Oleh: Widiya Hastuti
Mereka manusia dan hidup. Tapi tidak ada tempat nyaman bagi mereka untuk menerima haknya sebagai manusia di bumi Pertiwi.
Waktu itu saya masih SMP, saat bertemu dengan seorang ibu yang membawa buntelan kain di dalam bus. Ia bermonolog tentang anak dan suaminya yang diculik orang, tentang mati lampu, dan rumahnya yang terbakar. Dia berbicara dengan sangat antusias. Tapi tidak ada yang mendengarkan.
Kelak saya tau dia gila karena konflik Aceh yang menewaskan keluarganya. Kami biasa menyebutnya Mak Yus. Kebiasaanya menaiki bus antar kota dari satu terminal hingga kembali lagi di terminal awal. Saat saya kembali ke kampung halaman saya pada semester lalu, saya melihat dia hamil. Tetangga saya berkata dia diperkosa.
Ada pula Nur Setet, gadis gila yang tewas saat rumahnya terbakar akibat dipasung. Betapa miris saya mendengarnya. Terlebih tidak ada pihak yang ingin mengusut kasus mereka sebagai tindakan kekerasan. Alasanya karena mereka gila. Bahkan pemerintah daerah tak peduli.
Nur Setet dan Mak Yus adalah segelintir cerita kekerasan yang dirasakan penyandang gangguan jiwa di Indonesia. Laporan Human Rights Watch berjudul Hidup di Neraka: Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia ada sekitar 26 kasus kekerasan fisik dan 6 kasus kekerasan seksual dalam satu panti sosial atau rumah sakit jiwa di Indonesia. Bayangkan, jika di penampungan saja kekerasan terhadap penyakit jiwa sebanyak itu bagaimana penanggung penyakit jiwa yang tidak di penampungan.
Penyandang gangguan jiwa menjadi objek kekerasan fisik maupun seksual karena minimnya perhatian dan penegakan hukum kepada mereka. Masyarakat pada umumnya tidak memperlakukan orang gila sebagai manusia. Mereka mengucilkan, menelantarkan, bahkan memukul, dan memperkosa penyandang gangguan jiwa. Dengan anggapan tidak akan ada yang menuntut. Tidak sedikit pula keluarga sendiri yang melakukan hal tersebut karena malu atau merasa terbebani.
Harus digaris bawahi pemasungan juga merupakan kekerasan fisik terhadap penyandang gangguan jiwa. Banyak orang memasung demi keselamatan penyandang gangguan jiwa dan orang disekitarnya. Namun pemasungan yang dilakukan sering kali tidak manusiawi.
Seperti laporan Human Rights Watch. Ismaya, pria 24 tahun penyandang disabilitas psikosial mengalami dirantai dan diborgol selama tiga minggu di sebuah pusat pengobatan alternatif.
“Paranormal membiarkan saya terikat di sebuah kamar khusus untuk orang-orang yang coba disembuhkan. Mereka merantai tangan saya menggunakan tali anjing dan merantai kaki saya. Saya pernah mencoba keluar, makin kuat ikatannya. Mereka tak pernah melepaskannya. Tak ada toilet. Saya akan teriak kalau mau ke toilet, tapi mereka tak mengizinkan. Mereka berkata kepada saya untuk buang hajat saja di kamar dan mereka akan membersihkannya saat saya mandi,” papar Ismaya.
Dikutip dari BBC ada 57.000 orang yang dianggap atau benar-benar menyandang disabilitas psikososial di Indonesia yang dipasung—dibelenggu atau dikurung dalam ruangan sempit—setidaknya sekali dalam hidup mereka. Data pemerintah terbaru menunjukkan 18.800 orang saat ini masih mengalami dipasung di Indonesia.
Padahal penanggung disabilitas juga merupakan manusia yang harusnya diperlakukan layaknya manusia. Bahkan mendapat perlakuan istimewa karena disabilitasnya, bukan didiskriminasi karena mereka berbeda. Toh, penyandang gangguan jiwa tidak pernah meminta lahir atau akan menjadi seperti itu.
Peran pemerintah yang sangat dibutuhkan. Namun pemerintah saat ini juga seperti tutup mata dengan keadaan penyandang gangguan jiwa yang juga termasuk rakyatnya. Terbukti dari data tahun 2016 Indonesia hanya memiliki 48 rumah sakit jiwa dengan 8 provinsi tidak memiliki sama sekali. Tidak sesuai dengan penyandang gangguan jiwa yang berjumlah ribuan orang. Itupun dengan satu panti penampungan yang tidak memenuhi standar kesehatan.
Padahal penyandang gangguan jiwa diatur dalam Pasal 149 UU Kesehatan yang berbunyi Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Sudahlah tidak memiliki fasilitas yang cukup pemerintah Indonesia seperti melucuti hukum pula dari penyandang gangguan jiwa. Tidak ada tindakan tegas bagi pelaku kekerasan terhadap penyandang gangguan jiwa. Pemerintah pun tutup mata bahwa penyandang disabilitas mendapat banyak kekerasan. Sebenarnya pemerintah telah memiliki landasan seperti pada pasal 148 ayat (1) UU Kesehatan, Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. Namun hal ini tidak terealisasikan.
Pemerintah harus menghentikan diskriminasi kepada penyandang gangguan jiwa karena mereka juga manusia, dan setiap manusia memiliki hak untuk menjadi warga negara dan menerima haknya. Termasuk penyandang gangguan jiwa didalamnya. Pemerintah seharusnya mengadakan sosialisasi untuk menumbuhkan pemahaman dan menjelaskan bahwa penyandang gaguan jiwa juga dilindungi hukum. Sehingga masyarakat tidak menganiaya dan menelantarkan penderita gangguan jiwa.
Anda sebagai masyarakat juga harus berhenti melakukan cemooh dan kekerasan kepada penyandang gangguan jiwa. Mulailah kita memperhatikan mereka sebagai manusia khusus dan menuntut hak mereka.