Ramalan-ramalan tersebut bisa saja terpatahkan jika pemerintah mengakui hak masyarakat adat dengan memberikan sertifikasi tanah ulayat
Sebelum membaca lebih lanjut ramalan ini, izinkan penulis untuk mengawali pembaca menaiki mesin waktu dan berpindah ke puluhan abad silam. Tepatnya saat kekaisaran Romawi masih eksis di daratan Eropa.
Kekaisaran Romawi dahulu kala sempat dipimpin oleh seorang kaisar yang bejat seks, Caligula. Selain gemar bersenggama dengan adik kandungnya yaitu Drussila, fetish bengisnya berhasil menyulap istana menjadi rumah pelacuran.
Kaisar yang suka memerintahkan rakyatnya untuk bunuh diri ini beranggapan bahwa menjadikan istana sebagai rumah bordil dapat memberikan devisa lebih bagi kekaisaran Romawi saat itu.
Kegilaan, kebengisan, serta fetish aneh sang kaisar saya rasa saat ini telah merasuki sosok yang kita sebut saja sebagai ‘negara’—pemerintah Indonesia.
Layaknya Caligula yang memiliki ketertarikan khusus terhadap Drussila, negara kita pun memiliki provinsi favorit untuk ia perkosai sumber daya alamnya kapanpun ia mau. Sumatera Utara (Sumut), wilayah seksi akan sumber daya alam ini mampu menaikkan gairah eksploitatif negara terhadapnya.
Lekukan bukit barisan indah yang menyimpan cadangan mineral, manisnya senyum bibir pesisir timur selat Malaka, hingga anggun rimbun pohon hutan di sekitar danau Toba telah memancing gairah negara untuk menyetubuhinya.
Tak hanya beraksi sendiri, negara pun mengundang pihak swasta dan asing untuk saling bekerjasama dalam memperkosa bumi Sumatera Utara. Serupa Caligula yang mengundang para pria hidung belang untuk berpesta ria di dalam Istana.
Pemerkosaan lingkungan di Sumut selalu berjalan lancar, licin, dan nikmat untuk para investor. Negara memberi ramuan obat kuat berupa kemudahan dalam proses-proses perizinan untuk mengeksploitasi lingkungan di Sumut.
Salah satu tabiat negara dalam meracik obat kuat ini sudah saya endus dengan apa yang terjadi di kawasan Hutan Adat Batang Toru, Tapanuli.
Hutan adat Batang Toru
Di Batang Toru, Tapanuli terdapat kawasan hutan hujan yang sangat eksotis. Hutan Batang Toru merupakan rumah bagi satwa langka seperti Orangutan Tapanuli, Tapir, hingga Harimau Sumatera. Hutan di sana pun telah membangun afeksi khusus dengan masyarakat adat sekitar.
Hasil riset dari Green Justice Indonesia (2022) yang dituangkan dalam buku berjudul Tombak Na Marpatik menjelaskan bahwa hutan-hutan adat di kawasan Batang Toru memberikan manfaat bagi masyarakat adat Batak, utamanya haminjon atau kemenyan sebagai sumber penghidupan mereka. Riset tersebut pun telah dituangkan dalam satu karya film dokumenter dengan judul yang sama, ‘Tombak Na Marpatik’.
Namun, negara mengabaikan hak ulayat masyarakat adat di Sumut. Alih-alih memberi legitimasi pada masyarakat adat berupa sertifikasi wilayah adat, Menteri Kehutanan dalam SK Menhut II No. 579 tahun 2014 menetapkan kawasan hutan di wilayah Batang Toru sebagai ‘hutan lindung’.
Jelas penetapan keputusan tersebut dapat mengganggu hubungan antara masyarakat adat dengan hutannya. Mereka tidak dapat lagi dengan bebas keluar masuk hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Situasi yang lebih parah akan terjadi ketika negara sudah mengantongi status ‘hutan lindung’ pada wilayah Batang Toru. Dengan akal bulusnya ia bisa saja sewenang-wenang menurunkan status hutan lindung menjadi hutan produksi guna memenuhi hasrat bengisnya. Mengingat tak jauh dari wilayah hutan tersebut terdapat pertambangan emas.
Tak menutup kemungkinan sewaktu-waktu terjadi eksplorasi dan ekspansi sumber daya mineral tambang di kawasan Hutan Batang Toru yang kemudian menyasar wilayah hutan tersebut.
Jika terjadi, maka nasib yang sama mungkin akan diterima oleh masyarakat adat di wilayah Batang Toru serupa nasib masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung Gunung Tumpang Pitu, Jawa Timur. Kini status hutan lindung Gunung Tumpang Pitu sudah menjadi hutan produksi akibat taktis bengis negara dalam melakukan alih-fungsi hutan.
Rentan menjadi wilayah pertambangan khusus
Potensi mineral tambang di kawasan Batang Toru tidak usah diragukan lagi. Wilayah sekitar hutan yang berada di wilayah pegunungan bukit barisan ini nyatanya sempat diganyang oleh beberapa perusahaan tambang.
Menurut peta data temuan tambang yang dilakukan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut, ada 4 perusahaan tambang mineral tercatat pernah melakukan eksploitasi di kawasan hutan Tapanuli Raya.
Perusahaan-perusahaan tersebut yaitu PT Antam Tapanuli, PT Surya Kencana Pertiwi, PT Inti Cipta Jaya, dan PT Panca Karya Prima Agung. Beberapa diantaranya sudah dicabut izin usaha tambangnya oleh Pemprov Sumut sejak 2017 silam karena terindikasi melakukan pertambangan yang tidak ramah lingkungan.
Selain itu, ada satu perusahaan tambang mineral lain, yaitu PT Agincourt Resources yang sampai saat ini masif melakukan pertambangan emas di Batang Toru.
Terbitnya Undang-Undang (UU) Mineral dan Batu bara (Minerba) No. 3 Tahun 2020 yang merupakan perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 mesti dicurigai sebagai salah satu tabiat negara dalam melanggengkan pertambangan di kawasan hutan lindung.
Penjelasan pasal tersebut menjelaskan bahwa Wilayah Pencadangan Negaraa (WPN) termasuk hutan lindung kini dapat diusahakan pengubahan statusnya menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK). Secara laten, hadirnya pasal tersebut karena adanya dorongan ‘politik kepentingan’ yang begitu kuat.
Ketika kawasan hutan Batang Toru diusahakan statusnya menjadi kawasan tambang. Maka dampak buruk lingkungan nantinya akan menjadi sebuah petaka bagi hutan yang bersemayan di negeri Tapanuli tersebut.
Prediksi jika ekspansi tambang terjadi
Setelah larut dengan kisah kaisar Calligula dan keterkaitannya dengan peran ‘negara’ dalam mengatur kebijakan terkait hutan di Batang Toru serta jika terjadi ekspansi wilayah tambang disana. Kini penulis menarik pembaca kembali untuk masuk ke dalam mesin waktu.
Sekarang saya akan mengajak pembaca ke masa depan, dan melihat potensi dampak yang akan terjadi. Ya, selanjutnya akan berisi ramalan sesuai judul tulisan ini.
Bencana lingkungan kini terjadi di ujung timur pulau Jawa akibat aktivitas tambang di Tumpang Pitu. Pencemaran dan kesengsaraan rakyat sekitar kawasan tambang Tumpang Pitu adalah tontonan yang dapat dilihat saat ini. Jangan sampai nantinya sorot mata penonton berpindah ke bencana lingkungan akibat tambang di hutan Batang Toru.
Ekosistem alam Batang Toru akan terganggu. Padahal kawasan Batang Toru sudah menjadi Hot Spot atau titik sentral bagi keragaman hayati di Sumatera. Jika terjadi maka kayanya ekosistem oleh biodiversitas tersebut akan hilang.
Sedimentasi aliran sungai akibat erosi tambang akan terjadi dan mematikan biota air disana. Pepohonan hijau yang menyerap karbon akan digusur oleh alat berat. Tanah hutan akan dikeruk, dan satwa-satwa si-empunya tanah akan minggat kebingungan, punah secara perlahan.
Tidak dipungkiri akan terjadi gesekan konflik antara satwa-satwa liar terusir akibat aktivitas tambang dengan masyarakat sekitar hutan.
Selain itu, kemesraan masyarakat adat Batak di Batang Toru dengan haminjon akan sirna seperti sirnanya nasib nelayan di sekitar Tumpang Pitu yang tangkapan ikannya menurun drastis.
Dengan penetapan hutan Batang Toru menjadi hutan lindung merupakan tahapan awal negara dalam merampas hak masyarakat adat.
Akuisisi tersebut pun secara tak langsung menyingkirkan segala bentuk partisipasi masyarakat adat jika nantinya terjadi proses transaksi dengan investor.
Hal tersebut pun rentan memicu konflik struktural antara masyarakat adat dengan perusahaan. Konflik semacam ini sudah banyak terjadi kasusnya di Indonesia. Sebut saja konflik antara masyarakat adat Toruakat di Sulawesi Utara dengan perusahaan tambang emas PT Bulawan Daya Lestari.
Jika investor telah melihat potensi tambang disana dan cocok dengan barang yang ditawarkan oleh si muncikari —negara, eksekusi barang pun akan semakin praktis dan efisien. Tidak usah ribet-ribet berurusan dengan pranata adat.
Ramalan-ramalan tersebut bisa saja terpatahkan jika pemerintah mengakui hak masyarakat adat dengan memberikan sertifikasi tanah ulayat. Distribusi tanah ulayat bisa dilakukan dengan memetakan wilayah adat dengan patok-patok wilayah adat antar marga disana maupun keluarga yang sudah turun-menurun mengelola hutan secara kolektif.
Nantinya jika ada usaha perubahan alih-fungsi hutan, setidaknya mereka para masyarakat adat yang telah memegang hak ikut dilibatkan. Keputusan pun nantinya tidak hanya terpaku pada hukum positif negara saja, tetapi juga hukum adat yang berpatokan pada aspek lingkungan dan aspek sosio-antropologis disana.
Namun saya yakin masyarakat adat tidak akan semudah itu menggadaikan nyawanya hanya untuk kenikmatan sesaat. Penyerahan kuasa hutan yang sudah mereka anggap sebagai ibu kandung mereka sendiri akan kecil kemungkinannya. Mereka tidak akan membiarkan petaka terjadi akibat angkara negara.
Masyarakat adat akan lebih mementingkan pewarisan haknya kepada keturunannya untuk dikelola sesuai kaidah hukum adat yang ramah terhadap lingkungan. Bukan terhadap pemerintah ataupun investor.
“Dan kami bisa titipkan tanah adat ini kepada anak cucu kami. Tanah adat, bukan tanah pemerintah,” ujar Manjungjung Hutabarat, tokoh masyarakat Desa Pantis dalam film ‘Tombak Na MarpatiK’.