Oleh Mezbah Simanjuntak
Judul: Sherlock, Lupin & Aku: Kawanan Si Nyonya Hitam
Penulis: Irene Adler
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Tahun Terbit: 2013
Jumlah halaman: 263
Ketika liburan mereka jadikan waktu yang tepat bagi untuk mengasah kemampuan menjadi detektif profesional.
Terdapat tiga tokoh utama dalam cerita ini. Yakni Sherlock, Lupin dan Irene Adler. Petualangan bermula saat Irene Adler sedang berlibur di Saint Malo bersama ibunya yang berasal dari Paris.
Akhirnya tujuan berlibur pun berbalik arah menjadi sebuah kemelut yang mengikat.
Sesampainya di Saint Malo, Irene bertemu dengan seorang anak laki-laki bernama William Sherlock yang kemudian terkenal dengan nama Sherlock Holmes, detektif termasyhur. Adler memiliki kehidupan yang mewah, namun bagi seorang bocah kemewahan tersebut menjadi pengekang. Hampir setiap hari ia kabur dari rumah untuk bermain bersama. Ini menjadi awal persahabatan tiga orang bocah ini.
Teman mereka seorang lagi yaitu Arsene Lupin, yang kemudian menjadi pencuri sukses yang tak pernah berhasil ditangkap. Setiap hari saat Irene kabur dari rumah, ia selalu menjumpai Sherlock dan mereka berdua menemui Lupin. Mereka pergi ke kediaman keluarga Aschroft guna menghabiskan waktu bersama.
Namun, di suatu sore saat mereka pulang, mereka menemukan seorang lelaki tergeletak di pinggir pantai dalam kondisi tak bernyawa. Di saat mereka serius memerhatikan korban yang tak mereka kenali, di saat bersamaan mereka diintai sosok misterius berpakaian serba hitam. Sosok misterius ini sukses membuat ketiga bocah ini ketakutan.
Beberapa hari setelah penemuan mayat, kejadian lain pun berlanjut dengan hilangnya sebuah kalung berlian berharga milik Nyonya Martigny. Desas desus yang tersiar di kota, terdapat hubungan antara kejadian penemuan mayat dan hilangnya kalung berlian itu.
Rasa penasaran masih melingkupi pikiran mereka bertiga. Walaupun masih anak-anak, namun intuisi sebagai detektif merajai pikiran mereka dan tak ada ketakutan yang menghampiri. Intuisi ini yang membuat mereka mencari informasi ke sana ke mari untuk mencari kebenaran yang sebenarnya terjadi.
Namun, perjalanan tak semulus yang diharapkan. Mereka harus berhadapan dengan para preman yang ada di kota yang terkesan menghambat mereka. Polisi bekerja sangat lambat dan dirasa benar-benar tidak membantu sama sekali dalam hal ini. Bagaimanapun mereka terus berusaha sendiri untuk mengungkapkan yang sebenarnya tanpa melukai diri sedikitpun. Walau mereka tidak tahu untuk siapa sebenarnya kebenaran ini.
Secara keseluruhan cerita ini cocok dibaca penikmat novel yang berbau pembunuhan dan memerlukan seorang detektif. Namun, dalam membaca novel ini terdapat kesulitan yang menghinggapi. Hal ini karena terdapat tiga orang tokoh utama, sehingga harus benar-benar teliti untuk memahami isi cerita. Dalam cerita, penulis memakai kata “Aku” untuk Irene walau banyak juga akan kita temui “Aku” yang bukan Irene.
Yang disukai dalam tulisan ini yaitu deskripsi yang benar-benar halus sehingga sukses membawa pembaca ke dalam situasi maupun tempat yang diceritakan. Dan sama seperti novel detektif lainnya, akhir dari cerita benar-benar tak terbayangkan sama sekali.
Namun, penulis menyelipkan sedikit percintaan yang terkesan mengotori cerita ini. Seperti di ceritakan di dalam buku, Irene menduga Sherlock dan Lupin mencintai Irene sehingga ketika saat Sherlock memegang tangan Irene, Irene langsung membayangkan hal-hal yang aneh seperti merasa disukai oleh kedua orang ini.
Saat awal membaca akan ada pandangan bahwa Irene si gadis kecil menjadi seorang yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi terkhusus dalam hal merasa di sukai oleh Sherlock dan Lupin. Seperti contoh saat Lupin yang menyelinap ke kamar Irene, di cerita Irene berbicara dalam hati dan merasa bahwa kedua bocah lelaki tersebut memata-matai Irene dan berebut untuk memasuki kamar bocah perempuan itu. Walau sedikit tetapi bisa memengaruhi pandangan pembaca terhadap tokoh Irene.
Untuk Sherlock, kita akan merasa ia adalah seorang bocah yang berotak yang cerdas. Hampir semua masalah dalam cerita mendapatkan pencerahan dari pikirannya. Berbeda dengan Lupin yang acap kali menggunakan kekerasan dalam memecahkan suatu masalah.
Jika sering mendengar kalau setiap membaca novel maka pembaca harus mendapatkan suatu pencerahan dari amanat yang tersirat dari cerita, namun di buku ini itu tak terlihat. Pasalnya tak ada nilai baru yang membangun bagi diri pembaca, hanya seperti nilai-nilai yang umum kita ketahui seperti “jangan mencuri ataupun membunuh”, atau seperti pribahasa “sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga”. Namun ada pengetahuan yang didapat, seperti jenis-jenis pistol, tentang lama tidaknya kondisi sebuah mayat, serta trik hingga akhirnya pelaku dari kejahatan ini ditemukan.