian beberapa tahun yang lalu. Ia menceritakannya sambil tertawa terkekeh-kekeh. Namun ia serius tentang kenyataan bahwa orang Batak sendiri masih banyak yang belum mengerti Malim. “Masih banyak yang konyol pemikirannya sebagai Batak Toba,” katanya.
Alkisah ada suatu sekolah tinggi agama di daerah Tarutung. Sekolah itu baru tiga tahun dibuka, sehingga mahasiswa tertuanya semester enam. Tibalah saat masa orientasi. Mereka ditugaskan meneliti tentang agama Malim di Huta Tinggi. Mereka kemudian gundah.
Datanglah tiga mahasiswa ke rumah Monang. Mereka ragu-ragu melangkah. Mereka menemukan Monang sedang mengetik di komputer di ruang tamu.
“Pak, kami mau cari Parmalim, mau cari Naipospos,” ujar salah satu dari mereka, takut.
“Kami Naipospos, yang rumah sana juga Naipospos, pilih yang mana?” tanya Monang. Di sekitar rumah Monang memang banyak kerabatnya yang masih bermarga Naipospos.
Ketiga orang itu panik dan ketakutan sambil berbisik-bisik. “Monang Naipospos.”
“Iya, saya Monang Naipospos.” balas Monang.
Mereka kemudian dipersilahkan duduk. Lanjut Monang, “Kalian ini ada dalam pemikiran kalian Parmalim itu penipu, ya?”
“Eng-enggak, pak. Tapi kami terheran tadi, enggak yakin, bapak masih muda, main komputer, lebih modern pula dari kami,” ujar salah satu dari mereka.
“Bah! Dalam pemikiranmu Parmalim itu seperti apa?”
“Kami pikir rumah Parmalim itu seram, Pak, ada patung, ada bau menyan, tongkat-tongkat, baju hitam, ikat kepala, jenggot panjang.”
Monang terkesima.
“Itu yang kami pelajari, Pak. Kami jemputlah teman-teman kami di sana ya, Pak.” Mereka merujuk pada batas kampung ini.
“Bah! Berapa orang kalian?”
Kemudian diutuslah satu orang menjemput. Rupanya mereka datang dengan tiga bus besar. Sekitar dua ratus orang. “Bertumpuk-tumpuk di rumah ini, gelar tikar pun enggak muat,” kata Monang. Belakangan diketahui mahasiswa tadi tidak berani datang segelintir orang.
“Tapi setiap tahun datang orang itu ke sini. Tapi enggak begitu lagi (kejadiannya –red),” kata Monang.
Pandangan-pandangan diskriminatif tersebut diakui Monang lebih banyak disebabkan secara horizontal. Artinya masyarakat sebagai sesama manusia, khususnya orang Batak menganggap Malim itu adalah ajaran sesat. “Orang-orang bisa langsung mengklaim, ‘penyembah begu (hantu –red) kau, ya?’ Jadi diejek-ejek,” kata Monang.
Pun dari pemerintah, Monang tidak berharap banyak. Sejauh ini dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, perlakuan oleh pemerintah dirasakan Monang sudah lebih baik. UU tersebut mengakomodasi Parmalim agar bisa tercatat di kantor catatan sipil walaupun tidak bisa menulis identitas Parmalim di kartu tanda penduduk (KTP)-nya.
Prof Ibrahim Gultom, guru besar Antropologi Pendidikan Universitas Negeri Medan dalam bukunya Agama Malim di Tanah Batak mengajukan tawaran kepada pemerintah. Tawaran itu berupa mengganti istilah kepercayaan yang disematkan untuk Parmalim menjadi agama pribumi atau agama lokal. Sebab sesuai kajian antropologis, Malim sudah dapat disebut sebagai agama.
“Meskipun saat ini kolom agama di KTP dapat dikosongkan, tetap saja mereka harus memilki identitas yang jelas mengenai agamanya,” kata guru besar yang mengabdi dua tahun masuk ke komunitas Parmalim demi disertasinya yang menjadi buku itu.