Oleh: Aulia Adam
Jadis, si je me souviens bien,
ma vie était un festin où s’ouvraient tous les cœurs,
où tous les vins coulaient.
Un soir, j’ai assis la Beauté sur mes genoux.
Ia berkata-kata, aku menunduk
“Bouche d’Ombre!” teriaknya padaku
Bukan! Bukan padaku, tapi pada kami berdua
Lantas ia diam, terpekur
Kelelahan, tapi tetap berbisik: “Bouche d’Ombre… Bouche d’Ombre…”
Aku masih diam. Berpikir.Tergenang dalam memori.
Lalu, meski fasih, lamat-lamat berujar:
“I’m not Arthur Rimbaud. I’m not ‘Une Saison en Enfer’
I’m now making myself as scummy as I can.
Why?
I want to be a poet, and I’m working at turning myself into a seer.”
Aku diam dan kau menggeleng-geleng
“You won’t understand any of this, and I’m almost incapable of explaining it to you.”
Kataku lantang.Berdiri.Tegas.
“The idea is to reach the unknown by the derangement of all the senses. It involves enormous suffering, but one must be strong and…
be a born poet. It’s really not my fault.”
Kami berbicara bukan tentang demokrasi, liberasi, dan ekonomi
Hanya sebatas tentang jati diri dan eksistensi…
Aku berkeras demikian, tapi katanya: “Dont be la Bouche d’Ombre..”
Ia mengingatkan, “Kita adalah kita. Kita yang ingin merdeka.”