Oleh: Mayang Sari Sirait
Oktober pertama yang begitu dingin, bersama hujan yang semakin senang berkunjung ke bumi. Oktober pertama yang begitu dingin, setelah tahun lalu hujan di Oktober terasa mati.
Kakiku bergerak-gerak, memainkan sepatu converse putih yang aku kenakan. Aku membencinya. Ya, memakai sepatu putih. Rasanya sangat melelahkan ketika kau harus terus berjaga, cemas, dan memusuhi debu demi menjaganya tetap aman—bersih. Tapi, Jim menyukainya.
Aku ingat ketika aku membelikannya sepasang sepatu putih dua tahun lalu, dia melompat-lompat girang. Jim benar-benar mengenakan sepatu putih kemanapun dia pergi.
“Hari ini hujan, apa kau masih memakai sepatu putih kali ini?” saat aku bertanya, dia mengangguk mantap.
“Tentu,” katanya. “Bahkan aku akan membawanya ke Nirwana,” lanjutnya.
Kereta itu berhenti, tepat di depanku. Rasanya mulai gerah, orang-orang yang sedari tadi ikut menunggu bersamaku berdesakan masuk hingga mendorongku.
“Hei, anak muda. Apa sekarang ada malaikat yang bertugas menjaga pintu kereta? Wah, sudah bukan pintu surga dan neraka saja yang harus dijaga rupanya,” aku tersentak ketika suara Pak Tua itu menyentuh telingaku. Aku bergeser kesamping, membuka jalan untuk orang-orang yang menatapku kesal—seperti “Pergi kau bocah laki-laki kurang ajar”, kurasa mereka tidak sabar untuk masuk.
Kereta berjalan tepat saat aku menyentuh kursi. Lajunya sedikit lambat dan terasa lembut. Aku tersenyum, memandang dua tiket dan kursi kosong disebelahku secara bergantian.
“Kita akan pergi, ke Nirwana, Jim,” ujarku.
Nirwana.
Aku tidak tau tempat macam apa itu, tapi tahun lalu semua orang heboh membicarakannya. Padahal tak satupun orang yang kukenal pernah pergi kesana.
“Tempat itu sangat indah, Jeon,” Jim mengatakannya, dan aku percaya. Aku percaya semua hal yang keluar dari mulutnya.
Kami mulai mengatur rencana, namun harus batal mengingat kesibukan di tingkat akhir sekolah menengah yang sangat menyebalkan. Seisi kelas—semua teman seangkatan mungkin—menghela nafas bersama.
“Tak apa, anggap saja kita harus menabung dulu,” Jim tersenyum sembari menepuk pundakku, dia selalu tersenyum. Jim hanya akan menangis ketika aku kesulitan, dan marah ketika aku merasa tersakiti. Terkadang kupikir aku iri, hidupnya begitu menyenangkan sehingga bisa terus tersenyum.
Tempat itu—Nirwana tidak begitu jauh jika dilewati dengan kereta yang harga tiketnya seharga sepasang sepatu converse bekas yang kami beli dari Tae.
Mataku teralih, memandang rintikan hujan yang mulai turun. Ini sudah bulan Oktober dan mereka—hujan semakin sering mengunjungi bumi.
Mataku terpejam. Ini mulai terasa berat dan menyakitkan. Rasanya sunyi dan dingin mengingat musim hujan yang harus kuhabiskan sendiri. Bagaimana musim disana? Apa sedang hujan? Atau mungkin, salju. Apapun itu, aku mulai menyadari kembali bahwa aku benar-benar merindukan Jim.
Kereta berhenti di stasiun kedua, beberapa orang turun dan beberapa naik. Beberapa kursi mulai kosong dan beberapa kembali terisi. Sedang kursiku masih dan akan tetap kosong sampai tiba di Nirwana nanti. Kursi ini untuknya.
“Apa kau akan tetap membiarkannya kosong?” aku menoleh, lelaki di kursi dari sudut lain itu bicara padaku. Aku mengabaikannya, apa kami saling kenal?
Dia terus mengoceh, tapi tak satupun kalimatnya masuk ke otakku. Orang gila, pikirku. Namun beberapa kalimat selanjutnya, orang ini benar-benar membuat jantungku hampir berhenti.
“Apa kau ingin menemui Jim? Ayo pergi bersama.” Mataku terasa panas, sepertinya air sudah bergerumul disana. Lelaki itu tersenyum, aku mulai menyadari betapa miripnya dia dengan Jim. Laju kereta semakin cepat, seiring rasa sakit yang seketika menyerang dadaku.
“Kau sedih? Tak apa. Akupun begitu.” Aku menangis diam-diam, lelaki itu masih tersenyum. Tanpa perlu dia menyebutkan namanya, aku mulai mengenali. Dia Jino, sepupu yang selalu Jim banggakan didepanku. Aku tidak pernah bertemu dengannya, hanya beberapa kali Jim memaksaku untuk melihat fotonya.
“Dia sangat tampan, jadi kau harus melihatnya,” begitu kata Jim.
Mataku perlahan terbuka, sedikit perih. Sepertinya aku tertidur. Aku menoleh, Jino masih di kursinya, matanya menatap keluar jendela.
“Kita hampir sampai,” sepertinya Jino menyadarinya.
Kereta pergi dan kami berdua masih terdiam disini. Aku dan Jino baru saja turun, namun rasanya kaki kami membeku, berat untuk pergi.
“Apa kau yakin ingin pergi?” Jino bertanya, menatapku. Aku ragu, kupastikan ini akan sangat menyiksaku. Tapi, kurasa aku harus menemui Jim.
Kami berjalan melewati orang-orang di stasiun, perlahan meninggalkan tempat itu. Aku tidak tau kemana Jino pergi dan hanya mengikutinya.
Jino berhenti, begitupun aku. “Pohon itu, aku menggantungnya disana,” ujar Jino, aku tidak mengerti. Aku berjalan perlahan, menghampiri pohon yang dimaksud Jino.
“Ah,” aku bahkan tidak tau apa kalimat yang harus keluar dari mulutku, mataku menangkap sepasang sepatu putih yang diikat disana, sedikit ada bercak darah diujungnya. Ya, itu sepatu yang kuberikan untuk Jim dua tahun lalu. Dia benar-benar memakainya hingga ke Nirwana.
Langit oranye diatas sana benar-benar indah, burung-burung kecil yang memadukan suara di sekelilingku sangat menyenangkan. Semua hal disini sungguh menakjubkan, seperti Nirwana yang banyak dibicarakan orang lain. Tapi rasanya sulit untuk mengalihkan perhatianku dari sepatu itu.
***
Malam yang tampak murung pada hujan pertama di Oktober tahun lalu. Aku membuka pintu dan mendapati Jim yang basah kuyup disana. Matanya merah, bibirnya membiru dan dia menggigil. Jim memelukku, erat.
“Aku ingin pergi, tapi kau tidak boleh ikut. Aku hanya ingin pamit.” Bisiknya, suaranya bergetar. Aku diam, tidak mengerti. Perlahan Jim melepas pelukannya, dia tersenyum, berbalik dan pergi.
Malam itu, aku hanya menatap punggungnya yang dibalut kemeja putih yang tembus pandang—karena hujan, rambut cokelatnya yang basah, juga sepatu yang kuberikan padanya dua tahun lalu.
“Bahkan aku akan membawanya ke Nirwana.”