Oleh: Debora Blandina Sinambela
Pemerintah keukeuh UU ini akan memberdayakan Ormas. Sejumlah Ormas menilai ini satu langkah mundur dalam demokrasi. Lantas pentingkah UU Ormas dibuat?
Kurang lebih dua bulan lalu, saya tahu Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakat (RUU Ormas) karena sedang hangat dibicarakan di media. Beberapa organisasi di kampus ikut bergerak menyatakan ‘Tolak RUU Ormas”. Karena tak begitu paham RUU ormas lantas saya tak begitu peduli. “Ormas? Apa yang salah kalau Ormas diatur? Bagus dong, biar ormas yang sweeping seenak jidat dan hobi anarkis bisa ditindak tegas. Apalagi ormas yang taunya cuma ngincar APBN/APBD, tanpa sumbangsih yang jelas,” begitu saya pikir.
Hingga 2 Juli 2013 lalu, saat sejumlah Ormas masih menolak RUU ini, wakil ketua DPR mengetok palu mengesahkan RUU Ormas jadi UU Ormas. Esok harinya, UU Ormas jadi perbincangan di media cetak maupun elektronik. Bahkan jadi headline. Isinya lebih banyak soal kekecewaan aktivis dan ormas. Juga media sosial tak ketinggalan berkicau. “DPR ini sebenarnya mewakili siapa sih?” kata sebuah komentar.
Kalau merujuk sejarah istilah organisasi masyarakat sipil muncul sejak zaman cicero (106-43SM). Lalu JJ Rosseau memahaminya sebagai jaminan atas hak milik, kehidupan dan kebebasan anggotanya. Sejalan dengan lahirnya masa pencerahan, maka sejumlah organisasi muncul mengkritisi kebijakan negara (state) masa itu.
Di indonesia, Paska kemerdekaan (1950-an) masyarakat sipil mengalami kemajuan. Ia telah ikut mendorong terjadinya pembentukan sosial lewat proses industrialisasi, urbanisasi dan pendidikan modern. Hasilnya, munculnya kesadaran di kalangan kaum elit pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi-organisasi sosial modern di awal abad ke-20. Pada saat itu, organisasi-organisasi sosial dan politik dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari warga masyarakat yang baru saja merdeka.
Lalu dari sejarah itu apa yang bisa kita lihat? Watchdog. Sejak awal, ormas menjadi bagian penting ber-demokrasi. Ormas hadir mengawasi setiap kebijakan yang dibuat negara. Dari kata ‘mendorong pembentukan sosial’, ada desakan yang mereka lalukan memengaruhi kebijakan negara dan agenda publik. Tapi apakah itu cukup jadi alasan kita merasa penting dengan Ormas? Lagian itukan dulu, beda konteks dengan sekarang.
Dalam demokrasi dibutuhkan saluran suara-suara publik untuk diartikulasikan sebagai keputusan-keputusan politik. Maka posisi partai politik adalah saluran politik itu. Justru sekarang, d itengah berkembangnya demokrasi Indonesia menjadi demokrasi transaksional dan pragmatis, rasanya sulit percaya pada pemerintah. Apa lagi partai politik. Kita tak bisa menampik bahwa krisis kepercayaan terhadap partai dan pemerintah jadi alasan lain pentingnya Ormas. Ormas jadi wadah yang menjembatani antara kepentingan publik dengan negara.
Coba kita lihat sejumlah kasus baik yang menyangkut hak asasi manusia, lingkungan, konflik agraria, pendidikan, agama, kesejahteraan sosial, dan lain sebagainya. Siapa yang lebih aktif dan nyata kerjanya? Bukankah sejumlah organisasi non-pemerintahan? Saat pemerintah masih berencana membantu dan berurusan dengan masalah administrasi, ormas sudah turun lebih dulu membuktikan kinerja. Saat pejabat negara kong kali kong dengan perusahaan kertas membabat hutan, ormas yang bergerak melawan. Saat perampasan tanah milik masyarakat, ormas juga yang ikut berjuang bersama masyarakat. Kita tak bisa menutup mata soal itu. Sampai disini saya mulai sepakat kalau ormas ini penting.
Lalu, lahirlah UU Ormas. Pasal demi pasal menambah jumlah pasal yang dibuat pemerintah. Secara garis besar Ormas diatur soal badan hukum, keuangan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan hingga sanksi pembubaran. Bahkan terkesan mengekang gerak Ormas.
Dalam UU ini yang dimaksud adalah ormas sangat luas dan umum. Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan. Kewajiban semua ormas yang terdaftar dan tidak terdaftar, mengikuti proses penyaringan melalui kementerian terkait untuk mendapatkan izin dari pemerintah. Lantas apakah ibu-ibu arisan harus ikut mendaftar? Toh mereka termasuk dalam ormas seperti yang dimaksud dalam UU Ormas.
Dan yang lebih aneh lagi, organisasi yang berafiliasi dengan partai politik tak diatur dalam UU ini. Padahal sebenarnya merekalah yang perlu diawasi. Organisasi underbow partai biasanya yang menyebarkan paham partainya dan tak jarang berlaku seperti preman.
Kemudian di pasal 61 berisi banyak sekali larangan. Intinya segala tindakan yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah dilarang. Salah satu butir menarik soal melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalaulah ada beberapa organisasi yang tegas mengkritisi pemerintah, mengajak masyarakat bergerak melawan kesewenang-wenangan pemerintah, organisasi ini bisa dihabisi karena bisa dijerat pasal ini.
Kemudian ormas dilarang “melakukan penyalahgunaan, penistaan, dan/atau penodaan terhadap agama yang diakui di Indonesia”. Pasal ini akan sangat subjektif menilai adanya “tindakan penodaan agama” terutama di tingkat masyarakat. Dalam implementasinya dikhawatirkan akan membahayakan kehidupan kebebasan untuk menganut dan menerima suatu agama atau kepercayaanya, karena yang dapat melakukan pengawasan adalah masyarakat dan pemerintah.
Larangan-larangan ini menjadi sangat tidak jelas dan subyektif. Dalam implementasinya ke depan, akan menjadi alasan menjatuhkan sanksi bagi ormas yang dianggap membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI. Tentunya ini akan terkait erat dengan pemerintahan yang berkuasa di masa yang akan datang. Ada pasal-pasal yang membawa ancaman organisasi dibekukan bila dinilai, secara sembarangan, melanggar UU Ormas.
Perjuangan bangsa ini sampai pada pintu reformasi tak mudah. Banyak pengorbanan baik harta dan nyawa. Salah satu pencapaian akan kita kenang dan banggakan dari negara ini lepasnya dari sistem otoriter ke demokrasi. Jangan sampai semua pencapaian ini sia-sia dan kembali ke rezim otoriter.
Salah satu hal yang dijamin dalam sistem demokrasi adalah adanya kebebasan berkumpul, berserikat, berpendapat dan beragama di Indonesia. Konstitusi negara ini bahkan menjaminnya dalam pasal 28 UUD 1945.
Kita juga tak bisa menutup mata tentang ormas-ormas tak sehat. Ormas yang mengandalkan kekerasan fisik dan berlaku semena-mena. Ormas semacam ini yang jadi pemecah perdamaian dan persatuan yang terjalin harmonis dalam ke-bhinekaan. Selama ini pemerintah seolah tak tegas dan tak berani menindak mereka yang sudah mengarah pada perbuatan kriminal. Yang di butuhkan dari pemerintah adalah sikap tegas. Bukan menciptakan UU Ormas yang menurut saya, tidak penting.
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU 2010. Aktif sebagai Pemimpin Umum di Pers Mahasiswa SUARA USU.