BOPM Wacana

Di Balik Bendera One Piece yang Buat Pemerintah Terusik

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi. | Jennifer Smith L. Tobing
Ilustrasi. | Jennifer Smith L. Tobing

Oleh: Muhammad Rifqy Ramadhan Lubis 

Beberapa waktu lalu menjelang kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80 tahun, fenomena pengibaran bendera (Jolly Roger) dari serial anime/manga One Piece menjadi sorotan warganet. Bendera bergambar tengkorak dengan topi jerami di atas kepala menjadi simbol aksi protes masyarakat. Atas berbagai kondisi ekonomi, sosial, dan politik di Indonesia yang semakin hari tidak berpihak pada rakyatnya sendiri.

Polemik bermula ketika sejumlah sopir truk memasang bendera One Piece sebagai bentuk sindiran terhadap kebijakan Zero Over Dimension Over Load (ODOL). Kebijakan ini dianggap memperlambat logistik nasional dan finansial. Para sopir truk yang terjebak kebijakan Zero ODOL, harus mengantre selama berhari-hari di pelabuhan. Mereka pun menggunakan simbol bendera One Piece untuk memprotes sistem, yang menurut mereka tidak memihak kelas pekerja.

Aksi serupa kemudian menyebar dengan cepat. Masyarakat beramai-ramai memasang bendera One Piece di pekarangan rumah. Ada yang untuk menggantikan bendera merah putih, ada juga yang memasangnya bersamaan. Menyikapi fenomena ini, respon beberapa pejabat juga beragam.

Salah satunya datang dari anggota DPR Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, menyebut aksi pengibaran bendera One Piece sebagai makar simbolik yang bisa mengganggu ketertiban nasional. Lain daripada itu, Ketua MPR, Ahmad Muzani, berpandangan bahwa ekspresi semacam itu harus dilihat sebagai bentuk kegelisahan sosial, bukan ancaman keamanan.

Respon yang saling bertolak belakang ini menunjukkan bahwa negara kita belum siap dalam menerima asas-asas demokrasi. Ketika pemerintah menanggapi kritik dengan narasi makar, sesungguhnya mereka sedang menunjukkan wajah lama kekuasaan yang alergi terhadap kegelisahan rakyatnya sendiri.

Kenapa pemerintah begitu terusik oleh kritik?

Dalam cerita One Piece, kekuasaan pemerintah dunia sangat erat kaitannya dengan narasi kekerasan, propaganda, dan penulisan ulang sejarah abad kekosongan (Void Century). Hal ini tampak relevan dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang. Ketimpangan sosial-ekonomi, krisis lingkungan, kriminalisasi masyarakat adat, serta revisi sejarah yang digaungkan menjelang peringatan kemerdekaan.

Di dunia One Piece tidak ada yang boleh meneliti abad kekosongan, sejarah direkayasa demi melanggengkan kekuasaan. Di Indonesia pula, mereka berupaya menghapus, menyederhanakan, atau memanipulasi sejarah: dari tragedi 1965, tragedi G30S PKI hingga invasi di Timor-Timur.

Kembali dalam serial One Piece, karakter Nico Robin diburu karena dapat membaca teks kuno dari masa abad kekosongan. Nico dianggap mengancam kestabilan nasional karena pengetahuannya. Hal ini mengingatkan kita pada para intelektual dan aktivis yang dibungkam karena mengkritik dan menyuarakan kebenaran.

Tak melulu bicara soal politik dan sosial, One Piece juga sarat kritik ekologi. Banyak wilayah dalam cerita ini hancur karena eksploitasi alam yang berlebihan. Seperti Wanokuni dan Punk Hazard, diceritakan hancur karena pertarungan dua admiral yaitu Akainu dan Aokiji. Diperparah dengan eksperimen gas beracun oleh Caesar Clown.

Di Wanokuni sendiri, pencemaran lingkungan akibat industri senjata Kaido, menyebabkan sungai dan tanah tercemar limbah beracun. Ini bagai metafora dari negara kita sendiri. Bagaimana krisis lingkungan marak terjadi seperti kerusakan hutan di Kalimantan, pencemaran laut di Maluku, hingga eksploitasi tambang di Papua dan konflik agraria di Sumatra.

Oleh karenanya, selama korupsi, eksploitasi, dan penghapusan sejarah masih dijalankan secara sistematis. Maka, simbol-simbol perlawanan sekecil apapun akan terus beregenerasi bahkan dari cerita fiksi. Itulah kenapa bendera ini dikibarkan oleh rakyat kecil, yang merasa hidupnya tengah dikorbankan demi kepentingan segelintir orang.

Bendera sebagai simbol perlawanan kultural

Menurut teori metafora konseptual Lakoff dan Johnson, metafora bukan sekadar hiasan bahasa, melainkan cara berpikir. Pengibaran bendera One Piece bisa juga dibaca sebagai pemetaan konsep dalam memaknai metafora visual. Negara dapat divisualisasikan sebagai “laut lepas,” rakyat tertindas sebagai “Nakama”, dan aparatur negara sebagai “Angkatan Laut” yang tunduk kepada para penguasa atau “Tenryuubito”.

Metafora ini bekerja dalam kesadaran kolektif karena menyentuh pengalaman konkret warga yang merasa ditindas dan tidak diakui. Simbol fiksi seperti Jolly Roger menjadi ekspresi kegelisahan sosial. Ia lahir dari ruang-ruang kosong yang ditinggalkan oleh negara. Ketika pemerintah tidak lagi menjaga amanat rakyat, ketika institusi hukum lebih sibuk melayani oligarki, dan ketika sejarah disunting demi kepentingan penguasa.

Selain itu tokoh protagonis dalam serial ini yaitu Monkey D. Luffy, bukan berperan jadi penyelamat institusi, tapi ia membebaskan komunitas-komunitas tertindas. Ia datang ke wilayah yang diperintah dengan kekerasan dan manipulasi, lalu menggulingkan rezim tersebut agar rakyat bisa hidup tanpa rasa takut.

Titik pentingnya terdapat pada episode 1085 arc Wanokuni, Luffy menyatakan bahwa, “Pasang benderaku, maka tidak ada yang akan mengganggumu.” Di sini, bendera bajak laut bukan sekadar simbol kelompok, tapi tameng terhadap penindasan.

Seperti apa yang diucapkan oleh anggota DPR Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, yang menyebut bahwa pengibaran bendera One Piece sebagai “makar simbolik”. Padahal, Pasal 104, 106, dan 107 KUHP secara tegas menyebut makar sebagai tindakan nyata berupa kekerasan atau upaya menggulingkan pemerintahan yang sah. Tidak ada satu pun yang menyebut pengibaran bendera, apalagi bendera fiksi.

Jika simbol fiksi dianggap ancaman, maka kita sedang masuk ke wilayah totalitarianisme simbolik, yang dapat merusak prinsip-prinsip demokrasi dan pluralisme. Akibatnya, rakyat akan terus mencari simbol baru. Karena semakin keras simbol itu ditekan, semakin besar pula ia menjadi lawan.

Komentar Facebook Anda

Muhammad Rifqy Ramadhan Lubis

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Sejarah FIB USU Stambuk 2023. Saat ini Rifqy menjabat sebagai Staf Reporter BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus