Tetapi akan selalu kau sesalkan untuk waktu-waktu yang kau habiskan dengan hidupmu. Dan yang kulihat dibalik ini hanya sebuah kekosongan yang kekal dan abadi. Kau tidak akan mengerti, sampai kematian yang mengatakannya sendiri.
Sebuah kekosongan datang menghampiriku. Aku tersentak. Kucoba menangkap gerakan yang mendekap. Dua sosok yang mengenakan pakaian putih sedang berdiri di samping kiri dan kananku. Namun gelap dengan cepat mengaburkan pandanganku. Bibirku kelu dan suaraku tercekat. Kuhirup nafas panjang menyusul tarikanku yang terakhir. Hikmat kudengar degup jantungku perlahan menghilang. Mengiringi detik jam di sudut dinding kamar rumah sakit ini. Semua terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.
Dulu aku sering dikisahkan tentang momen-momen kematian. Ada yang menganalogikannya sebagai teror yang mencekam. Namun beberapa mengibaratkannya sebagai nyanyian yang menentramkan. Bagiku yang kini sedang mengalaminya, ini tidak pada keduanya.
Yang kudengar kini hanyalah kesunyian. Kekosongan telah membalut indra mendekap wangi kematianku. Ini menakutkan dan menyakitkan. Tetapi narasi di kepalaku bergejolak. Mungkin ini hanya mimpi dari imajinasiku tentang kematian. Tetapi ini terasa nyata. Dan aku berada di penghabisan hidupku.
Tetapi siapa yang sedang bernarasi? Aku pernah diberitahu bahwa batas antara keberadaan dan ketiadaan adalah pikiran. Hanya ketika berpikir maka aku ada. Dan aku masih berpikir saat ini. Maka kuhabiskan pikiranku untuk terus berpikir tentang janji-janji kehidupan tentang kematian.
Kehidupan bagiku adalah sebuah perjamuan. Hadir untuk sekedar menemani dan dinikmati. Kehidupan adalah sepiring nasi padang lengkap dengan irisan tipis daging rendang dan siraman kuah santan. Ditemani dengan air kelapa muda yang dicampur gula aren khas Jawa Timur. Dinikmati dengan satu tarikan yang tergesa-gesa. Dan pengalaman setelahnya adalah nikmat surgawi yang tidak terbantahkan.
Dan nikmat kehidupan sebagai wujud perjamuan tidak hanya berhenti pada satu piring nasi padang. Ia adalah daftar menu panjang yang menunggu untuk diberi kesempatan. Maka aku adalah seorang pemburu. Telah kujelajahi setiap perjamuan tanpa penyesalan. Dan dengan lantang kukatakan bahwa aku adalah pecinta kehidupan.
Maka ketika mereka menyebutku sebagai pendosa ulung, kuterima itu sebagai penghargaan atas pencapaian hidupku. Aku justru merasa kasihan pada mereka. Yang suka melabeli hidup orang lain. Yang koar-koar tentang kematian. Tidak bisa menerima fakta bahwa kehidupanlah wujud surgawi yang dibayangkan. Mereka adalah orang-orang yang terpenjara oleh pikirannya sendiri. Terbelenggu oleh janji-janji yang dihadirkan karena kelemahannya sendiri.
Meskipun begitu, aku pernah menjadi bagian dari mereka. Para pemilik kebenaran. Di tangannya tergenggam panji-panji tentang hakikat kehidupan. Yang hidupnya terbatas pada hitam dan putih tentang kebaikan dan keburukan. Kehidupan baginya adalah tahap ujian menuju momen keabadian.
Kesalahan pertamaku dimulai ketika mulai bersikap ragu pada pikiranku. Skeptis pada narasi yang selama ini aku pahami tentang asas kebenaran. Ternyata dengan mulai melihat segala sesuatu dengan kacamata yang terbuka, peluang untuk berpikir dan bersikap lebih bebas menjadi terbuka luas. Aku mulai menyadari bahwa tiada karunia yang lebih dahsyat dari seseorang yang menemukan kebebasannya.
Meskipun begitu, aku berdoa. Aku berdoa untuk mereka yang sudah selesai dengan perjamuannya. Jauh di dalam diriku berharap bahwa akan ada kesempatan kedua. Untuk mereka yang belum sempat menikmati perjamuan dunia. Tetapi aku sudah lama selesai dengan itu semua. Bagiku, kekosongan abadi adalah mutlak sebagai panorama kematian.
Maka kuterima kematian sebagai sebuah konsekuensi yang harus dijalani. Sebuah perjalanan yang akan menemukan akhir. Pertemuan yang akan menemui perpisahannya. Ia adalah harga yang harus dibayar untuk nikmat surgawi atas kesempatan dunia yang diberikan. Dan sebagai surat undangan kepada tamu berikutnya untuk menghadiri perjamuannya.
Siapa pun orang di luar sana yang sedang bergejolak dengan keyakinannya tentang kematian, kukabarkan kabar gembira. Tidak ada kabar gembira tentang kematian.