BOPM Wacana

Lara Penjaga Pesisir Langkat

Dark Mode | Moda Gelap
Anak-anak Desa Kwala Langkat tengah merestorasi hutan mangrove, Minggu (09/06/2024) | Sumber Istimewa
Anak-anak Desa Kwala Langkat tengah merestorasi hutan mangrove, Minggu (09/06/2024) | Sumber Istimewa

Oleh: Mila Audia Putri dan Dormaulina Sitanggang

“Anak-anak pun diancam mereka masuk penjara”

Dengan penuh geram, kalimat tersebut dilontarkan Syahriel, salah satu warga Desa Kwala Langkat, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Ancaman yang dimaksud Syahriel berkaitan dengan konflik perusakan hutan lindung di desanya. 

Para perambah hutan mangrove di pesisir Kwala Langkat, dituturkan Syahriel, kian meresahkan. “Hampir semua hutan itu udah ditanami sawit sama mereka,” tutur Syahriel, Sabtu (08/06/2024). 

Kisah bermula pada Februari 2024 yang mana alih fungsi hutan mangrove mulai terjadi secara masif. Pelakunya diduga S/O (inisial), yang juga warga Desa Kwala Langkat.

Pada 18 April 2024, Ilham Mahmudi, Kepala Dusun II Desa Kwala Langkat bersama warga mengajukan aduan kepada Polda Sumatra Utara. Alih-alih ditindaklanjuti dengan baik, Ilham justru diberhentikan secara tidak terhormat dan dikriminalisasi oleh Kepolisian Sektor Tanjung Pura, atas tuduhan sebagai aktor perobohan gubuk milik para perusak mangrove dengan delik KUHP Pidana, pasal 170.

“Kepala Dusun kami dipecat secara tidak terhormat dan dipenjarakan. Ini kan menjadi kecemasan bagi kami sebagai masyarakatnya. Kepala Dusunnya aja pun orang ini udah berani penjara kan gimana masyarakatnya kalau mau angkat bicara gitu,” tutur Syahriel.

Warga tak tinggal diam. Pada 18 April 2024, dilakukan aksi demonstrasi untuk menuntut pembebasan Kepala Dusun II Desa Kwala Langkat. Puluhan massa melakukan aksi di kediaman S/O, dengan membawa tiga tuntutan; Bebaskan mereka yang ditahan, kembalikan hutan produksi, dan hentikan intimidasi serta penangkapan terhadap masyarakat.

Nahas, pada 11 Mei 2024, terjadi penculikan lagi terhadap dua nelayan Kwala Langkat. Syafi’i dan Taufik, yang ikut dalam aksi pembebasan Ilham turut ditangkap polisi. Mereka ditangkap oleh Kepolisian Sektor (Polres) Tanjung Pura atas tuduhan sebagai provokator aksi di kediaman S/O.

Huru-Hara di Kwala Langkat

Ilustrasi: 3 orang warga Desa Kwala Langkat yang ditahan kepolisian; Syafi'i (kiri); Ilham Mahmudi (tengah); dan Taufik (Kanan) | Reza Anggi Riziqo
Ilustrasi: 3 orang warga Desa Kwala Langkat yang ditahan kepolisian; Syafi’i (kiri); Ilham Mahmudi (tengah); dan Taufik (kanan) | Reza Anggi Riziqo

Setelah peristiwa penangkapan kepala dusun dan kedua warga yang menolak keras perusakan hutan di Kwala Langkat, suasana desa semakin mencekam. Warga menjadi resah karena setiap hari menerima ancaman dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusakan hutan tersebut. 

“Supaya kami masyarakat yang menolak keras perusakan hutan ini jangan ada lagi membuat satu gerakan untuk penolakan. Artinya, kami harus ikut peraturan mereka,” ujar Syahriel.

Begitu resahnya Syahriel menyampaikan aduannya, kemungkinan hal yang sama juga dirasakan warga lainnya. Bagaimana tidak, ancaman yang diterima warga sangat beragam, mulai dari intimidasi verbal hingga ancaman masuk penjara jika mereka terus melawan. Selain itu, beberapa dari mereka sering mengalami teror berupa pengambilan foto dan rekaman aktivitas warga secara diam-diam. Ironisnya, ancaman-ancaman ini tidak hanya ditujukan kepada orang dewasa, tetapi juga anak-anak yang membuat seluruh keluarga hidup dalam ketakutan.

Hal ini sejalan dengan pantauan Wacana saat mengikuti aksi kampanye yang dilakukan oleh berbagai lembaga pro Hak Asasi Manusia, komunitas, dan mahasiswa. Suasana malam menyertai saat itu, seluruh peserta duduk rapi, menantikan film “Tenggelam Dalam Diam” yang diproduksi oleh Watchdoc. Pada dasarnya, rangkaian aksi kampanye ini diadakan guna menyadarkan pentingnya ekosistem mangrove sebagai pelindung pesisir, hanya saja penyelenggara mengadakan agenda nonton film ini guna memberitahu peserta tentang gambaran suasana warga pesisir saat dihadapkan bencana banjir. 

Di pertengahan film, warga mendapati seorang oknum dari pihak mafia sedang mengambil foto dan merekam kegiatan nonton bersama tersebut. Sontak kejadian ini membuat ricuh keadaan setempat, tetapi sangat disayangkan, saat itu pelaku begitu cepat beranjak dengan sepeda motornya. 

Keesokan harinya, di siang hari, tepat pukul 14.00 WIB WIB, sengatan terik matahari tak menggugurkan tekad para peserta aksi dalam mengupayakan kembalinya penghijauan di Kwala Langkat dengan melakukan penanaman 2000 bibit mangrove. Kejadian yang sama kembali terulang. Lagi-lagi  muncul dua oknum dari pihak mafia diam-diam merekam dan mengambil foto kegiatan yang membuat ricuh  warga setempat saat memergoki kedua orang tersebut. Lebih lagi saat salah satu dari mereka ternyata membawa senjata tajam, 

“Hari ini kita akan menanam 2000 bibit. Siapa yang menentang kita, kita lawan habis-habisan,” tutur salah seorang partisipan aksi, Rimba Zait Shalsyabill Nasution dengan geram.

Pada akhirnya amarah mencuat dari massa aksi yang membuat kedua orang itu ketakutan dan melarikan diri.

Setiap hari hidup dalam ancaman membuat warga tak lagi berani bergeming dan sulit untuk beraktivitas. Ketakutan ini juga menyebabkan beberapa warga memilih meninggalkan desa untuk mencari tempat yang lebih aman. 

“Jadi kalau kami yang masyarakat seperti ini, yang lemah, yang nggak punya jabatan, nggak punya apa-apa ya kan, yaudah mereka nganggap kami sampah aja lah,” ujar Syahriel penuh kecewa. 

Warga merasa semakin terisolasi karena tidak ada dukungan dari pihak berwenang, bahkan laporan yang disampaikan kepada polisi sering kali tidak ditanggapi serius. Situasi ini bukan hanya berdampak pada keamanan warga, tetapi juga pada kesejahteraan mereka. 

Melawan dengan Bijak

Foto bersama setelah aksi restorasi mangrove bersama sejumlah organisasi peduli Hak Asasi Manusia dan Mahasiswa di Desa Kwala Langkat, Minggu (09/06/2024) | Sumber Istimewa
Foto bersama setelah aksi restorasi mangrove bersama sejumlah organisasi peduli Hak Asasi Manusia dan Mahasiswa di Desa Kwala Langkat, Minggu (09/06/2024) | Sumber Istimewa

Beribu pasang mata kini masih senantiasa tertuju pada kasus ini. Secercah harapan warga desa untuk mengadu saat ini masih tertuju pada lembaga, komunitas pro Hak Asasi Manusia, dan media. 

Beberapa pihak juga turut bersumbangsih mengupayakan kesejahteraan hutan dan masyarakatnya. Salah satu yayasan yang bergerak di bidang keadilan ekologis, Yayasan Srikandi Lestari, memperjuangkan konflik ini dengan menggalang dukungan dari organisasi HAM seperti Frontline Defenders, Protection International Indonesia, dan Amnesty International untuk publikasi internasional serta mendesak pembebasan tiga pejuang lingkungan yang ditahan. 

“Sejak kasus ini kita dengar, permohonan YSL untuk advokasi dan kampanye  pembebasan kasus secara internasional telah disebarkan secara luas ke luar negeri, didukung oleh organisasi pembela HAM yang menyebarkan informasi tentang kasus ini dan menekan pemerintah Indonesia.” Ujar Mimi Surbakti, Ketua Pengurus Yayasan Srikandi Lestari.

Hingga saat ini, Yayasan Srikandi Lestari juga sedang membangun komunikasi dengan Duta Besar Belanda dan mendapatkan dukungan dari Duta Besar Kanada dan Uni Eropa (EU) dalam upaya ini.  Upaya lainnya juga dilakukan YSL dengan mengirimkan laporan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, sampai saat ini masih belum ada respon dari PBB terkait konflik tersebut.

Tidak berhenti disitu, pada 8-9 Juni 2024, sejumlah lembaga dan komunitas pro Hak Asasi Manusia, serta mahasiswa, melakukan aksi penyuaraan berupa kampanye menegaskan kembali status lahan tersebut kepada oknum yang mencoba mengalihkan fungsi, hingga merestorasi hutan mangrove yang telah rusak. 

Peserta aksi meliputi WALHI Sumut, Yayasan Srikandi Lestari, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU), Kontras Sumut, Perempuan Hari Ini, Girl Up Medan, Cangkang Queer, XR Medan, BOPM Wacana, dan berbagai mahasiswa. 

“Kami juga ingin menumbuhkan kesadaran pada khalayak umum tentang pentingnya menjaga hutan mangrove yang menjadi penyeimbang ekosistem dan benteng alami bagi desa-desa sekitar dalam melawan abrasi dan kenaikan muka air laut,” ujar Ketua Panitia Pelaksana Aksi, Aji Surya Abdi.

Harapan untuk didengar dan kembalinya status lahan untuk masyarakat masih menjadi mimpi yang akan terwujud dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Menjadi perhatian bersama sebab digusur di rumah sendiri merupakan kejadian miris yang mencederai hak asasi manusia untuk mempertahankan lingkungan hidupnya. 

“Kami berharap suara kami didengar, konflik ini ditangani dengan lebih serius, dan hutan kami dapat dipulihkan kembali,” harap Syahriel.

Babak Baru Perjuangan

Pada 4 Juni 2024, suasana di Polsek Tanjung Pura dipenuhi ketegangan ketika Taufik dan Sapii, dua tahanan dari penjara Polres  Langkat, dijemput pada pukul 14.00 WIB untuk menandatangani surat perdamaian dengan S/O pada pukul 15.00 WIB tanpa membaca isi surat tersebut. Sapii, yang dipenjara karena merusak rumah S/O telah dibebaskan dan kembali ke rumahnya di Desa Kwala Langkat.

Namun, kisah ini belum berakhir. Pada 4 Juli 2024, pukul 16.00 WIB Ilham Mahmudi dan Taufik menghadapi sidang perdana di Pengadilan Negeri Langkat. Sayangnya, sidang harus ditunda karena kuasa hukum mereka tidak hadir akibat sakit.

Hakim kemudian menetapkan Taufik sebagai tahanan kota, membebaskannya dari tahanan Kejaksaan Langkat, dan mengatur sidang lanjutan pada 15 Juli 2024. Sementara itu, Ilham Mahmudi tetap berada di Rutan Tanjung Pura sebagai tahanan jaksa, menunggu sidang berikutnya.

Pada sidang yang berlangsung, disampaikan bahwa proses persidangan masih berada pada tahap putusan sela setelah sebelumnya mengajukan eksepsi. Sidang pada 15 Juli adalah pembacaan eksepsi, namun hasil akhir dari sidang tersebut masih belum keluar.

Sidang-sidang yang berlangsung sering kali memakan waktu dengan durasi yang sangat singkat, hanya 1-2 menit per sidang, dan harus berlanjut ke minggu berikutnya. Hingga saat ini belum ada hasil final, dan hasil putusan selanjutnya diharapkan akan keluar pada hari Selasa mendatang.

Ilham dan Taufik didakwa melanggar tiga pasal KUHP: Pasal 170 ayat (1) dan (2) tentang kekerasan terhadap orang atau harta benda, Pasal 406 ayat (1) tentang perusakan barang milik orang lain, dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 tentang pelaku tindak pidana. Dakwaan ini mengancam mereka dengan pidana penjara yang signifikan, mencapai hingga 5 tahun 6 bulan.

Perjuangan untuk membebaskan Ilham Mahmudi terus berlanjut. Kemenangan kecil dalam pembebasan Syafi’i dan Taufik memberi harapan baru, sementara dukungan terus dipanjatkan untuk mencapai keadilan bagi Ilham Mahmudi.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4