Oleh: Thariq Ridho
“Siapa disana,” sekilas cahaya putih melasat cepat dihadapanku. Seseorang berdiri dipojok ruangan. Laki-laki, bukan itu perempuan dengan gamis panjang menutupi kaki. ***
Hujan deras mengguyur sejak pagi tadi. Membuatku bermalas-malasan layaknya garfile si kucing pemalas di film holywood. Hari ini sukses buatku tidur puas. Tanpa sadar aku seperti mati suri sampai-sampai mengacuhkan semua panggilan masuk yang berdering dari pagi.
Hari sudah siang. Aku menggapai gawai yang sengaja aku letakkan di meja dekat tempat tidurku. Tiga belas panggilan tak terjawab dan satu pesan masuk muncul dinotifikasi layar depanku, dari Risky. Anak ini memang tidak ada capeknya menghubungiku untuk menemaninya malam ini ke pesta yang dihadiri para bangsat seantero kota ini. Dan bagiku itu sungguh membuang-buang waktu.
Sejak dulu aku memang tak habis pikir tentang jalan pikiran temanku yang satu ini. Ada-ada saja kelakuannya. Terakhir ketika aku dan dia hadir di perayaan tahun baru. Ketika kami hampir saja mati karena nekat melawan preman yang sedang menggoda seorang wanita dipinggir jalan. Alhasil wanita itu selamat dan kami babak belur dihajar mereka. Dan kali ini dia ingin mengajakku berpesta. Ini sungguh gila.
Dasar bangsat. Terkadang ia berhati mulia menjunjung tinggi wanita seperti yang kami lakukan dimalam tahun baru. Tapi tidak untuk malam ini. Dia sama saja seperti para pejabat kaya raya yang menginjak-injak kasta wanita. Hanya untuk kesenangan belaka.
Suara adzan magrib berkumandang. Aku terjaga dari tidur hibernasiku. Langit mulai gelap. Akhirnya aku beranjak dari kasur menuju kamar mandi. Malam ini Risky pasti lagi bersiap-siap dengan hal gila yang akan dilakukannya nanti. Aku hanya menunggu kabar esok hari tentang kejadian luar biasa yang dilaminya nanti malam. Menunggu kejaiban darinya tanpa ingin terlibat dalam permasalahannya.
Persedian makanan habis. Aku harus keluar untuk makan malam setelah tidak makan dari pagi. Tentunya warga cacing ditubuhku melakukan demo menuntut haknya terpenuhi. Bakso mungkin bisa mendamaikan kericuhan internalku. Setidaknya tidak harus keluar jauh-jauh untuk membelinya karena berada dekat tempat tinggalku.
Warung bakso sepi. Tidak seperti biasanya ramai oleh pembeli. Mungkin hujan seharian membuat orang malas untuk keluar. Baguslah. Aku tidak perlu mengantri untuk memesan. Tiba-tiba ponselku bergetar tanda panggilan masuk. Tanpa nama. Mungkin seseorang rekan atau teman yang mengganti nomornya dan memintaku untuk menyimpan kontaknya. Aku mengangkat. Tidak ada suara. Hening. “Halo,” jawabku. Tidak ada sahutan. Tit…..sambungan terputus. Aneh.
Semangkuk bakso tadi mengisi malamku. Para demonstran ditubuhku pun berdamai. Tentram. Sepulang dari warung bakso aku tidak bisa tidur lagi, mungkin waktu tidurku telah habis. Jadi aku harus terjaga semalam suntuk. Membosankan. Kenapa aku harus terjaga sepanjang malam. Tidak adakah suatu hal yang menyenangkan dimalam hari. Aku menyesali perbuatanku kepada Risky siang tadi. Seharusnya aku menjawab “Ya” atas ajakannya.
Aku menelpon Risky. Ia tidak menjawab panggilanku. Mungkin suara musik bar lebih keras dari getar panggilan masukku atau para jalang itu telah membutakan seluruh indranya. Tunggu dulu, aku mencari pesan yang dikirimnya siang tadi. Biasanya ia mencantumkan alamat tempat dilaksanakan pesta malam ini. Benar saja. Aku pun mendapatkan alamatnya.
Dentuman musik DJ yang keras menggetarkan jiwa setiap pengunjung yang hadir. Kerlap-kerlip lampu disko menjadi hiasan ciri khas bagi setiap bar. Botol-botol berserakan disetiap meja, terkadang tergeletak di lantai tanda telah habis. Asap rokok mengepul dimana-mana. Jika kau disini kau harus siap keluar dengan mandi asap rokok.
Soal wanita jangan ditanya lagi. Ketika kau masuk kau telah disejukkan dengan pemandangan mempesona dan memanjakan mata sampai meningkatkan birahi para jantan. Ini bagaikan peternakan. Kau cukup hadir dan memilih hewan apa yang akan kau nikmati. Terdapat pula sekat-sekat dengan lampu remang-remang disisi belakang bar. ”Itu pasti tepat prostitusi” gumamku.
Aku mencari Risky. Aku belum menemukannya sejak awal masuk. Aku mencoba menghubunginya. Tidak ada balasan. Nomornya aktif tapi tidak menjawab. Tiba-tiba seseorang berteriak “Ada polisi, semuanya bubar,” seisi bar pecah. Berlarian meninggalkan bar. Seorang polisi masuk menembakkan pistolnya ke atap bar. “Semuanya jangan bergerak. Diam ditempat,” intruksi sang polisi. Sesaat semua hening. Dor seseorang berdiri mengeluarkan senjata api dan menembak tepat di pelipis polisi tersebut hingga tewas. Bar kembali ricuh, orang-orang kembali panik. Dua orang polisi masuk mengacukan senjatanya.
Orang yang menembak tadi meluncurkan serangan terhadap dua polisi yang baru masuk. Terjadi baku tembak dalam bar. Personil polisi bertambah banyak masuk ke dalam bar. Aku segera melarikan diri dan mencari tempat aman. Aku teringat Risky. Dimana dia. Berkali-kali aku hubungi tidak ada jawaban. Semoga dia lolos dengan selamat.
Desing peluru terus menghujani seisi ruangan. Tiba-tiba seseorang menarikku ke suatu ruangan. Ternyata itu Risky. “Jangan banyak pertanyaan, nanti aku jelaskan. Sekarang tinggal lah disini dan jangan keluar,” tegasya dan ia keluar dari ruangan sambil membawa senjata.
Desing peluru kian membahana. Suara tembakan bertaut dengan pecahan kaca. Aku penasaran bercampur ketakutan dan penyesalan. Penasaran mengapa Risky meninggalkanku. Takut harus mati di tempat tercela ini. Menyesal karena menuruti nafsu biadabku dan terjebak dikejadian gila ini.
Brak, pintu terbuka. Risky muncul dan memberi aba-aba untuk keluar. Aku langsung menuruti. Kaki masih separuh keluar ruangan, satu tembakan melesat tepat di dada Risky. Masih tercengang dengan yang kusaksikan. Hingga tersadar ada cairan yang mengalir dipelipisku. Merah. Ini darah. Aku sempat melihat seseorang yang menembak. Samar, hitam pekat.
Ada yang memanggil namaku. Tapi siapa? Semakin jelas berkumandang di telinga. Ruangan ini kosong. Hampa tidak ada tanda kehidupan. Aku melihat bayangan. “Siapa disana,” sekilas cahaya putih melesat cepat dihadapanku. Seseorang berdiri dipojok ruangan. Laki-laki, bukan itu perempuan dengan gamis panjang menutupi kaki. “Kau siapa?” dia hanya diam tanpa menjawab. Silau. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Apakah dia yang memanggil namaku. Dari mana ia tahu. Ia mendekat tapi aku tetap tidak bisa melihat wajahnya. Semakin dekat. Ia mendekapku laksana ibu yang rindu jumpa anaknya. Ia berbisik “Kembali lah. Disini bukan tempatmu,” lalu menghilang seperti asap terbawa angin namun sisakan hangat bekas dekapan.
Suara lagi. Kali ini bukan namaku. Tapi semacam suara sambungan telepon yang putus. Aku melihat cahaya. Seperti matahari. Terang dan silau. Aku dapat melihat semuanya, seisi ruangan ini. Aku mengenalnya. Semua yang ada di sini. Ruang rawat Rumah Sakit.