Jika Anda seorang wanita, apakah anda mengetahui bahwa pada saat ini gerakan feminisme sudah salah langkah memasuki ranah terorisme?
Tulisan kali ini mengambil contoh aksi terorisme yang dilakukan oleh pelaku wanita bernama Zakiah Aini di Kantor Pusat Kepolisian Republik Indonesia pada Rabu, 31 Maret 2021. Singkat cerita Zakiah ditembak mati di tempat oleh kepolisian. Menurut Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo, pelaku tersebut melaksanakan aksinya seorang diri. Ia juga diduga bersimpati kepada ISIS dibuktikan dengan unggahan di akun Instagram-nya yang menunjukkan bendera hitam khas propaganda Negara Islam di Suriah, 21 jam sebelum serangan dilakukan
Dari konteks di atas dapat kita ambil dua fakta yakni Zakiah adalah seorang wanita dan merupakan relawan ISIS. Lantas secara psikologis, perlu ditinjau kembali apa alasan Zakiah, yang merupakan seorang wanita, memutuskan menjadi relawan ISIS. Juga, apakah ada potensi terjadinya peristiwa terorisme kembali dengan wanita sebagai pelakunya?
Pertama, menurut hasil sensus penduduk 2020, Indonesia memiliki 270,20 juta jumlah masyarakat yang terdapat 102 penduduk berjenis kelamin laki-laki di setiap 100 penduduk berjenis kelamin perempuan. Dapat keseimpulan bahwa jumlah laki laki di Indonesia sangat mendominasi saat ini
Rasio jenis kelamin yang timpang bisa menyulut munculnya masyarakat yang didominasi para lajang yang didorong oleh persaingan agresif untuk mencari pasangan. Kemudian para pria yang saat ini mendominasi akan bersaing secara agresif—mungkin—dengan menekan kemampuan para wanita, agar tidak diketahui oleh pria lain yang merupakan saingan.
Yang kedua, paradigma yang mendarah daging di masyarakat Indonesia juga bersifat patrilineal. Paradigma ini telah muncul lama bahkan sebelum Indonesia merdeka. Dibuktikan dari buku Islam Sontoloyo (1940) yang ditulis Soekarno, di mana sedikit menceritakan bahwa presiden pertama Indonesia itu pernah meninggalkan dari rapat umum Muhammadiyah sebagai bentuk protes kepada tabir. Soekarno berkata “Benar! Saya menganggap tabir itu sebagai suatu simbol, simbolnya perbudakan perempuan.” Menurut Soekarno, tabir itu sama saja dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (burgerlijk wetboek) karena hak hak kaum perempuan banyak yang diikat dan digunting. Buku ini menunjukkan bagaimana kerasnya paradigma patrilineal sudah tertanam lama di pikiran masyarakat Indonesia.
Hal inilah yang memicu adanya pergerakan dari para wanita yang menggencarkan gerakan feminisme di kalangan masyarakat. Tetapi semakin hari sebagian dari wanita tersebut menjadi salah arah dan menjorok kearah Feminazi: sebagian dari wanita tersebut tidak lagi menuntut persamaan hak atau kesetaraan gender tetapi justru ingin melebihi laki-laki (ketimpangan kesetaraan).
Sebelum ada kontra diantara penulis dan pembaca, perlu dipahami penulis adalah seorang pria yang mendukung gerakan feminisme tetapi nyatanya penulis juga tidak dapat mendukung penuh gerakan tersebut karena penulis seorang pria dan juga penikmat paradigma patrilineal tersebut.
Rizka Nurul dari Institute for International Peace Building mengatakan, “Di Indonesia, perempuan tidak diberi tempat yang memadai untuk tunjukkan eksistensinya, sehingga ISIS berikan kesempatan itu.” Perempuan kerap kali dinomorduakan di Indonesia. Wanita yang jadi korban kejahatan siber menurut Komnas Perempuan juga mencapai angka yang cukup fantastis: pada tahun 2018 terdapat 97 kasus dan 281 kasus pada tahun 2019.
Melihat hal ini, sepertinya ISIS memanfaatkan kondisi psikologis dari wanita Indonesia dengan memberikan tempat untuk menunjukkan eksistensinya. Mulai dari agitasi dan propaganda dengan prinsip jihad disuntiikan ke pemikiran para wanita yang tertindas. Seakan ISIS memberikan solusi, sehingga wanita Indonesia tanpa ragu-ragu menyetujui ajakan tersebut.
Maka nyatalah bahwa terorisme memiliki relasi yang cukup kuat dengan pemikiran feminazi. Dan tampak nyatalah bahaya relasi yang erat ini. Hal ini tak dapat dibiarkan berlangsung terus. Bukan hanya pemerintah melainkan masyarakat juga perlu bekerjasama mengatasi kondisi yang dapat dikatakan juga sudah di titik darurat.
Dikatakan telah di titik darurat karena jika tidak segera diatasi, para wanita di Indonesia satu per satu akan menganggap bahwa jalan terorisme yang ditawarkan ISIS adalah jalan yang benar dan kemudian menempatkan aksi terror sebagai cita-cita luhur pergerakan kewanitaan. Indonesia tentu saja akan kehilangan unsur penting yakni para pemuda wanita yang kemudian akan meneruskan perjalanan kebangsaan Indonesia.
Pemerintah dapat lebih menggalakkan program-program yang mendukung dan melindungi para perempuan Indonesia. ISIS mampu memberikan solusi walau semu. Dengan begitu penulis yakin Indonesia juga bisa memberi solusi nyata. Penggalakan program-program yang memberikan tempat pada wanita akan mengurangi angka tindak kriminal terorisme di Indonesia. Pemerintah harus menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak serta perlindungan terhadap korban tindak kekerasan seksual.
Begitu juga pada masyarakat, yang perlu meredusi pemikiran-pemikiran patrilinealnya dan mulai mengakui eksistensi wanita di bumi Indonesia ini dengan cara memberikan apa yang seharusnya menjadi hak seorang perempuan dan tidak mengikat perempuan dalam sebuah peraturan yang kemudian memperbudaknya.