Oleh: Redaksi
Genap sudah seratus hari sejak mahasiswa USU punya pemimpin baru. Proses pemilihannya lama, sama lama dengan waktu yang dibutuhkan presiden terpilih untuk bekerja ala kadarnya hari ini.
“Saya bakal turun kalau seratus hari enggak selesai.”
Pernyataan tersebut disampaikan Wira Putra saat debat kandidat calon presiden dan wakil presiden mahasiswa USU. Yang dimaksudnya saat itu ialah program kerja yang dicanangkannya dalam masa kampanye.
Di antaranya membentuk Sekolah Pimnas, Rumah Beasiswa, Rumah Aspirasi, USU Research Center, serta Student Business Point. Selain itu, ada program Konstitusi Kita, USU Produktif, Stop Jurnal Berbayar. Lalu, mengadakan Porseni USU, serta mengadvokasi permasalahan uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa.
Pernyataan presiden di awal terdengar mantap dan meyakinkan, namun sayangnya tak berjalan semantap itu pula.
Sejak dilantik, Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU yang dipimpinnya tak menunjukkan perkembangan yang signifikan hingga saat ini. Kabinet kerja yang sejatinya akan membantu jalannya pemerintahan saja, baru dilantik 28 September lalu, berselang dua bulan setelah pelantikan presiden dan wakil presiden. Waktu ini tentu terhitung lama, apalagi untuk periode pemerintahan yang hanya setahun.
Itu pun, Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas (MPMU) USU harus turun tangan—dalam arti mendesak—terlebih dahulu baru kemudian pelantikan terlaksana. Sempat kecewa karena keterlambatan dan kelambatan Pema USU, MPMU memutuskan tidak menghadiri pelantikan tersebut.
Setelah punya jajaran kementerian, Pema USU melangsungkan rapat kerja sepuluh hari kemudian, tepatnya 8 Oktober lalu. Agaknya waktu tujuh minggu sejak pelantikan hingga rapat kerja terlalu lama, sebab toh hasilnya program kerja selama setahun sama persis dengan yang ‘dijual’ pasangan calon nomor 2 ini saat kampanye.
Di antara sepuluh program kerja tersebut, hanya satu yang mulai dijalankan pema; advokasi UKT. Itu pun, masih setengah jadi—jika tak mau dibilang belum berhasil. Pasalnya, Pema USU berniat membawa seribu berkas pengajuan penurunan UKT yang dianggap sebagai petisi untuk mengadvokasi mahasiswa semester 9, yang merasa dirugikan jika harus membayar UKT penuh. Sebab, UKT merupakan uang kuliah yang harus dibayarkan setelah dikalkulasikan dengan biaya fasilitas yang digunakan selama kuliah 8 semester.
Namun, hingga batas waktu yang ditargetkan sendiri oleh pema, hanya terkumpul sekitar empat ratus berkas. Sudah begitu, barulah Pema USU meminta bantuan kepada himpunan mahasiswa jurusan di semua fakultas untuk turut membantu mensosialisasikan dan mengumpulkan petisi. Hingga kini, belum jelas pula kapan berkas-berkas mahasiswa ini akan diserahkan ke rektorat.
Pema USU pun tak berhasil memegang janji pasti dari Wakil Rektor I soal petisi ini. Seribu petisi tersebut akan ditinjau terlebih dahulu. Syukur-syukur, uang kuliah semester 9 mahasiswa yang sudah terlanjur bayar akan dikembalikan sesuai dengan penghitungan yang baru. Kalau tidak, hanya akan menjadi bahan pertimbangan untuk ke depannya. Jadi, satu program yang telah dijalankan Pema USU ini pun belum bisa dikatakan telah berhasil.
Lagipula, seharusnya advokasi UKT yang dilakukan Pema USU tak hanya untuk mahasiswa semester 9 saja. Sebab banyak mahasiswa semester awal hingga semester 8 yang merasa nilai UKT nya tidak sesuai dengan kemampuan.
Untuk program lainnya, belum ada sosialisasi lebih lanjut oleh Pema USU. Hanya ada satu kegiatan yang dikabarkan akan diselenggarakan; USU Sport War. Untuk tanggal dan tempat belum diumumkan. Sekali lagi, padahal ini sudah seratus hari, Pak Presiden.
Selain menyoal program kerja yang telah disusun, Pema USU juga punya fungsi penting di kehidupan mahasiswa. Jika memang paham fungsi, Pema USU harus selalu hadir untuk mahasiswa saat sedang dibutuhkan. Kapan pun.
Pema USU pernah mengundang pema sekawasan dan mahasiswa untuk diskusi. Agendanya refleksi kinerja tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK. Saat itu mahasiswa yang hadir mengusulkan diskusi masalah internal kampus. Akhirnya, para undangan yang hadir harus pulang dengan kecewa karena diskusi panjang—masih soal agenda diskusi, belum diskusi— tersebut tak membuahkan hasil.
Selain itu, paling mencolok adalah kasus Immanuel Silaban yang baru-baru ini dikeroyok sejumlah oknum satuan pengamanan USU. Saat hari kejadian, Pema tak ada di sana untuknya. Pema juga tak hadir untuk membantu mahasiswa kawan-kawan Immanuel untuk memperoleh keterangan di mana Immanuel berada saat itu.
Sementara kawan-kawan Immanuel melakukan aksi selama 25 jam di depan pos keamanan USU, Pema USU malah sibuk melakukan aksi di lain tempat untuk mengevaluasi tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK.
Memasuki hari keempat Immanuel kritis, barulah Pema USU mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan kepada media massa kasus Immanuel. Lagi-lagi, ‘inisiatif’ Pema USU ini sebenarnya telat; kronologi kejadian yang disampaikan sudah tersebar di mana-mana.
Di hari itu pula, Pema USU menuntut Rektorat USU untuk bertanggung jawab; rektorat harus mengusut tuntas kasus, hingga mendesak pemecatan terhadap satpam USU yang terlibat.
Syukur, besoknya, Pema USU mengajak mahasiswa melakukan aksi di depan Biro Rektor USU. Aksi ini boleh dikata agak berhasil sebab perwakilan rektorat turun menjumpai mahasiswa dan menebar sejumlah janji. Tapi, hingga hari ini belum terlihat lagi upaya Pema USU untuk membuat janji-janji tersebut berhasil dipenuhi.
Nyatanya, rektorat malah kini lepas tangan, menyerahkan sepenuhnya kasus kepada pihak berwajib tanpa mau repot cari tahu dan membeberkan oknum satpam yang terlibat. Konon lagi katanya janji melakukan pemecatan.
Pema USU tampak membantu setengah hati. Usai aksi yang diwadahi Pema USU, evaluasi berlangsung blunder. Dalam forum yang terdiri dari mahasiswa USU tersebut, awalnya telah disepakati akan melakukan aksi lanjutan—yang benar-benar terus berlanjut siang dan malam, hingga semua tuntutan mahasiswa terpenuhi.
Namun, sesaat setelah forum menyepakati rencana tersebut, Pema USU keluar dari ruangan. Beberapa saat kemudian, presiden dan kabinetnya kembali masuk ke dalam ruangan dan membawa kertas berisi jadwal aksi yang ditentukan Pema USU sendiri.
Alhasil, saat dini hari kawan-kawan Immanuel melanjutkan aksi sendiri; memasang tenda dan bermalam di halaman Biro Rektor. Tak satu pun anggota Pema USU yang terlihat mendampingi. Apalagi Pak Presiden.
“Ada agenda lain,” ketus seorang mahasiswa aksi saat SUARA USU tanyakan keberadaan pema sekitar pukul tiga dini hari, dengan nada suara dan raut muka kecewa.
Pagi menjelang siang, massa dibubarkan wakil rektor I dan V. Lagi, presiden juga tak di sana untuk membela. Kemudian malamnya, konsolidasi mahasiswa dari tiga universitas di Medan tidak dihadiri Pema USU dengan alasan ‘tak tahu’.
Tindakan pema yang menyambalewakan seratus hari pemerintahannya untuk bekerja cukup disayangkan. Apalagi tak ada yang terlalu mendesak Pema USU sendiri untuk ngebut kerja selain rakyatnya sendiri, mahasiswa. Walau tidak bisa digeneralisasikan semua, namun masih banyak mahasiswa yang terkesan tak acuh. Pema USU pun harus punya strategi untuk membuat mahasiswa USU mengenal sosok pemimpinnya.
Sekalian titip salam untuk MPMU USU yang tugasnya mengawasi pema, apa kabar kongres tata laksana ormawa (TLO)? Mungkin setelah adanya TLO yang baru, pema bisa paham dengan fungsinya. Hidup Mahasiswa!