BOPM Wacana

Sisa Secangkir Teh

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi. | Tio Hasianna Vincentia Hutahaean
Ilustrasi. | Tio Hasianna Vincentia Hutahaean

Oleh: Rosa Ayulia

Di ujung gang sempit yang tersembunyi di sudut kota, berdiri sebuah rumah kayu tua yang mulai termakan usia. Dindingnya mengelupas, atapnya bocor di sana-sini, dan deritnya seperti napas panjang dari masa silam. Di beranda rumah itulah, setiap pagi, seorang lelaki tua bernama Pak Hadi duduk di kursi kayu reyot, menyesap teh hangat dari cangkir kecil yang retak di tepiannya.

Pak Hadi bagaikan bayangan yang melekat di gang itu. Orang-orang melintasinya dengan cepat; pedagang sayur, ibu-ibu yang buru-buru ke pasar, anak-anak sekolah berlalu-lalang tanpa memperhatikan. Ia dianggap hanyalah penghuni tua yang tak penting, seorang lelaki yang hidup dari kenangan dan jam dinding rusak.

Banyak yang mengira ia sedang kesepian, atau bahkan sudah tak waras. Tapi mereka tak tahu satu hal. Setiap pagi, Pak Hadi menyisihkan setengah dari tehnya, menuangnya dalam cangkir kedua yang ia letakkan di atas bangku sebelahnya.

Itu bukan karena dia hemat. Juga bukan kebiasaan aneh orang tua. Itu karena ia sedang menunggu seseorang, yang sejak kedatangannya mulai memberikan warna pada hidupnya yang kelam.

Namanya Dina. Bocah perempuan kelas tiga sekolah dasar yang tiap pagi datang diam-diam, mengendap di belakang pagar kayu, membawa satu atau dua buku bacaan dari perpustakaan sekolah. Ibunya bekerja di warung nasi dekat pasar, sementara ayahnya entah pergi ke mana dan sudah dua tahun tak pulang.

Pertemuan mereka dimulai dengan sunyi. Suatu pagi yang gerimis, Dina berdiri ragu di depan pagar rumah Pak Hadi. Matanya memperhatikan teh yang mengepul di tangan lelaki tua itu.

“Saya… boleh baca di sini, Pak?” tanyanya pelan, hampir berbisik.

Pak Hadi mengangguk pelan, lalu berkata dengan suara serak, “Boleh. Tapi harus minum teh dulu, biar hangat.” Ia menyodorkan cangkir kedua yang selama ini hanya jadi simbol penantian. Hari itu, akhirnya, cangkir itu menemukan tujuannya.

Sejak hari itu, teh yang sama diseduh setiap pagi, dua cangkir di atas meja kecil yang goyah. Bangku kayu yang sama mereka duduki, bersisian dalam diam yang perlahan menjadi akrab. Dina membaca lantang, kadang dengan intonasi keliru. Pak Hadi akan membetulkan, sabar, tertawa pelan saat Dina salah menyebut nama tokoh atau mengarang akhir cerita sendiri.

Mereka berbicara tentang banyak hal. Tentang dinosaurus yang bisa bicara, tentang pahlawan perempuan dari Aceh, sampai soal bintang-bintang dan mimpi jadi astronot. Pak Hadi, yang dulunya seorang guru SD, merasa hidupnya seperti menemukan kembali ruang kelasnya yang hilang.

Ia mengajarkan Dina menulis dengan huruf tegak bersambung, mengajarkannya menulis puisi, bahkan cara menyampul buku agar rapi.

“Pak Hadi, kenapa Bapak selalu nyisain teh dua cangkir?” tanya Dina suatu pagi.

“Karena kalau kita menyiapkan sesuatu untuk orang lain, itu artinya kita masih punya harapan,” jawab Pak Hadi sambil tersenyum, menatap langit yang mulai memerah di ufuk timur.

Rumah tua itu tak lagi sunyi. Suara tawa Dina memantul dari dinding kayu. Membawa napas baru ke dalam rumah yang dulu hanya berisi bayang-bayang. Meski mereka berasal dari dunia yang jauh berbeda, Pak Hadi dan Dina berbagi sesuatu yang serupa: kesepian yang mereka rawat dengan kebersamaan kecil setiap pagi.

Namun, seperti pagi yang pelan-pelan berubah siang hari, kebersamaan itu juga tak bertahan selamanya.

Suatu hari, Dina tak datang. Pak Hadi menunggu. Teh tetap ia seduh dua cangkir. Bangku kayu tetap kosong di sebelahnya. Ia menoleh beberapa kali ke arah pagar, berharap langkah kecil itu akan muncul di ujung gang. Tapi tak ada siapa-siapa.

Hari berikutnya, ia tetap menyeduh dua cangkir teh. Hatinya gundah. Namun, ia memilih menunggu meski hingga berminggu-minggu lamanya Dina tetap tak datang.

Pak Hadi mulai mencarinya. Ia berjalan melewati gang, melewati pasar, menanyai pedagang, menoleh ke warung tempat ibu Dina biasa bekerja. Tapi warung itu sudah tutup. Sebuah papan bertuliskan “Disewakan” tergantung di depan pintu.

Seorang tetangga yang sedang menyapu halaman menyahut, “Mereka pindah ke kampung, Pak. Katanya ibunya nggak kuat bayar kontrakan. Dina titip salam. Katanya makasih udah kasih tempat baca.”

Pak Hadi mengangguk, meski dadanya terasa sesak. Hari itu, ia pulang dengan langkah lambat. Rumah tua itu menyambutnya seperti biasa, hening, dingin, sedikit berdebu.

Tapi tetap, keesokan paginya, Pak Hadi menyeduh dua cangkir teh. Satu untuk dirinya, satu lagi ia letakkan di bangku kosong di sebelahnya. Seolah Dina masih ada di sana, membaca buku sambil menyeruput teh perlahan.

Waktu berlalu, musim berganti. Tapi Pak Hadi tetap melanjutkan rutinitasnya. Orang-orang yang lewat, tak lagi memperhatikan teh kedua yang mengepul di sisi bangku kosong itu. Tapi bagi Pak Hadi, cangkir itu bukan sekadar benda. Ia adalah bentuk kecil dari cinta, dari harapan, dan dari keyakinan bahwa perjumpaan singkat bisa meninggalkan jejak abadi.

Karena menjadi manusia, pikir Pak Hadi, bukan hanya soal memberi saat ada yang menerima. Tapi tetap tentang membuka ruang kecil untuk harapan. Bahkan ketika harapan itu tinggal kenangan.

Dan selama masih ada secangkir teh yang mengepul, bangku kosong itu tak pernah benar-benar sepi. Di dunia yang terburu-buru, ada yang memilih diam, menunggu di pagi yang sepi, dengan secangkir teh dan harapan kecil yang belum mati.

Komentar Facebook Anda

Rosa Ayulia

Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia FIB USU Stambuk 2023. Saat ini Rosa menjabat sebagai Staf Pustaka dan Riset BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus