Oleh: Widiya Hastuti
Lembaga Pers Mahasiswa Expedisi UNY, Lentera, Poros, Pendapa telah melewatinya. Dibungkam. 47 lainnya sudah merasakan kekerasan rektoratnya. Jika terus begini Pers Mahasiswa akhirnya hidup segan, mati tak sampai hati.
Bukan hal langka jika Pers Mahasiswa saat ini dibungkam. Perlakuaan intimidasi, ancaman pembekuan kegiatan, pembekuan dana, hingga pembredelan terjadi pada banyak Pers Mahasiswa di Indonesia. Contohnya Pers Mahasiswa Lentera yang diberedel akibat pemberitaannya mengenai kasus PKI atau Poros yang dibredel karena pemberitaanya yang mengkritisi Fakultas Kedokteran yang akan dibuka di Universitas Ahmad Dahlan.
Persatuan Pers Mahasiwa Indonesia (PPMI) mengadakan riset Kekerasan terhadap Pers Mahasiswa di Indonesia pada Mei 2016 lalu. Pada riset ini disebutkan sepanjang tahun 2013-2016 47 dari 64 Pers Mahasiswa di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Hal ini menandakan tingginya tingkat kekerasan terhadap Pers Mahasiswa.
Dikutip dari Tirto.id Pada tahun 2014, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta mengalami penarikan buletin EXPEDISI edisi Ospek. Penarikan tersebut dilakukan lantaran pemberitaan yang mengkritisi pelaksanaan Ospek.
Tahun 2015, LPM Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. Majalah Lentera yang diterbitkan pada Oktober 2015 ditarik rektorat dan polisi lantaran laporan mereka tentang peristiwa 1965 di Salatiga. Selain itu pada tahun 2016 LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dibredel oleh pihak rektorat.
Juga LPM Pendapa Univesitas Sarjanawiyata Tamansiswa Pada November 2016. Pendapa dibekukan kampus karena tidak mau menandatangi pakta integritas. Pakta intergritas itu muncul setelah Pendapa menerbitkan buletin yang berisi berita Fakultas MIPA gagal melakukan wisuda pada awal 2016.
Hal ini menunjukan, perlakuan kekerasan terhadap Pers Mahasiswa umumnya dilakukan rektorat atau pimpinan perguruan tinggi yang dikritisi. Pada data riset PPMI disebutkan kekerasan terhadap Pers Mahasiswa paling banyak dilakukan rektorat sebanyak 11 kali, organisasi kemahasiswaan 6 kali, dan narasumber 4 kali.
Seperti kasus LPM Ideas pada 2014 saat akan menerbitkan buletin. Beberapa pegawai dan wakil dekan III Universitas Jember mengatakan buletin yang dihasilkan Ideas berupa hujatan dan tidak berimbang. Ideas dianggap selalu memberitakan hal negatif mengenai Universitas Jember.
Hal seperti ini yang banyak terjadi pada LPM di Indonesia. Rektorat menganggap Pers Mahasiwa seharusnya menjadi tempat mahasiswa mengembangkan diri dengan mendapatkan prestasi yang memajukan universitas seperti Unit Kegiatan Mahasiswa lainya.
Tak hanya itu, dengan menyuruh Pers Mahasiswa memberitakan hal yang baik mengenai universitas berarti rektorat menginginkan Pers Mahasiswa sebagai hubungan masyarakat universitas. Yang hanya memberitakan kebaikan universitas agar universitas dapat dikenal orang banyak. Padahal memang tugas Pers Mahasiswa untuk kritis agar dapat menjadi control power.
Seharusnya jika rektorat menganggap suatu berita tidak berimbang, rektorat menunjukan bagian mana secara jelas yang tidak berimbang. Tidak hanya menuding Pers Mahasiswa tidak berimbang.
Dalam buku Pedoman Teknis Advokasi yang diterbitkan PPMI pada tahun 2016, disebutkan Banyak cara universitas membungkam Pers Mahasiswa. Mulai dari menyulitkan akses reportase mahasiswa yang berkaitan dengan rektorat, pembubaran kegiatan keorganisasian, Intimidasi personal, menyetop anggaran, merampas tabloid terbitan, hingga mencabut surat keputusan organisasi Pers Mahasiwa, bahkan cara terbaru membuat tandingan Pers Mahsiswa yang sesuai dengan keinginan rektorat dan menyulitkan akses Pers Mahasiswa yang kritis.
Pers Mahasiswa akan mendapat teguran apabila menerbitkan berita yang mengkritik dan berpengaruh jelek untuk nama universitas. Bahkan mereka menganggap Pers Mahasiswa berbeda dengan pers umum yang mengeritik pemerintahan karena Pers Mahasiswa berada dibawah rektorat.
Misalnya pada Pers Mahasiswa Poros, Wakil Rektor II Universitas Ahmad Dahlan selalu menyinggung poros yang memberitakan hal yang tidak membangun Universitas Ahmad Dahlan padahal dibiayai oleh rektorat.
Menjadi dilema pula bagi Pers Mahsiswa yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Pers Mahasiswa memiliki posisi yang berbahaya daripada Pers umum kebanyakan. Menurut Ahmad Djauhar, Wakil Dewan Pers, berdasarkan hukum Pers Mahasiwa tidak lindungi oleh Dewan Pers. Pers mahasiswa tidak berbadan hukum dan dibawahi rektorat sebagai kegiatan kemahasiswaan.
Padahal menurut Andreas Harsono, Pendiri Yayasan Pantau Pers Mahasiswa yang ideal adalah pers yang mengacu pada idealisme jurnalisme. Tidak ada pembeda antara Pers Mahasiswa dan pers umum dalam menyajikan berita. Pers Mahasiswa juga menyajikan berita demi kebenaran fungsional dan kepentingan orang banyak, dalam hal ini mahasiswa.
Pembredelan terhadap Pers Mahsiswa harus segera ditanggulangi atau semakin banyak Pers Mahasiswa yang mengalami kekerasan. Pers Mahasiswa baiknya berbadan otonom tidak dibawahi rektorat langsung. Salah satunya di Universitas Harvard, Pers Mahasiswanya memiliki badan hukum sendiri yang berbeda dengan universitasnya.
Pers Mahasiswa harusnya juga memiliki unit yang mirip dengan Dewan Pers. Karena tudingan Pers Mahasiswa tidak independen kerap kali muncul untuk menjatuhkan Pers Mahasiswa. Badan hukum ini mungkin dapat dibentuk dari PPMI atau dari Dewan Pers langsung yang membentuk bagian khusus menangani Pers Mahasiswa.
Dewan Pers harusnya juga bertindak tegas. Sudah saatnya ada undang-undang yang mengatur bagaimana posisi Pers Mahasiswa. Karena Pers Mahasiswa tidak hanya sebagai wadah mahasiswa belajar menulis. Bukankah kebebasan Pers berawal dari Pers Mahasiswa?
Peran mahasiswa juga menjadi pengaruh besar terhadap Pers Mahasiswa. Terlebih Pemerintahan Mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang memiliki peran penting dalam keorganisasisan mahasiswa. Sebagai organisasi yang sama-sama menjadi tempat mahasiswa kritis seharusnya BEM menyokong Pers Mahasiswa dan tidak membiarkan Pers Mahasiswa dibungkam.
Bagi wartawan Pers Mahasiswa tidak boleh takut atau menyerah dengan kekerasan yang kerap terjadi. Karena kelemahan yang ditunjukan akan membuat Pers Mahasiswa semakin merosot. Wartawan Pers Mahasiswa harus tetap kritis dan berpaku pada kebenaran. Pers Mahasiswalah tempat mahasiswa berpikir kritis dan menyumbangkan aspirasinya untuk keadilan mahasiswa dan universitas yang benar. Bukan universiatas yang terkenal.