BOPM Wacana

KontraS Sumut Peringati 27 Tahun Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan

Dark Mode | Moda Gelap
Para pemateri dan moderator saat sesi dialog publik dalam Peringatan 27 Tahun Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan yang diselenggarakan KontraS Sumut di SeRuang Kitchen and Beverage, Kamis (26/6/2025). | Dinar Fazira Fitri
Para pemateri dan moderator saat sesi dialog publik dalam Peringatan 27 Tahun Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan yang diselenggarakan KontraS Sumut di SeRuang Kitchen and Beverage, Kamis (26/6/2025). | Dinar Fazira Fitri

Oleh: Jennifer Smith L. Tobing

Medan, wacana.org — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara (Sumut) memperingati 27 tahun Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan yang juga diinisiasi bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil di Medan. Dengan sesi utamanya yaitu dialog publik, peringatan ini digelar di SeRuang Kitchen and Beverage, Kamis (26/6/2025).

Staf data dan informasi KontraS Sumut, Aulia Rahman, menjelaskan tema “27 Tahun Ratifikasi Anti Penyiksaan: Potret Penyiksaan di Indonesia,” menjadi refleksi atas kegagalan negara, khususnya Polri dan TNI. Dalam hal menegakkan komitmen terhadap Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi sejak tahun 1998 melalui UU No. 5 Tahun 1998. “Alih-alih menghentikan penyiksaan, institusi negara justru melanggengkan kekerasan,” ungkap Rahman.

Aulia juga menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk kemarahan masyarakat sipil terhadap praktik penyiksaan yang masih marak terjadi di Indonesia, khususnya di Sumut. Praktik kekerasan tersebut terjadi dalam banyak konteks, mulai dari konflik pengelolaan sumber daya alam, sengketa agraria, hingga penindasan terhadap masyarakat adat, jurnalis, mahasiswa, dan perempuan. Namun, penegakan hukum terhadap pelaku masih sangat lemah.

“Praktik penyiksaan masih terus terjadi dan dilakukan oleh institusi seperti kepolisian dan TNI. Namun, penghukuman terhadap pelaku jauh dari kata adil, impunitas terus berlangsung,” ujarnya.

Beberapa organisasi masyarakat sipil yang ikut menggagas peringatan ini, yaitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sumut, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut, Yayasan Srikandi Lestari, Perempuan Hari ini, Power Hub Girl dan Aksi Kamisan Medan. Selain dialog publik, kegiatan ini juga diisi dengan live music, panggung puisi, serta terdapat stand Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Aulia menegaskan, peringatan ini juga sekaligus sebagai bentuk keprihatinan dan dukungan terhadap para korban yang tidak hanya gagal mendapatkan keadilan hukum, tetapi juga tak memperoleh pemulihan atas penderitaan yang mereka alami. “Kita menyerukan negara untuk menghentikan praktik penyiksaan dan mengadili para pelakunya,” pungkasnya.

Salah satu pemantik diskusi, Gray Sembiring dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sumatera Utara (USU), turut menyampaikan argumennya saat sesi dialog publik. Ia berpendapat bahwa masyarakat tidak dianjurkan hanya berharap pada konvensi hukum melainkan harus memiliki kerangka hukum yang dibentuk bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Karena tanpa itu, secara prosedural, penyiksaan belum memiliki hukum yang kuat di Indonesia,” tegasnya.

 

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus