
Oleh: Muhammad Rifqy Ramadhan Lubis
“Proyek penulisan sejarah yang kita alami hari ini bukanlah hal yang baru. Jadi, apakah itu ditunggangi politik? Ya mungkin bisa jadi, karena kepentingan-kepentingan di setiap rezim itu akan selalu ada.”
Rencana pemerintah untuk menerbitkan penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI), awalnya dicanangkan rampung pada peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke-80 tahun. Kemudian diundur menjadi 10 November yang bertepatan dengan hari pahlawan.
Rencana penulisan ulang telah menuai sorotan masyarakat, lantaran pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang meragukan adanya pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998.
Melalui wawancara kali ini, BOPM Wacana bersama dosen Ilmu Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU), Junaidi Nasution, mencoba menggali lebih dalam persoalan tersebut dari pandangan akademik.
Pemerintah tengah menggaungkan revisi terhadap Sejarah Nasional Indonesia, bagaimana pandangan anda terhadap ini?
Kalau saya memandang, murni proyek sih sebenarnya, apalagi proyek dari sebuah lembaga kementerian, yang dilihat arah luarannya kemana, ada politisi, ada akademisi yang mengisi. Kalau saya memandang dalam hal ini sejauh mana karya yang dihasilkan oleh proyek ini. Seperti yang saya katakan, sebuah hipotesis bisa dibantah ketika ada penelitian terbaru, ada data-data terbaru.
Jadi, sejauh mana karya yang dihasilkan oleh proyek pemerintah ini, apa yang dihadirkan dalam penelitian terbaru, dan apa yang membedakannya dengan penelitian terdahulunya? Kalau memang nggak ada, ya berarti pandangan kita murni proyek tadi, bagi-bagi uang gitu kan, bagi-bagi kue gitu istilah dalam politisnya.
Apa risiko yang muncul jika sejarah direvisi tanpa proses akademik ketat dan verifikasi yang memadai?
Kita tidak menutup kemungkinan di rezim berikutnya akan ada lagi proyek serupa, yang juga akan menghilangkan ini. Jadi sejarah itu terus melihat perubahan itu. Makanya dalam konteks sejarah, selalu mencantumkan tahun sekian sampai tahun sekian.
Penulisan sejarah ini sudah ada dari zaman Majapahit, misalnya ada Negarakertagama, karya Empu Prapanca, ada Kakawin Sutasoma karya Empu Tantular. Kemudian pada masa kolonial ada Geschiedenis van den Indischen yang terdiri dari lima jilid. Kemudian setelah kemerdekaan kita mencoba menutup pandangan Belanda-sentris dengan Indonesia-sentris, tentang cara pandang orang Indonesia menulis sejarahnya.
Semisalnya ini kita katakan selesai, ya justru tidak pernah selesai. Ilmu itu tidak pernah selesai. Mungkin selesai disiarkan misalnya, terus semisalnya ada lagi revisi-revisi yang lain? Saya sebagai seorang akademisi lebih menyoroti tentang konten apa yang mereka hadirkan dalam versi terbaru ini.
Adakah bagian dari sejarah Indonesia yang menurut Anda memang perlu ditinjau ulang atau diluruskan?
Saya akan menyoroti penghilangan sejarah perempuan dalam narasi sejarah. Di dalam SNI yang dulu, di tahun 1970 itu memang tidak ada. Karena memang pada masa itu, masih berbicara bagaimana membolak-balikkan politik kolonial Belanda menjadi cara pandang Indonesia. Serta kalau kita melihat narasi-narasi sejarah itu kan, dari dulu narasi perang, narasi politik, dan itu semua lakonnya adalah pria.
Nah, ini adalah suatu kesempatan yang harusnya juga ada di dalam draf yang baru. Bagaimana mereka melihat sejarah ilmu pengetahuan, bagaimana melihat sejarah kesehatan, bagaimana melihat sejarah perempuan. Itu yang harusnya ada di dalam bab-bab revisi sejarah nasional ini.
Bagaimana tanggapan anda tentang pernyataan Menteri Kebudayaan yang menyangkal adanya tragedi pemerkosaan massal 1998?
Jika seorang Menteri Kebudayaan mengatakan kejadian tersebut, itu tidak berdampak dalam dunia politis. Mungkin itu sesuatu hal yang wajar bagi mereka, tetapi dalam kita sebagai seorang akademik, apalagi kita sejarawan, itu tugas kita untuk mencari data dan fakta.
Nah, apalagi kasus 1998 ini saya rasa korban masih banyak yang bisa ditelusuri, dan informan sangat berlimpah karena masih hidup semua. Bahkan yang kasus-kasus jauh sebelumnya, misalnya di tahun 1965, masih juga banyak diteliti oleh orang. Jadi, semisalnya orang-orang di pemerintahan mencoba menutupi fakta-fakta tersebut, kita di dunia akademik tentu memiliki metode-metode sendiri dalam mendapatkan data-data tersebut.
Menurut Anda, sejauh mana masyarakat umum mengetahui atau terlibat dalam proses revisi ini?
Seberapa jauh sih mereka bisa menutupi, karena fakta dan data itu akan ditemukan sendiri oleh para akademisi. Ilmu itu sifatnya tidak stagnan, kebenaran itu akan terus muncul dan puzzle-puzzle itu akan ditemukan para akademisi. Tidak sekarang, mungkin nanti 10 tahun ke depan dari peneliti-peneliti Indonesia, ataupun peneliti orang luar misalnya, apalagi korban-korbannya yang suatu saat akan angkat bicara.
Apakah Anda melihat sivitas akademik USU yang ikut terlibat dalam proses penulisan Revisi Sejarah Nasional Indonesia ini?
Sejauh yang saya tahu, belum ada nama jelas dari USU yang resmi tercantum dalam draf pemerintah. Memang ada kabar-kabar burung, tapi tidak bisa dipastikan. Bahkan kalaupun ada dosen dari Sumatera Utara yang terlibat, biasanya mereka tidak menggunakan nama kampus. Melainkan memakai institusi lain seperti Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI). Jadi bisa saja ada keterlibatan, tapi karena tidak membawa nama USU secara langsung, publik tidak mengetahuinya.
Bagaimana seharusnya sejarawan akademik seperti Anda menyikapi proses penulisan ulang ini agar tidak hanya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan?
Jadi kalau kita menulis sejarah itu pun ada sudut pandangnya, makanya saya selalu mengatakan siapa penulisnya. Background dari penulis itu penting, dari situ kita sudah bisa memetakan apakah tingkat pengetahuan metodologinya dalam pemahaman sejarah itu sudah mumpuni dan lain sebagainya. Karena dunia akademik itu berbicara metode dan metodologi untuk menghasilkan satu karya sejarah.
Kalau kita misalnya duduk sama orang tua pun, mereka bercerita tentang sejarah. Tetapi cerita mereka itu, tidak dilandaskan metodologi. Dia hanya sebatas sebagai cerita saja. Bahkan cerita itu jika diproduksi akan menjadi sebuah tradisi.
Apa harapan Anda kepada pemerintah dan masyarakat dalam menyikapi revisi sejarah nasional yang akan rampung pada hari pahlawan nanti?
Harapan saya sih, khususnya mahasiswa sejarah ketika kalian sudah menjadi pejabat publik bisa menghindari kesalahan-kesalahan yang sudah pernah dibuat sebelumnya. Sejatinya kita sebagai sejarawan melihat apa yang terjadi sekarang ini adalah sesuatu yang juga pernah terjadi di masa lalu, dan bagaimana produk di masa lalu itu dibentuk. Apakah ada perbedaan dengan produk yang dibentuk pada hari ini? Kalau tetap sama berarti kita tidak mengalami kemajuan dan bersifat stagnan.