Langit berkabung di dirgantara Pertiwi
Mengangisi ibu yang memasak kerikil dengan ambisi
Menyalahkan ayah yang menjadi pohon kemiri
Mengutuki anak rakus mengeruk payu dara ibunya sendiri
Sebagian orang memotong tangan untuk memohon
Mengucur mata untuk sebuah keadilan
Yang hilang dengan tak pasti
Mengasa untuk kembali
Sebagian orang duduk dengan santai
Hidup gemilang jauh tak terselami
Bagi dunia, merampok yang papa adalah hal biasa
Sedang merogoh saku yang ada adalah pemberontakan
Sebagian lainnya memasang muka malaikat
Memeluk ikhlas orang kusta
Menangisi lebih busung lapar
Diam-diam mengisi rumah bermodal belas kasih
Tuan dan nyonya punya logika sudah sampai mana
Hati melenggang meronta nasib
Seperti nilai di ujung mata pensil seorang guru
Demikian bangsa berujung di tiga detik mediasi terakhir
Bagi alam, orang sedih adalah tuannya
Maka ancala muntah
Samudra bergerilya dengan nafsunya
Lalu? Setelah bencana
Masihkah tersisa secerca bahagia bagi mereka yang (lagi) korban