BOPM Wacana

Yulhasni: Mahasiswa USU Zaman Saya Merajai Koran Lokal

Dark Mode | Moda Gelap
Yulhasni di Kantor Komisi Pemilhan Umum Provinsi Sumatera Utara. | Dewi Annisa Putri

Oleh: Dewi Annisa Putri

Lama bergelut di bidang sastra, baginya dunia tulis-menulis dapat menjadi tolak ukur kualitas pikiran seorang intelektual dari kampus berkualitas.

“USU itu tempat berkumpulnya para intelek,” jawab Yulhasni ketika ditanya apa yang paling diingatnya tentang USU.

Yulhasni yang saat ini menjabat Komisioner di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumatera Utara (Sumut), merupakan alumni Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) jurusan Sastra Indonesia USU. Selain titel Sarjana Sastra, gelar Magister Humaniora juga diperolehnya dari USU.

Selama kuliah di USU, ia dikenal sebagai mahasiswa yang aktif. Bersama sejumlah mahasiswa Fakultas Sastra lainnya, Yulhasni mendirikan Teater “O” USU. Ia pun sempat menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Wacana di Fakultas Sastra USU, dan Pemimpin Redaksi Pers Mahasiswa SUARA USU.

Karena kecintaannya pada sastra, ia menghasilkan banyak karya sejak masih duduk di bangku kuliah. Yulhasni menulis naskah teater, cerita pendek, puisi, hingga esai budaya. Karya-karyanya diterbitkan di media lokal maupun nasional, seperti harian Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Waspada, Analisa, Radar Medan, Mimbar Umum, Sumut Pos, dan Majalah Alkisah.

Selain di media, hingga kini karyanya juga sudah banyak yang dibukukan seperti OegrosenoPengabdian Polisi Tak Kenal Lelah. Tentu, beragam penghargaan pun telah sampai di tangannya.

Usai kuliah, Yulhasni pernah menjadi wartawan di harian Republika, Realita Pos, Medan Ekspres, dan Radar Medan. Ia juga sempat menjabat Redaktur Pelaksana di harian Sumut Pos dan Pemimpin Redaksi Harian Metro Asahan. Kemudian menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi Sumut dan anggota Aliansi Jurnalis Independen Medan.

Sebelum menjadi Komisioner KPU Sumut, Yulhasni dipercayai sebagai Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum Medan pada 2004, dan Ketua Tim Seleksi KPU Medan pada 2008. Di sela aktivitasnya, ia juga menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Dulu USU…

Kalau dulu termasuk bebas. Mahasiswa banyak membuat kelompok-kelompok yang bisa menampung kreativitas. Misalnya yang suka teater mendirikan Teater O, yang suka nulis mendirikan SUARA USU, dan organisasi-organisasi lainnya. Di Fakultas Sastra juga ada majalah Wacana untuk media menulis mahasiswa. Jadi, waktu itu USU memfasilitasi dan mendukung mahasiswa sepenuhnya.

Selain itu, mahasiswanya juga banyak yang membentuk kelompok belajar untuk sama-sama mengkaji dan menganalisis persoalan sosial. Aktivitasnya diskusi terus, bisa sampai larut malam. Diskusinya juga lintas kelompok fakultas, jadi mahasiswa antarfakultas sangat akrab.

Ditambah lagi, dulu juga belum ada internet makanya silaturahminya kuat. Kalau ketemu untuk diskusi semuanya benar-benar fokus. “Saya enggak bilang mahasiswa sekarang enggak ada yang fokus sih, tapi dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih ini pastinya ada perubahan, kan?” tuturnya.

Taman USU dan rusa-rusa itu masih belum ada. Karena kampus tidak dijadikan tempat bermain. Mahasiswa yang lari pagi dan olahraga di USU juga jarang. Nah kalau fasilitas lainnya ya pastinya sekarang udah lebih bagus.

Masa itu belum ada bus USU. Mahasiswanya jalan kaki dari kampus ke kampus. Karena yang punya sepeda motor masih satu orang. “Namanya kereta umat, jadi ganti-gantian,” kenangnya.

Tapi, kalau di Fakultas Sastra dulu beberapa mahasiswa dikasih mandat langsung dari dekannya untuk tinggal di kampus. Jadi, kalau hari Minggu mahasiswa jemur pakaian di kampus karena pasti sepi.

Satu lagi, kalau dulu kuliner terbatas. Kantin pertama di USU itu adanya di Fakultas Sastra. Satu lagi ada di Fakultas Hukum. Jadi, cuma ke situlah semua mahasiswa dulu dari fakultas-fakultas lain kalau makan.

 

Untuk USU di umur 65…

Yulhasni rasanya merindukan pemikir-pemikir USU yang didengarkan skala nasional. Kalau sekarang cenderung tak ada lagi pengamat-pengamat politik, ekonomi, dan hukum dari USU. Indikatornya sederhana saja, pernah menulis atau tidak.

Pun di televisi juga jarang pakar dari USU yang dijadikan narasumber. Ia tak tau apa masalahnya, tapi bisa jadi karena budaya literasi mahasiswa sekarang yang lemah.

Padahal, masa dulu mahasiswa sering sekali menulis di koran. Nulis apa saja, esai, ekonomi, politik, dan sastra. “Kami hampir bisa dikatakan merajai koran-koran lokal di Sumut ini,” ujarnya.

Misalnya dekan FIB sekarang yang sering menulis di Waspada. Jadi harapannya dosen dan dekan lain juga sama. Akan menarik kalau dosen Ekonomi menulis masalah-masalah ekonomi, dan seterusnya.

Karena kalau dulu, setiap orang yang dibilang tamatan USU itu ibaratnya garansi untuk orang-orang berkualitas dan berpengaruh. Makanya sudah pantas orang berbangga jadi lulusan USU.

Ihwal  jaringan sebenarnya bisa didapat setelah beraktivitas di luar kampus. Tapi, ketika di luar ketemu sesama alumni USU, pasti langsung akrab saja. Misalnya kala jadi wartawan, ia sering berjumpa narasumber yang sama-sama tamatan USU, dan memang rasanya tidak ada sekat.

“Ya, semoga USU di umur ke-65 ini bisa tetap jadi tempat berkumpulnya para intelek dan pemikiran civitas akademiknya diakui di Indonesia,” tuntasnya.

***

Dalam rangka memperingati Dies Natalis USU ke-65, Pers Mahasiswa SUARA USU akan menerbitkan artikel khusus Edisi Dies Natalis USU selama seminggu ke depan. Nantikan hal-hal menarik lainnya tentang USU yang akan kami sajikan selanjutnya!

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4