BOPM Wacana

Santi Sinaga, Penyedia Jasa Tik Manual di Pintu Sumber USU

Dark Mode | Moda Gelap
Santi Sinaga, penyedia jasa tik manual di Pintu Sumber USU, Senin (22/09/2025). | Mila Audia Putri
Santi Sinaga, penyedia jasa tik manual di Pintu Sumber USU, Senin (22/09/2025). | Mila Audia Putri

Oleh: Mila Audia Putri

Keberadaan mesin tik semakin tersisihkan di tengah arus digitalisasi. Kini, hampir semua dokumen diketik lewat komputer canggih dan dicetak menggunakan mesin pencetak. Bahkan, memungkinkan setiap orang mengetik lewat gawainya dari mana saja, dan langsung mengirim dokumen tanpa perlu dicetak.

Di tengah itu, kegigihan Santi Sinaga tak ikut tergerus. Perempuan berusia 61 tahun ini masih akrab dengan bunyi khas “tek-tek-tek” di Pintu Sumber Universitas Sumatera Utara (USU) sejak tahun 1980-an. “Kalau pakai komputer mata udah nggak sanggup. Karena udah kelamaan dulu ngetik-ngetik ini kan, jadi udah kena ke mata, berair-berair,” ujarnya sambil menepuk mesin tik yang menemaninya sejak lama.

Plang nama usaha percetakan Munica, Senin (22/09/2025). | Mila Audia Putri
Plang nama usaha percetakan Munica, Senin (22/09/2025). | Mila Audia Putri

Nama usaha Santi terbilang unik, ia menamainya Munica, diambil dari kata Communicatif. “Dulu ada bibik-bibik nama usahanya itu Communicatif. Itu ajalah kita pakai dari pada dua kali cetak, mending kita potong ‘co’ dan ‘tif’-nya, jadi Munica,” ujarnya sambil tertawa.

Sebelum menekuni usaha jasa tik manual, Santi sempat bekerja sebagai pegawai di salah satu SMP di Medan. Namun, ia memilih untuk mendirikan usahanya sendiri. “Saya digaji sama orang, sementara saya bisa kerja sendiri. Jadi pindah ke Sumber, karena dulu di Sumber pun banyak kerjaan,” kenangnya. Waktu itu, ia masih menggunakan mesin tik dari International Business Machines Corporation (IBM).

Kilas balik pada masa jaya yang tak terlupa

Pada tahun 1980 hingga 2000-an, jasa tik manual Santi ramai bukan main. Saking ramainya, Santi sampai harus memperkerjakan anggota untuk membantunya. Sehari-hari, mulai pukul delapan pagi hingga pukul enam sore, ia disibukkan oleh beragam permintaan pelanggan. Membuatnya kian andal mengerjakan apa pun yang dibutuhkan pelanggan, dari urusan akademis hingga administrasi.

Banyak cerita yang berkesan selama bergelut dengan pekerjaan ini. Mahasiswa USU, terutama dari Fakultas Pertanian (FP), Fakultas Hukum (FH), dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) berduyun-duyun datang untuk mengetik Kartu Rencana Studi (KRS) dan tugas kuliah.

Tak hanya mahasiswa USU, mahasiswa Dharma Agung, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), dan berbagai kampus lainnya pun turut menggunakan jasanya. “Karena kan di sana nggak ada buka jasa ketik-ketikan manual, jadi ke sini semua,” tuturnya.

Tak luput, pernah datang mahasiswa Pertanian yang malas mengerjakan tugas, dihukum mengetik kalimat “saya tidak akan mengulangi lagi” hingga berlembar-lembar. Permintaan paling ramai pula datang dari mahasiswa baru yang harus mengetik lembar pengenalan sebanyak lima lembar untuk satu orang.

Selain itu, skripsi juga menjadi pekerjaan yang melelahkan. “Capek kita. Karena nggak ada komputer, nggak bisa main tip-x. Jadi kalau dicoret dosen, harus ganti satu lembar penuh. Kalau komputer kan tinggal delete,” keluh Santi kembali.

Tak hanya mahasiswa, pekerja kantoran, dosen, lembaga pemerintahan, hingga masyarakat umum, semua pernah menitipkan urusan administrasi pada denting tuts-tutsnya. “Mulai dari dosen yang ketik penelitian dan tugas-tugas masyarakat, Puskesmas yang bikin laporan, Kepolisian yang ketik SKCK, juga pajak dari perusahaan-perusahaan semua kita ketik, karena dulu semua manual, nggak ada komputer,” ujarnya.

Meski begitu, Santi tak bisa mengelak dari pelanggan nakal yang suka berhutang tanpa membayar. Terlebih lagi mayoritas mahasiswa yang sudah menjadi langganannya sejak lama. Namun, alih-alih kesal, ia malah menganggapnya sebagai kenangan lucu. “’Nanti ya, Kak, udah banyak kali duitku sama Kakak, udah jutaan’ katanya gitu,” ujarnya sambil terbahak-bahak.

Bertahan di ujung harapan

Kini, permintaan kian menurun, hanya tersisa pelanggan yang membutuhkan jasa pengetikan surat-surat, seperti surat tanah dan surat segel. “Istilahnya kalau buka ketik-ketikan dulu ya gampang sih, karena memang dibutuhkan kali. Tapi sekarang udah nggak ada,” tuturnya.

Ada kepuasan tersendiri ketika ia bertemu dengan mahasiswa yang sudah tamat dan bekerja. Tak jarang mereka memberi sedikit uang sebagai tanda terima kasih. “’Ih masih di sini Kakak ini, ya, Kakak ini loh yang bikin aku jadi sarjana’. Padahal saya cuma ngetik aja bantu skripsiannya sampai siap,” kenangnya.

Kisaran tarif yang Santi tetapkan biasanya dihitung per satu set dokumen, bukan per lembar. Untuk dokumen seperti surat tanah dan segel dikenakan biaya Rp50 ribu. Ketika ditanya soal persaingan dengan komputer, Santi menggeleng. “Nggak ada persaingan, karena mesin tik ini kan nggak banyak. Ngapain bersaing-saing, orang semua butuh mesin komputer,” jelasnya.

Ia mengakui penghasilannya jelas jauh berbeda. Tidak bisa dipastikan nominalnya setiap bulan, karena bergantung pada banyaknya pelanggan yang datang. Namun, dalam kondisi tertentu ia bisa memperoleh penghasilan hingga sekitar Rp5 juta per bulan.

Di sisi lain, penghasilan tersebut harus dipotong untuk berbagai kebutuhan. Salah satunya adalah biaya sewa tempat yang mencapai Rp12 juta per tahun. Ia juga perlu menanggung biaya sewa kos yang letaknya tidak jauh dari tempat usahanya. “Cukup-cukuplah untuk makan dan bayar sewa,” ujarnya sambil tersenyum.

Di usia yang tergolong senja, Santi berharap masih bisa terus bertahan. Terkait komputer, ia mengaku menyesal karena tak sempat mempelajarinya sejak dahulu. “Sebenarnya sih nggak lama belajarnya. Tapi kadang-kadang takut. Matanya perih kalau kelamaan,” ujarnya.

Saat ditanya mengenai harapan, Santi tersenyum. Ia berharap para mahasiswa yang pernah terbantu dengan jasa tiknya dapat memperoleh pekerjaan yang layak dan meraih kesuksesan. Untuk usahanya sendiri, selama masih mampu mencukupi kebutuhan hidup dan membayar biaya sewa dari penghasilan, jasa tik manual akan terus dijalankan.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus