
Tepat 26 tahun lalu, Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) lahir dari denyut krisis nasional. Tahun 1999 menjadi momen krusial: pasca runtuhnya Orde Baru, gelombang konsolidasi gerakan mahasiswa tak terbendung. Salah satu kekuatan yang lahir dari riak perubahan itu adalah LMID, yang merupakan turunan dari Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).
Namun, sejarah bukan hanya tentang kelahiran. Ia juga tentang perubahan. Pada tahun 2022, di tengah krisis kapitalisme global dan stagnasi demokrasi elektoral, sebagian kekuatan dalam LMND memutuskan untuk membentuk barisan baru: LMID. Organisasi ini menegaskan posisi politiknya bahwa mahasiswa bukan sekadar penonton sejarah, tapi bagian dari blok historis rakyat yang menolak tunduk pada kompromi kekuasaan.
Membentuk Demokrasi dari Bawah
Dalam doktrinnya, LMID meyakini pentingnya peran mahasiswa sebagai intelektual organik, bukan elit akademik. Sejak awal, organisasi ini menempatkan dirinya di luar menara gading. Demokrasi kerakyatan adalah demokrasi yang hidup dari bawah, dari tenda buruh mogok, dari posko tani, dari ruang kelas yang dicekik UKT, dari dapur rakyat yang berbagi nasi dan perlawanan.
Pandangan LMID sejalan dengan pemikiran Antonio Gramsci bahwa pengetahuan tidak boleh terpisah dari realitas rakyat. Pendidikan bukan hanya soal kurikulum, tapi tentang kesadaran kolektif. Karena itu, saat pandemi merebak, LMID justru mendirikan dapur rakyat, membangun ruang belajar gratis, dan menjadi perisai warga dari kebijakan negara yang timpang.
Demokrasi yang diperjuangkan LMID, bukanlah prosedur lima tahunan. Mereka mengusung konsep demokrasi kerakyatan sebagai bentuk partisipasi politik yang lahir dari kebutuhan dan kesadaran rakyat, bukan dari janji politik elit.
Dalam banyak kasus, demokrasi prosedural justru dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan oligarki. LMID menyebut bahwa fenomena politik hari ini menunjukkan penyusutan ruang demokrasi, di mana suara rakyat dikomodifikasi dan gerakan mahasiswa dicurigai.
Zaman Kecemasan, Bukan Keemasan
Pemerintahan Prabowo-Gibran mengklaim era baru sebagai “zaman keemasan”. Namun LMID justru menyebutnya sebagai “zaman kecemasan”. Dalam catatan mereka, berbagai kebijakan populis hanya menjadi etalase kosong yang menutupi kegagalan struktural negara.
Contohnya, program Makan Bergizi Gratis (MBG) memang menyita perhatian. Tapi di sisi lain, alokasi anggaran pendidikan justru mengalami pemotongan hingga 39%, ironis ketika pemerintah menyebut telah menggelontorkan Rp724 triliun untuk pendidikan.
Gibran pun tidak lebih dari representasi dinasti politik yang menjauhkan rakyat dari demokrasi sejati. Janjinya membuka 19 juta lapangan kerja hanyalah bualan. ribuan pelamar kerja memadati lowongan terbatas di Bekasi, sementara pengangguran nasional mencapai 7,28 juta orang. Ketimpangan struktural ini bukan kesalahan teknis, melainkan buah dari sistem ekonomi-politik yang anti-rakyat.
LMID menilai ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Pendidikan tak lagi dianggap sebagai hak dasar rakyat, melainkan proyek kekuasaan. Lebih parah, kampus justru dibentuk menyerupai korporasi: mahal, elitis, dan minim keberpihakan pada mahasiswa miskin.
Dalam situasi seperti ini, LMID tidak sekadar mengkritik. Mereka juga mengambil langkah konkret melalui uji materi Pasal 11 ayat 2 UU Sisdiknas di Mahkamah Konstitusi. Pasal ini dianggap mengendurkan tanggung jawab negara dalam menjamin akses dan pembiayaan pendidikan rakyat.
Selain itu, LMID turut menyibukkan diri dengan kerja-kerja kerakyatan, mendampingi warga kampung kota yang terancam penggusuran di Margajaya, Kota Bekasi, maupun di Pancoran Buntu II, Jakarta Selatan. Kami hadir bersama mereka yang terpinggirkan oleh proyek pembangunan palsu, sembari tetap memperjuangkan keadilan melalui jalur konstitusional.
Gerakan Mahasiswa dan Dinamika Internal
Gerakan mahasiswa saat ini tidak lepas dari persoalan internal. LMID mengkritik keras situasi di tubuh BEM SI Kerakyatan, di mana Musyawarah Nasional (Munas) terakhir disusupi agenda oligarki. Terdorong keluarnya kampus besar seperti UGM dan UNDIP, memperlihatkan betapa rentannya gerakan ketika dijauhkan dari akar kerakyatan.
LMID sendiri memilih untuk tidak larut dalam kegaduhan simbolik. Mereka menekankan pentingnya konsistensi ideologis dan strategi jangka panjang bukan hanya reaksi spontan terhadap isu-isu viral.
Kini, LMID telah berdiri tegak selama 26 tahun. Dalam persiapan menuju peringatan tersebut, bukan berarti tak ada dijumpai kendala. Dalam catatannya, Ketua Umum LMID, Tegar Afriansyah, sempat mengalami kejadian pribadi yang mengguncang.
Di hari ulang tahun LMID ke-26, ia menjadi korban penipuan digital: seluruh saldo rekeningnya dikuras habis. Namun baginya, yang lebih penting dari itu adalah apa yang tidak pernah hilang, yaitu dinamika sejarah dalam terbentuknya LMID.
“Selama rakyat masih ditindas, selama pendidikan masih dikomersialisasi, selama tanah masih dirampas, selama buruh masih tanpa perlindungan, maka LMID harus tetap hidup,” tegasnya.
“Dan saya akan terus memilih berada di barisan itu,” tandas Tegar.
***
Tulisan ini merupakan publikasi atas nama Tegar Afriansyah selaku Ketua Umum Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID), dalam peringatan terbentuknya LMID yang ke-26 tahun.



