
Oleh: Dormaulina Sitanggang
Gelap malam masih membungkam kampung itu. Angin malam kemarau Juni terasa dingin menusuk kulit. Belum ada tanda-tanda ayam jantan berkokok saling bersahutan. Pak Dame baru saja membereskan perkakas pahatnya. Lima hari, Ia sulap bongkahan papan yang kini bermotifkan gorga. Kelak atau memang sudah, ia begitu dikenal karena banyak kemampuannya. Dari seni pada lembaran kertas, ukir, pahat, apalagi bela diri. Ia tekuni semua itu di luar pekerjaan sehari-harinya.
“Dame, kemari dan coba lihat! Bagaimana menurutmu?” Ia panggil putrinya yang tengah menahan kantuk di meja belajar. Sudah semalaman juga Dame bersikeras pada tumpukan soal persiapan masuk perguruan tingginya.
Tersentak, Dame mengalihkan pandang, berjalan menuju sumber suara. Merekah senyum di wajahnya, tak sabar melihat karya yang hendak diperlihatkan padanya. “Wah, bagaimana bisa ayah membuatnya sekeren ini?” mendengar itu, Pak Dame memperbaiki posisi kaca matanya, tersenyum sembari melihat apa ada yang terlewat, atau perlu dipahatkan lagi.
Tiba-tiba, tangan sibuknya terhenti. Pensil di tangannya segera diletaknya sembarang. Kini berpindah melenguhkan perut. Sakit itu kembali kambuh. Wajah itu berubah risau. Mau tak mau Ia hentikan pekerjaannya. Entah bagaimana lagi Ia akan menahan.
Istirahat, ayah meminta Dame membuat secangkir teh. Kalau diingat, dulu kopilah yang Ia minta, namun karena katanya tak bisa minum kopi lagi, maka begitulah teh diharapnya bisa hilangkan penat.
Namun pada malam itu, ayahnya meminta teh dicampur garam. “Ini obat yang bisa meredam rasa sakitku,” begitu ucapnya.
Tapi kalau dari yang Dame tahu, garam jugalah yang seharusnya dihindari ayahnya. Sebab akan bertentangan dengan sakit lain yang juga dikeluhkan. “Hanya ini yang bisa membuat tubuhku setidaknya bertahan untuk sekadar sebentar lagi,” ucapnya mencoba menarik napas, meringis. Tertunduk lemah.
Sakitnya memang tak tampak, mungkin karena tubuh gagah buatnya tampak bugar. Karena begitulah demikian. Pak Dame tak mau dianggap lemah, kalah karena rasa sakitnya. Hanya orang rumah yang tahu, atau siapa pun seharusnya tak perlu tahu.
Hingga orang akan heran karena secara tak sengaja mereka bertamu ke rumah dan mendapatinya terkulai. Atau tak sengaja melihat tumpukan obat di mejanya.
Kala bekerja, Pak Dame hanya akan berhenti ketika sakit buatnya merasa tak sanggup lagi. Bahkan kadang pulang karena terseok rasa sakit, seperti orang berbeda. Mungkin begitulah penyakit mengubah manusia. Membuatnya bertanya, “Apakah aku masih hidup besok?” Dame anggap itu sebagai harapan. Tak peduli semenyerah apa wajah ayahnya berucap, bahkan perasaan yang hancur mendengar itu, akan Ia perbaiki segera. Demikian Ia harap.
Ada momen di mana ibu Dame akan memarahi ayahnya. Sangat jelas bukan karena benci. Tapi karena kepasrahan ayah, ia tentu tak akan sanggup menerima itu. Apalagi kala napasnya tersengal, Ia akan berucap bahwa itu adalah ajal. Siapa pun tak terima. Bahkan mendengarnya saja tak mau. Lebih tepatnya, tak sanggup.
—–
Sudah lama hujan tak turun. Demikianlah benar, itu bulan Juni kemarau. Bahkan pagi itu begitu cerah, bersih tanpa awan halangi cahaya matahari, membuat ayahnya bersemangat hari itu.
Tak mau kalah, Dame yang sedang sibuk di dapur tak mengeluh walau harus memasak porsi besar untuk serapan, makan siang, dan tampaknya untuk makan malam pun akan cukup. Terutama, Ia juga akan memasak dua butir telur yang ayahnya pesankan, tentu saja lengkap dengan secangkir teh bercampur garam.
Hari itu ayah akan pergi ke “ulaon” bersama ibu. Dame perhatikan ayahnya telah begitu rapih, wajah bersih, dan nampaknya tengah bahagia. Pak Dame menatapnya dengan tersenyum, entah kenapa terasa janggal. Bahkan sebelum Ia tancap gas sepeda motor kebanggaannya itu, ayah tengah mengucapkan “Dadahh”.
Hening. Sampai akhirnya Dame tersadar motor itu telah membawa mereka jauh, tak tampak lagi karena termakan jarak, atau karena memang tertutupi pepohonan di sepanjang jalan itu. Sejenak Ia hanya bisa mendengar suara motor khas itu menghilang samar-samar.
Selanjutnya Ia begitu kesal, karena anehnya oh anehnya. Acara televisi tak ada yang bisa menghibur rasa bosannya. Atau lebih tepatnya mengusir rasa risau. Beberapa konten televisi membahas tentang “kepergian”. Entah kepergian apa yang mereka bahas, yang jelas Dame tak tertarik. Atau lebih tepatnya menghindar, membuang jauh-jauh apa yang baru saja disaksikannya dari kotak berlayar itu.
Bagi orang Batak atau bukan sekali pun, ada kepercayaan akan ada tanda-tanda ketika seseorang akan pergi. Katanya, begitulah alam memberi tahu manusia. Entah karena sebelah mata kita tiba-tiba berkedip-kedip tak terkendali, tiba-tiba mendapati cecak mati, tiba-tiba perasaan gundah tak tahu sebabnya, atau bahkan hujan yang turun bukan pada musimnya.
Pernah beberapa kali Dame mendengar orang-orang berkata demikian. Ia tak menanggapi, entahlah. Hanya saja tak sanggup rasanya meramalkan kepergian seseorang yang jelas tak ingin Ia pergi.
Sekali lagi, itu adalah bulan Juni. Kemarau, yang jelas telah mengeringkan tanah saat itu. Langit cerah yang sejak pagi tadi entah kenapa tiba-tiba berubah pekat. Seakan awan-awan hitam itu buru-buru berjajar, atau bahkan berkumpul berlapis-lapis, yang jelas Ia tak suka melihatnya.
Dari jauh, Dame mendengar kembali suara motor itu. Dari samar-samar hingga terdengar begitu jelas suaranya. Mendekat membawa dua insan yang entah kenapa begitu lega Ia melihatnya. Bedanya, kini wajah ayahnya pucat, segera beristirahat walau nyatanya tak demikian. Karena walaupun ia membaringkan tubuhnya, ia tak tidur. Ia melenguh sakit.
Kalau biasanya Ia meminta Dame membuat teh, kini tidak. Ia tengah tergopoh, berusaha duduk meminta ibu untuk melap keringatnya, yang entah sejak kapan telah membasahi seluruh tubuhnya. Nyaris seperti diguyur air. Ia mencari posisi khusyuk, tampaknya ia berdoa, mengucap sesuatu dengan pasrah, hanya terdengar olehnya sendiri. Ia memang sosok pendoa, dan Dame tahu doa kesukaannya; Salam Maria. Mungkin itulah yang diucapkannya.
Tak sampai di situ, anehnya hujan deras tiba-tiba menggguyur keheningan kampung itu. Sempat membuat Dame jengkel, lalu segera Ia buru-buru menutup jendela dan pintu, seketika isi rumah itu kembali hening, namun teramat berisik dalam hati.
Demikian, ramalan atau tanda-tanda apa pun yang orang bilang. Ibu memanggil Dame. Sosok tubuh di depannya telah lemah. Itu membuatnya tanpa aba-aba semakin tergopoh meminta pertolongan. Telah dilakukannya sedari tadi, seketika hujan tiba-tiba tumpah menghambat jaringan telepon untuknya memanggil bidan di kampung itu. Panik. Siapa pun panik. Tak ada yang bisa dihubunginya selain berteriak meminta tolong kepada tetangga jauh di seberang sana. Tampaknya, suara deras hujan pun samarkan teriakan itu.
Kembali didapatinya tubuh yang kini terbaring dekat perapian. Tak lagi Ia dengar lenguhan sakit. Ia memegang pergelangan tangan itu, berusaha menemukan denyut nadi. Dingin angin hujan, dingin tubuhnya. Kini ia memandang lekat, memanggil sosok pemilik tubuh di depannya, terdengar atau tidak. Berharap jiwa yang baru saja keluar kembali ke tubuhnya untuk menjawab panggilan “Bapa”.