BOPM Wacana

Seandainya Nia Ramadhani yang Jadi Presiden Indonesia

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Surya Dua Artha Simanjuntak

 

Pak Jokowi atau Mbak Nia Ramadhani? Rasanya aku tahu mana yang lebih baik memimpin Indonesia saat ini.

Indonesia sedang tak baik-baik saja. Lihat saja statistik angka positif dan kematian akibat COVID-19. Lengkungan yang menanjak tajam belakangan ini sungguh tak enak dipandang. 

Tentu, statistik itu bukan hanya sekadar angka. Di dalamnya ada banyak rasa kecewa, putus asa, bahkan air mata. Kini, hampir 3 juta rakyat Indonesia yang positif COVID-19 dan hampir 80 ribu meninggal karenanya. Angka itu mungkin mewakili seorang buruh yang tak sanggup lagi menafkahi keluarganya karena tak bisa bekerja akibat positif COVID-19. Atau, barang kali mewakili kesedihan seorang anak yang ditinggal orang tuanya karena direnggut COVID-19.

Seharusnya, banyak dari mereka yang tak perlu merasakan kesedihan itu, andai saja para pemimpin kita sejak awal lebih bijak menanggapi pandemi ini. Namun, yang terjadi lebih sering sebaliknya: mulai dari meremehkan virus baru ini hingga menerapkan kebijakan pembatasan wilayah yang setengah hati.

Maka tak heran banyak masyarakat yang kesal ketika angka positif dan kematian akibat COVID-19 membludak naik belakangan ini. Apalagi banyak yang harus meninggal karena sistem kesehatan kita yang tak siap menerima lonjakan kenaikan angka itu. Kala banyak negara sudah masuk masa pemulihan pascaperang, kita baru masuk masa perang yang sebenarnya.

Namun, yang buat rakyat makin kesal, para pemimpin kita seakan merasa tak bersalah. Sampai tulisan ini terbit, belum ada kata maaf yang keluar dari pidato kepresidenan Pak Jokowi. Kenapa? Apakah Pak Presiden merasa korban COVID-19 yang terus meningkat belakangan ini bukan salahnya? Atau beliau masih merasa pandemi di Indonesia masih terkendali? Atau bahkan tak peduli? Entahlah, tak ada yang tahu pasti, jawabannya sebatas misteri. Tirto bahkan menerbitkan tulisan, khusus untuk menelusuri jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi.

Padahal menurut Psikoterapis Beverly Engel, permintaan maaf sangat penting karena itu menunjukkan bahwa orang yang bersalah peduli pada perasaan orang yang disakitinya. Bahkan—yang lebih penting, permintaan maaf merupakan tanda bahwa orang yang berbuat salah mampu bertanggung jawab atas tindakannya.

Dalam level nasional, menurut Ahli Linguistik Southern Oregon University Edwin Battistella, permintaan maaf oleh negara—yang diwakili pemimpin pemerintahan—adalah langkah kongkrit awal dalam usaha melakukan perubah ke arah yang lebih baik. Dalam hal ini, pemerintah sudah mengakui kesalahan yang ia buat kepada rakyatnya atau orang banyak. Tindakan sederhana ini bahkan bisa memulihkan kepercayaan antara rakyat dengan pemerintahnya.

Maka tak heran dalam kasus kegagalan penanganan COVID-19, banyak pemimpin negara yang meminta maaf kepada rakyatnya. Kanselir Jerman Angela Merkel dan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga, contohnya.

Padahal—kasarnya, jika dibandingkan dengan dua negara itu, pemerintah Indonesia jauh lebih buruk menangani pandemi ini. Namun, kenapa Pak Presiden belum mau mengakui kegagalannya? Sekali lagi, jawabannya sebatas misteri.

Setidaknya, seorang bawahan Pak Presiden sudah coba minta maaf: Luhut Binsar Pandjaitan. “Sebagai koordinator PPKM Jawa dan Bali, dari lubuk hati yang paling dalam saya ingin minta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia jika dalam penanganan PPKM Jawa Bali ini masih belum optimal,” ucap beliau.

Sayangnya, permintaan maaf Pak Luhut ini seakan tak tulus, bahkan terkesan narsistik. Dalam permintaan maaf itu, ia menggunakan kata “jika”.

Menurut Psikolog Kilinis Dan Neuharth, itu merupakan jenis permintaan maaf kondisional (the conditional apology). Permintaan maaf jenis ini bukanlah permintaan maaf yang tulus. Permintaan maaf yang diikuti kata “jika” menyiratkan bahwa sesuatu mungkin tersakiti atau dirugikan. Artinya, orang yang meminta maaf belum sepenuhnya merasa berbuat salah: mungkin ia memang salah, mungkin juga tidak. Biasanya, para narsistik lah yang sering menggunakan permintaan maaf jenis itu.

Seharusnya—menurut Neuharth, permintaan maaf yang tulus itu tidak meminimalisir kesalahan, menunjukkan rasa empati, penyesalan, dan berkomitmen tak melakukan hal yang sama. Kurang lebih, seperti yang dilakukan Nia Ramadhani belum lama ini, saat ia meminta maaf karena telah mengonsumsi sabu.

“Mohon izinkan saya dengan segala kerendahan hati untuk mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang terkait. Khususnya kepada keluarga besar saya, sahabat, teman-teman, orang-orang yang mengasihi saya, rekan kerja dan seluruh pihak yang sudah menaruh kepercayaannya kepada saya,” ucap Mbak Nia.

“Saya, Nia Ramadhani Bakrie, mengakui bahwa yang saya lakukan tidak menjadi sebuah contoh yang terpuji. Sebagaimana saya sadar seharusnya saya memberikan contoh yang baik kepada anak-anak saya dan orang-orang di sekitar saya,” lanjutnya.

Jika berdasarkan variabel Neuharth, sepertinya Mbak Nia sudah meminta maaf secara tulus: tak meminimalisir kesalahan, menunjukkan empati dan penyesalan kepada orang yang mempercayainya, dan berkomitmen untuk memberi contoh yang baik kepada anak dan orang sekitarnya.

Aku jadi membayangkan: seandai Mbak Nia yang jadi pemimpin negara ini, besar kemungkinan ia sudah meminta maaf kepada rakyatnya. Ia sadar ia telah mengecewakan rakyatnya: ia keliru menerapkan kebijakan sehingga kasus COVID-19 terus naik dan banyak nyawa terenggut sia-sia karenanya. Ia akhirnya berkomitmen tak mengulangi kesalahan yang sama dan melakukan perbaikan kebijakan secara serius.

Ya, terlepas dari kesalahannya yang mengonsumsi sabu dan tak bisa mengupas salak, Mbak Nia sudah memberi contoh yang jauh lebih baik daripada para pemimpin negara ini: ia mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf secara tulus.

Bagaimanapun, permintaan maaf menjadi awalan yang efektif untuk mengatasi suatu masalah daripada tidak minta maaf sama sekali. Apalagi permintaan maaf itu datang dari orang yang memiliki kuasa.

Bagaimana dengan Presiden Jokowi? Apakah masih tak merasa bersalah? Jika meminta maaf saja tak mau, bagaimana rakyat mau berempati kepada pemerintah? Toh pemerintah saja tak mau menunjukkan empati kepada rakyatnya yang gagal mereka lindungi. Bagaimana rakyat bisa yakin pemerintah bakal berkomitmen ke arah yang lebih baik? Toh—sebagai awalan, meminta maaf saja tak mau. Tak heran jika kepercayaan rakyat kepada pemerintah dalam hal penanganan pandemi ini terus menurun.

Jadi, sepertinya Pak Jokowi perlu belajar banyak dari Mbak Nia Ramadhani.

Komentar Facebook Anda

Surya Dua Artha Simanjuntak

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus