Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar
Siapa kita? Kita bukan siapa-siapa, Teman. Kita hanya buih di tengah lautan darah. Analogi yang kejam. Tidak! Itu tidak kejam. Itu hanya peringatan kecil. Berteriak? Diamlah? Suaramu takkan didengar malah kau akan dibungkam. Mengkritik? Untuk apa? Idealisme? Itu tak berlaku di negeri para tiran ini. Jangan terlalu muluk atau kau akan dimusuhi oleh bayangan.
Siang itu, matahari menyengat kulit sampai ke ubun-ubun. Cahayanya seolah mampu menembus pikiran setiap insan yang ada. Matahari seolah mengamuk. Tergetarlah hati seorang anak Adam dalam barisan para penjelajah malam. Sulaiman, suaranya yang lantang memekakkan telinga. Hampir hilang anugerah sang maha Esa akibat ulahnya. Teriakannya menggema menembus cakrawala. Hampir terjatuh malaikat akibat guncangannya. Kalimatnya hampir tak tertata lagi. Hanya teriakan keadilanlah yang terdengar.
Di barisan seberang, tegap berdiri sepleton pasukan yang seperti karang yang takkan goyah meski angin menggulungnya. Matanya nyalang memandang lawannya. Waktu berjalan lambat dalam keheningan. Bumi seolah enggan berputar. Titah Maharaja yang memaksa tubuh mereka mematung. Bibirnya yang kaku tak terbersit untuk tersenyum. Bahkan senyuman kecut pun tidak.
“Mana tuan kalian? Panggil dia! Apa kami harus menyeretnya keluar dari singgasananya?” Hati Sulaiman yang sudah panas ditambah otak kepalanya yang hendak pecah memaksanya secara tak sadar untuk mengucapkan kalimat terkutuk itu.
Panas telinga Maharaja mendengar teriakan lantang Sulaiman. Hampir dibukanya topeng yang sudah melekat di jiwa. Ditahannya nafsu untuk memotong lidah manusia lancang itu. Dadanya kembang kempis menahan amarah. Sejuk pendingin udara tak membantu sedikit pun. Alunan lembut serta daya magis dari tembang kesayanganlah yang meredakan sedikit amarahnya.
Satu anggukan dari Maharaja cukup untuk menjadi pengantar pesan. Suara pistol pun dengan senang hati menyambut titah mahasuci tersebut. Asap terkepul menyudahi suara tembakan peringatan. Para penjelajah tetap bergeming. Mereka takkan mundur. Jika sang pemilik galaksi menginginkan mereka pulang, biarlah teriakan mereka jadi nyanyian kematian buat mereka.
“Mundur! Kami takkan melukai!” teriak seorang pasukan berbadan tegap.
“Tidak! Kami takkan mundur. Siapa lagi yang menyampaikan hal ini? Bapak? Anda itu hanya budak, Pak. Tak usah sombong!” ujar Ari, rekan Sulaiman yang tak kenal hedonisme.
Merasa titahnya dianggap sebelah mata, sang Maharaja pun kehilangan akal sehatnya. Dengan muka bengis ia tersenyum sinis. Andai iblis melihat senyuman ini. Ia lebih memilih membutakan matanya. Senyuman sang Maharaja merupakan malapetaka bagi para penjelajah di luar.
Pesan di balik senyuman pun menggegerkan barisan karang berwujud manusia. Mata hati mereka meronta menolak melukai lawan di hadapan. Tetapi, titah tetaplah titah. Tangan mereka tergetar saat menarik pelatuk. Hati mereka menangisi pilihan. Tidak! Mereka tak memilih. Mereka dipaksa. Hati mereka belum membeku. Mereka butuh cahaya.
Berondolan timah panas menghantam tubuh para penjelajah tanpa mengenal arah dan tuju. Tembok kokoh tadi mendadak runtuh. Selamatlah satu-satunya yang terpikir. Sulaiman masih mematung saat Ari berteriak dengan suara serak hampir kering.
“Lari bodoh! Kau mau mati konyol?” Sulaiman tersadar. Langkahnya langsung ambil kendali. Dia tak sadar lagi ke mana kaki menyeretnya. Hatinya sudah hancur. Nyaris tak berbentuk. Rezim ini sudah di luar nalar, pikirnya.
Sulaiman kembali dari fantasinya saat indra penciuman merasakan ada cairan kental anyir di bahu kanannya. Peluru menggores bahunya ketika berlari. Napasnya tersengal dan kepalanya mulai pusing. Darah yang tumpah takkan disesalinya. Darah yang jatuh takkan meruntuhkan tekad bajanya. Ternyata, tubuhnya tak setangguh baja tekadnya. Perlahan tumbang hingga menyisakan remang.
Istana bagaikan surga maksiat malam itu. Maharaja mengundang seluruh pejabat istana merayakan kemenangan semu yang diperolehnya tadi siang. Citra pemimpin sederhana seolah menguap tak berbekas. Ruangan temaram itu dipenuhi bau arak yang menyengat.
Kepulan asap cerutu mengganggu pandangan mata. Musik gemerlap mengiringi tawa para pejabat yang memberi puja palsu pada Maharaja. Sang Maharaja dengan sombongnya menganggap dirinya dewa yang bisa dengan mudah mencabut nyawa siapa saja yang diinginkannya. Sejauh mata memandang, lautan wanita erotis bergelimpangan di atas lantai. Tarian tak henti hingga fajar menyingsing.
***
Samar ia mengenali ruangan putih itu. Ia tersadar berada di bangsal rumah sakit. Ia mencoba mengingat mengapa ia di sini. Aksi yang berakhir nestapalah yang tersimpan di memori. Terakhir, ia tumbang dan semua meremang hingga akhirnya hampa. Bisu. Ia menghubungi perawat dan menanyakan siapa yang membawanya ke sini.
“Maaf, saya tidak tahu, Mas. Hanya ada titipan surat dari resepsionis untuk Anda,” jawab perawat seraya menyerahkan surat.
Maaf.
Kata pertama yang membuat hati Sulaiman bertanya-tanya.
Hati nurani kami menjerit saat melepaskan peluru dari pistol itu. Kami seperti ingin mati saja. Tetapi, tangisan putra-putri kami yang akan menggema menggetarkan langit bila kami mati. Kami dipaksa. Tidak! Kami tidak berani melawan para penindas. Semua hanya karena sesuap nasi. Semua terdengar munafik tapi biarlah semua itu terjadi. Maafkan jika peluru kami merobek kulit dan daging kalian. Ah, kami tak punya hak untuk dimaafkan. Lukamu mungkin sembuh. Badanmu akan kembali bugar. Tetapi, dendammu akan membara. Membakar setiap angkara murka. Sekali lagi, maaf para pencari kebenaran.
Salam.
Sulaiman terkejut membaca surat itu. Wajahnya memerah karena amarah. Dia makin tahu penguasa negara sudah tak punya celah kebaikan. Biarlah nyawaku teriris pedang atau tertusuk tajamnya peluru, asalkan negeri ini lepas dari belenggu penindasan. Aku rela. Sulaiman membatin.
Bersiaplah kalian para penguasa zalim! Perang baru akan dimulai!
Penulis merupakan mahasiswa Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik 2017.