Oleh: Adinda Zahra Noviyanti
“Golput aktif di setiap pemilihan,” pekik seorang pemuda dalam kolom komentar media sosialnya. Benarkah tindakan tersebut adalah jawaban dari ketidaksejahteraan suatu negara?
Golput sudah ada sejak 1971 yang dicetuskan oleh Arief Budiaman. Pada masa itu golput merupakan pergerakan moral yang dibentuk pemuda dengan tujuan menjaga tradisi demokrasi yakni dalam kondisi apa pun juga pandangan yang berbeda dengan penguasa harus dilindungi. Ini atas dasar kekecewaan pada pemerintah karena masyarakat yang kerap dipaksa untuk memilih satu calon yang ia sebenarnya tidak mau memilihnya. Hal ini disampaikan Arief pada wartawan dalam buku Golput Aneka Pandangan dan Fenomena Politik Uang disunting oleh Arbi Sanit.
Penafsirannya dipakai bagi seseorang yang memilih untuk tidak memilih calon manapun dalam pemilihan langsung. Baik secara aktif—datang ke tempat pemilihan setempat namun memilih untuk merobek, merusak, atau tidak mengisi surat suara—atau golput pasif—sama sekali tak menghadiri TPS.
Lantas bagaimana saat ini? Apakah golput merupakan kepasrahan atau solusi?
Sepertinya jika melihat tujuan awal, hal tersebut sudah tidak perlu lagi dilakukan. Pasalnya pemerintahan saat ini sudah tidak sediktator pada masa rezim saat golput muncul. Tapi kenapa hingga kini masih bertebaran ajakan untuk golput.
Berbeda dengan keberadaannya di awal, kini golput bertransformasi menjadi golongan yang kecewa karena menganggap tak ada perubahan apapun meski mereka memilih salah satu calon atau partai. Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya paham politik namun terlanjur kecewa dengan pemerintahan. Atau mereka yang menolak sistem yang berlaku sebab tak percaya sistem yang ada dapat mengatasi masalah kesejahteraan masyarakat.
Logika sederhana yang disampaikan Janson Brennan, pengajar Ilmu Politik Against Democracy adalah pemimpin yang korupsi dipilih oleh pemilih yang korupsi begitu pun sebaliknya. Artinya, jika ingin menghasilkan pemimpin yang baik maka pemilih juga harus lah orang-orang yang selektif dalam memilih.
Janson Bernnan membagi tiga kelompok dalam masyarakat politik. Pertama, kelompok yang disebutnya Hoibit. Kelompok ini di dalamnya orang-orang apolitis, apatis, dan ignorant dalam setiap urusan politik. Mereka cenderung memiliki pengetahuan terhadap politik yang minim. Nah, ini adalah kelompok yang kerap berkata, “Ah malas milih—memilih ke TPS—gak kaya jugaknya aku”.
Kelompok kedua, masyarakat yang antusias terhadap pagelaran politik, aktif dalam partai politik begitu pula mengampanyekannya. Kelompok ini begitu fanatik terhadap partai yang ditempatinya. Bernnan menyebutnya kelompok Holigan.
Terakhir, inilah yang harusnya diamalkan masyarakat untuk menjunjung demokrasi. Sehingga menghasilkan pemimpin yang minim penyelewengan. Kelompok ini disebut Bernnan dengan istilah Vulkan. Warga dalam kelompok ini berpikir secara rasional, cerdas dan mengambil keputusan secara ilmiah. Kebijakan yang dianggap tidak rasional akan secara tegas mempengaruhi pandangan mereka terhadap suatu partai. Sayangnya, kelompok terakhir ini jumlahnya sangat lah minim.
Bernan mempertegas adanya kekeliruan mengenai hak pilih menjadi jaminan kesetaraan. Dalam hal ini, partai politik yang harusnya sedini mungkin memberikan edukasi politik kepada masyarakat. Bukan hanya sekadar mengampanyekan calon yang diusungnya dalam pentas pemilu.
Selanjutnya, mahasiswa yang notabenenya memiliki pandangan politik yang jauh lebih luas ketimbang masyarakat awam, apalagi masyarakat desa harusnya ikut berperan. Hal ini dapat dilakukan dengan misalnya kegiatan pengabdian masyarakat untuk menyosialisasikan pentingnya selektif masyarakat dalam memilih calon pemimpin. Berupa visi misi yang rasional dan tak berkutat pada politik identitas—meski tak ada larangan tentang ini.
Pendidikan terhadap pemilih harusnya tak tersegmentasi pada beberapa dan terkhusus masyarakat kota saja, sedangkan desa tak mendapatkannya. Intinya harus ada solusi untuk meningkatkan kelompok vulkan seperti yang digambarkan Bernnan.
Golput memang belum tentu menjadi solusi untuk menciptakan pemimpin yang berjiwa negarawan (berkompeten berintegritas) bukan pula tidak mungkin menghasilkan politisi pemburu kekuasaan. Namun, setidaknya pemilih yang selektif (vulkan) menjadikan kita memiliki rasa tanggung jawab untuk mengawasi janji-janji yang sudah dicanangkan.
Kalaupun akhirnya golput–sebab tidak ada larangan golput–pastikan anda menjadi seorang vulkan yang tidak sepakat dengan visi-misi semua calon pemimpin. Lantas jangan jadinya anda menjadi lengang mengawasi calon yang sudah terpilih. Siapapun pilihan anda—termasuk tidak memilih—ketika pemimpin sudah terpilih tetap lah mengawasi berjalannya kebijakan pemerintahan.