BOPM Wacana

Mengenal Disonansi Kognitif: Saat Pikiran Bertentangan dengan Perilaku

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi. | Tio Hasianna Vincentia Hutahaean
Ilustrasi. | Tio Hasianna Vincentia Hutahaean

Oleh: Tio Hasianna Vincentia Hutahaean

Pernahkan kamu mengalami dua pemikiran yang saling bertentangan dalam satu waktu?

Rasanya, di dalam kepala seperti ada dua suara yang terdengar ribut dan tidak jelas. Itulah yang dinamakan cognitive dissonance alias disonansi kognitif. Intinya, ini merupakan momen absurd di mana kamu memiliki dua pikiran atau keyakinan yang tabrakan. Misalnya, kamu mengaku setia dengan pasangan, ternyata kamu berselingkuh.

Setelah itu, kamu galau, merasa bersalah, dan tidak enak hati. Teori ini pertama kali dibicarakan oleh Leon Festinger di tahun 1957. Terhitung sangat lampau, tetapi masih berkaitan sampai sekarang. Otak manusia sangat tidak suka dengan hal yang tidak konsisten. Kita ingin semuanya selaras—apa yang kita pikirkan, yakini, dan lakukan—harus selaras.

Kalau tidak, rasanya seperti ada yang mengganjal. Sehingga, agar tidak stres, biasanya kita mulai mencari alasan, mengelak, atau bahkan merendahkan nilai pikiran yang membuat tidak nyaman itu. Semakin tinggi disonansinya, biasanya semakin besar juga rasa ingin mengurangi perasaan tidak enak tersebut.

Supaya disonansi ini benar-benar mengubah sikap, dua pikiran kamu memang harus benar-benar saling membantah. Orang cenderung kabur dari ide-ide yang membuat otaknya pusing, karena semua orang ingin hidup tenang. Adapun tipe utama disonansi, yaitu effort justification, induced compliance, dan free choice.

Tipe utama disonansi

  1. Effort Justification

Effort justification terjadi ketika kamu sudah memilih sesuatu, kemudian kamu mulai berpikir, “Apakah ini benar?” Misalnya, kamu memilih kopi daripada teh. Awalnya ragu, lama-lama kamu jadi berpikir, “Kopi memang lebih mantap,” agar tidak menyesal.

  1. Induced Compliance 

Induced compliance terjadi ketika kamu yang tadinya sangat anti dengan olahraga, tiba-tiba teman kamu memengaruhi untuk menjadi peserta lari maraton. Setelah mencoba, kamu mulai berpikir, “Sepertinya olahraga seru juga ya.” Akhirnya, kamu mulai suka berolahraga. Padahal awalnya sangat malas.

  1. Free Choice

Free choice terjadi setiap hari. Mulai dari memilih sabun mandi sampai memilih pekerjaan. Setelah milih sesuatu, biasanya kamu mulai merasa pilihan kamu paling baik. Rasanya seperti menyelesaikan taruhan. Walau ragu, kamu tetap yakin akan menang.

Cara pandang mengenai disonansi

Kunci utama yang dapat mengatasi ini adalah konsistensi diri. Semua orang ingin dilihat—atau minimal merasa—sebagai orang baik, tangkas, pintar, dan sebagainya. Kalau tiba-tiba perilaku kamu tidak sesuai dengan citra itu, kamu akan risih sendiri. Apalagi kalau kamu tipe yang memiliki harga diri tinggi, rasanya ingin memperbaiki citra itu secepat mungkin.

Ada juga self-affirmation theory. Menurut teori ini, kalau kamu gagal total di satu bidang, misalnya nilai akademik tidak sempurna, kamu bisa merasa “baik-baik saja” dengan pamer keahlian di bidang lain, seperti memasak atau berolahraga. Disonansi semakin terasa bagi orang yang memiliki harga diri rentan.

Kita menilai diri sendiri berdasarkan standar pribadi atau norma sekitar (seperti aturan keluarga atau lingkungan). Begitu merasa “aku sangat bodoh,” disonansi muncul. Tetapi efeknya baru terasa kalau standar itu sudah sangat menempel di kepala.

Ada juga self-perception theory yang menjelaskan bahwa kita memahami sikap kita sendiri dengan mengamati perilaku kita. Selama masih di batas wajar, tidak masalah. Namun, jika sudah melewati batas—misalnya, membeli tanpa merencanakan padahal berniat menabung—disonansi mulai terasa. Biasanya, kita jadi mencari alasan, atau malah membenarkan kebiasaan agar rasa tidak nyaman yang muncul berkurang.

Memahami disonansi bisa menjadi titik awal untuk refleksi diri dan perubahan positif. Dengan mengetahui hal ini, seseorang akan lebih siap untuk kritik dan  belajar dari kesalahan. Diri kita akan memperbaiki konsistensi antara apa yang dipikirkan dan apa yang kemudian dilakukan.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus