Oleh: Yael Stefany Sinaga
Pernahkah melihat bekas luka sayatan di tangan teman anda? Atau melihat secara langsung orang yang ingin melukai dirinya sendiri? Pahamilah bahwa itu adalah bentuk Self Injury.
Setiap orang mempunyai coping strategy atau cara masing-masing dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Sebagian orang mampu menyelesaikan masalahnya dengan baik, namun ada juga yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya dengan baik. Ketidakmampuan menyelesaikan masalah menyebabkan timbulnya distres yang dapat menimbulkan emosi negatif. Misalnya sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi, marah, dendam dan emosi-emosi negatif lainnya.
Hakikatnya penyaluran emosi bisa dilakukan dengan cara positif dan negatif. Contoh penyaluran emosi cara positif misalnya melakukan aktivitas yang disukai seperti olahraga, nonton film, pergi jalan-jalan dengan teman, membaca buku dan masih banyak lagi. Namun ada sebagian individu memilih untuk menyalurkan dengan cara negatif misalnya mengkonsumsi narkoba, minum-minuman beralkohol atau dengan cara menyakiti dirinya sendiri (self injury).
Self injury adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu untuk mengatasi rasa sakit secara emosional dengan cara melukai dirinya sendiri yang dilakukan dengan sengaja. Juliana Irmayanti Saragih, Psikolog Klinis USU mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan self injury. Pertama adanya perasaan sedih, kecewa, marah yang mendalam atau masalah yang dihadapi yang tidak dapat diungkapkan lagi dengan kata-kata dan tidak tahu harus menyelesaikan dengan cara apa.
Lalu yang kedua adalah perasaan bersalah terhadap diri sendiri yang dalam dan merasa diri tidak berharga. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya peristiwa yang membuat trauma kepada seseorang. “Misalnya dia hidup sebatang kara karena seluruh keluarganya meninggal akibat kecelakaan. Sehingga timbul perasaan bahwa dirinya tidak pantas untuk hidup lagi,” ujar Juliana.
Salah satu kasus self injury di Indonesia dialami Sandra, wanita 21 tahun yang berbagi pengalamannya kepada awak vice.com tentang bekas luka yang masih timbul di lengannya akibat menyayat dan menggores lengannya terlalu dalam dan panjang saat ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa Sandra menyakiti dirinya semenjak ia berusia 13 tahun. Penyebabnya hubungan orang tua yang mulai retak, krisis ekonomi sehingga berdampak bagi kehidupan Sandra dan saudaranya.
Data dari survei YouGov Omnibus yang dirilis pada Juni 2019 memaparkan lebih dari sepertiga (36%) orang Indonesia pernah melukai diri sendiri. Ini terutama ditemukan di kalangan orang muda Indonesia, dengan lebih dari dua dari lima orang (45%) pernah melukai diri sendiri. Di kalangan anak muda Indonesia, data menunjukkan bahwa 7% sering melukai diri sendiri atau melakukan self injury.
Tak cuma Indonesia, self injury juga menjadi isu yang semakin mengemuka dalam skala global dunia. Penelitian Longitudinal dari American Academy of Child and Adolescent Psychiatry melibatkan 597.548 partisipan dari 41 negara, sepanjang tahun 1990 hingga 2015, menyatakan hampir 17 persen dari orang-orang di dunia pernah melakukan self injury. Rata-rata mulai melakukannya sejak usia 13 tahun.
The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V) dari American Psychiatric Association menjelaskan bahwa seseorang dikatakan self injury jika ia telah melukai dirinya sendiri selama dua belas bulan terakhir, setidaknya dilakukan pada lima hari yang berbeda. Self injury bukan merupakan hal yang sepele seperti menggigit kuku, bukan juga merupakan bagian dari sebuah praktek yang diterima secara sosial contohnya menindik hidung atau tato.
Namun, Juliana menjelaskan bahwa ada dua perilaku dari self injury. Pertama menyakiti diri sendiri tanpa tujuan untuk bunuh diri, kedua menyakiti diri sendiri dengan tujuan bunuh diri. Juliana menjelaskan bahwa perilaku self injury yang tidak bertujuan bunuh diri biasanya akan melukai bagian tubuh yang tidak vital. Misalnya menyayat lengan bagian atas, bagian paha, membenturkan kepala ke dinding, menjambak rambut dan masih banyak lagi. Sedangkan perilaku self injury yang memang bertujuan untuk bunuh diri biasanya akan melukai dirinya sendiri di bagian alat yang vital. Contohnya menyayat lengan bagian pembuluh darah.
Tapi tak bisa dipungkiri bahwa seseorang yang menyakiti diri sendiri tanpa tujuan bunuh diri dapat kehilangan kontrol emosi mereka. Hal ini jika perilaku menyakiti diri dilakukan berulang kali dan dalam jangka waktu yang berdekatan dan tidak adanya pendampingan dari orang sekitar.
Ini juga dikuatkan dari penelitian American Psychological Association yang mengatakan self injury merupakan predator kuat untuk seseorang melakukan upaya bunuh diri. Seseorang yang mengalami self injury sangat rentan terhadap keputusasaan dan depresi.
Juliana juga mengatakan bahwa seseorang yang melakukan self injury biasanya memperlihatkan tanda-tanda seperti lebih banyak diam, murung, atau yang biasanya memakai pakaian terbuka cenderung akan berpakain tertutup. “Misalnya dia biasanya pakai baju lengan pendek, maka dia akan sering memakai baju lengan panjang untuk menutupi bekas lukanya,” ujar Juliana.
Hal ini disebabkan seseorang yang melakukan self injury memiliki trying for health atau usaha untuk terlihat baik-baik saja. Dimana mereka tidak akan memperlihatkan apa yang terjadi pada dirinya kepada orang lain. Hal ini karena seseorang yang melakukan self injury merasa malu, takut, tidak adanya orang yang dapat dipercaya atau berharap orang lain peka. Pun tak bisa dipungkiri bahwa masih sangat banyak stigma negatif dari masyarakat terhadap perilaku self injury dan menganggap bahwa perilaku tersebut adalah suatu bentuk tindakan yang bodoh dan berlebihan.
Namun, perilaku self injury dapat dihentikan dengan berada disamping mereka, menguatkan, mengawasi, menjadi pendengar dan menjadi orang yang bisa dipercaya. Hal ini memberikan sensasi kepada mereka bahwa mereka tidak sendiri. Memberikan kesempatan untuk meluapkan emosi dan perasaan seluasnya namun tetap melakukan batasan agar mereka tidak mengulangi menyakiti diri.
Hindarilah bertanya dengan awalan ‘kenapa’ tapi bertanyalah dengan awalan ‘apa’. Hal ini dikarenakan adanya pemaknaan yang berbeda. Juliana menjelaskan ketika kita bertanya dengan awalan ‘kenapa’ itu memberikan efek bahwa ada sesuatu yang salah. Pun hindari komentar atau penilaian yang negatif terhadap pelaku self injury dan mencoba memahami mereka. Dengan begitu kita dapat menjadi jaring penguat serta menyelamatkan mereka pelaku self injury.