Oleh: Adinda Zahra Novioyanti
Hampir penuh 12 jam tanpa henti vaginanya dicekoki tongkat lunak pria-pria biadab bergantian. Tentara Jepang pada masa penjajahan memang hanya bisa meluapkan gairahnya pada para wanita bodoh itu. Mereka tak tahu; sebagian dipaksa; sebagian ditipu. Usia Kimiko saat itu masih 14 tahun.
Bertahun-tahun berlalu mereka tetap dianggap sampah oleh negaranya sendiri. Bukan tempat berlindung dari penjajah tapi bilik tempat keperawanannya ditikam habis oleh para bedebah.
“Parrrrrrrrrr,” suara kaca pecah megusik khayalku tentang cerita wanita-wanita yang menjadi Jugun Ianfu.
“Gadak otak kau. Udah habiskan duitmu untuk lonte-lonte itu. Kau bawa pulak kemari,” teriakan yang sudah biasa kudengar dari para orang tua di rumah manapun.
Aku berdiam sambil melangkahkan kaki keluar rumah tanpa siapa pun tahu. Kukendarai mobil sekencang mungkin berharap keberanian untuk menabrakkan diri ke truk pengangkat pasir muncul begitu saja. Ternyata tidak. Aku takut.
Di depan toko kelontong, pria seperti kukenal duduk berdiam sambil memegang togkat kayu. Aku berhenti sambil melihat lebih memastikan. Pandangannya kosong. Sedikit ujung bibirnya terangkat; alis matanya kanannya sedikit mengkerut. Benar saja, aku mengenal lelaki itu. Kupanggil dia Om Linting
Tiga tahun lalu, usiaku 17. Aku dan tiga temanku duduk di belakang rumah Mila sambil membakar 3 potong ayam yang dibeli dengan uang ck (cari kolektif). Seperti biasa, mengisap rokok dan bermain judi ala kadarnya—uang 10 ribu sudah paling mentok. Om Linting tak sengaja lewat langsung saja merusuh kartu-kartu judi kami.
Ia bilang anak gadis penjudi sampai tua akan jadi penjudi. Kami tak peduli. Dikeluarkannya semacam isi rokok dari kantongnya. Katanya itu daun tembakau. Tapi aromanya kurasa menyengat, sampai sekarang masih kuhafal aroma itu. Mila bisikkan itu ganja. Kusampaikan padanya untuk tidak berlebihan. Syarafnya akan rusak bisa-bisa jadi orang gila—saat itu aku sendiri tak mengerti apa yang kubilang dan apa dampak ganja—kubilang sambil tertawa.
Orang itu memang gila, bisa kubilang bukan lagi pengguna tapi pecandu tingkat akut. Caranya untuk memenuhi nafsunya dengan penjadi pengedar pula. Kalau tidak mau dari mana uangnya. Ia tawarkan saya gratis. Mudaku menantang penasaran. Sekali hisap batukku bukan main. Aku dan teman-temanku tertawa. Sejak itu tak pernah lagi kuharap menyentuh barang itu.
Om Linting kulihat tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Kulihat sekitarnya tak ada satu pun yang mengundang gelak tawa. Semakin kulihat pakaiannya aneh, di sana-sini bergantungan kalung, gelang, dan cincin di seluruh jarinya. Tawanya makin kuat; perempuan tua keluar sambil membawa golok dan mengancam akan membunuhnya.
“Pergi kau! Dasar pecandu gilak,” teriaknya dengan wajah merah.
Candaanku berbuah. Aku tak paham, gilanya karena ganja atau lain hal. Kalaupun ganja, bukan si ganja yang salah. Ganja hanya tumbuhan, anugerah dari Tuhan. Dia gunakan berlebihan, itu salahnya. Pastinya dia orang yang mengenalkanku nikmatnya aroma ganja dan memperingatkanku menyoal judi.
Aku pergi ke diskotik tempat biasa kuhabiskan uang. Pria tua itu akhirnya datang. Dibelainya rambutku. Diciuminya leherku. Digenggamnya tanganku sambil seperti kerbau digiringnya aku ke kamar termahal.
Tiba-tiba wajahnya berubah merah membara. Ditmparnya aku. Dasar tua bangka untuk memukul sekuat tenaga saja sudah tak kuat. Bercuap-cuap mulutnya tentang lelaki muda tampan yang sempat kutemui siang tadi.
Memang tua bangka, apapun yang kulakukan dia bisa tahu. Bagaimana tidak, dia mampu membayar ratusan orang untuk memata-mataiku. Entah antek-antek mana lagi yang mengadu padanya soal aku dan mantan pacarku.
Setelah melihat Om Linting tak sengaja kulihat Robert, pacarku yang baru putus satu minggu lalu. Kuminta dia masuki mobil. Tak kupikirkan lagi antek si Tubang. Kami bercumbu, membalas rinduku padanya yang masih kucinta. Kepergiannya juga karena antek si tua kaya raya yang hampir membunuhnya.
Si tubang (tua bangka—red) jambak rambutku. Aku hanya diam, rasa sakit pun sudah tak terasa karena kemuakan. Tiba-tiba dia berbisik. “Aku hari ini lelah, akan kutinggalkan uang lima juta di atas meja jika besok kau belum terbangun,” sambil membelai pahaku.
Aku tersenyum bahagia dan kuberi kepuasannya hanya dalam waktu 15 menit saja. Huhhh, inilah aku, Cechilia, sesungguhnya menikmati kenyalnya tubuh si Tubang. Demi kenikmatan kemewahan dilihat orang-orang.
Tak kubutuhkan kekuasaan. Tak kubutuhkan kemunafikan, yang kuinginkan hanya kebahagian atas kepemilikan harta bendaku.
Aku pilih menjadi ‘istri’ lelaki hidung belang yang hanya ingin tubuh montok setiap wanita. Ya, tak masalah. Lekuk tubuhku memang buat tegangan leleki jalang seperti tersambar petir. Mereka begitu liar, menjijikkan. Kami dijadikan sumber kekenyangan peliharaan. Pilihan tetap bersenang.
Inilah aku. Aku bukan pelacur. Tak kupampang tubuhku di pinggir jalan. Tak pula si Germo yang tawarkan. Aku hidup seperti benalu. Tak mampu hidup tanpa Dahan. Kusisihkan kemolekkan untuk adam pemilik modal terbesar di kota metropolitan. Tubuhku cukup untuk dia, lelaki tua. Satu wanita yang dicintai. Serta berpuluh budak modern demi kepuasan peliharaan. Hidup terkungkung bersama kebahagiaan harta.
Aku bukan pula jugun ianfu yang dipaksa bekerja lalu dikucilkan berpuluh tahun. Aku hanya gadis dua puluh tahunan milik lekaki kaya hidung belang. Pemilik tambang besar di kota Medan. Membentuk gairah si Tubang yang hanya mampu bertahan tak lebih dari setengah jam.