Oleh : Febyana Siagian
“Kalau ga hati-hati bisa nyeblos ke paret (selokan –red).”
Begitulah cara bapak Irfan Nasib, seorang teman netra, menggambarkan kondisi guiding block, atau blok penunjuk jalan bagi disabilitas netra di trotoar.
Bapak Irfan bercerita bahwa aksesibilitas ini tidak berfungsi dengan baik. Guiding block ini terputus di beberapa titik dan di tempat lain berakhiran di selokan yang terbuka.
“Yang dari Balaikota ke Lapangan Merdeka itu ada putus-putusnya, dek,” ucap Irfan Nasib.
Ketidaksinkronan ini ditemui hampir disetiap guiding block yang ada. Seperti di daerah Multatuli, di daerah USU, Imam Bonjol, dan daerah lainnya.
Kami berbincang di Dewan Perwakilan Cabang Persatuan Tuna Netra (DPC Pertuni) yang ada di kota Medan. Setelah persiapan selama hampir satu bulan, tiba harinya untuk bertemu teman-teman netra di organisasi tersebut. Ada Pak Syahrial sebagai sekretaris umum DPC dan bapak Irfan Nasib sebagai ketua.
Di ruangan ini sudah berkumpul lima orang teman netra pengurus DPC. Ruangan ini cukup bersih dengan lantai tegel kuno, di meja ada beberapa gelas air putih dan juga sofa yang tampaknya sudah usang termakan usia.
Mereka menyambut saya dengan baik. Namun, saat mengetahui akan diwawancara mengenai aksesibilitas trotoar untuk netra raut wajah mereka sedikit berubah.
Guiding Block di Kota Medan
Aksesibilitas netra atau blok-blok penunjuk jalan dibangun untuk memberikan akses pada pada teman-teman netra. Fasilitas ini adalah upaya pemerintah memberikan akses bagi teman-teman netra yang berjalan kaki. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.
Dalam pasal dua (2) ayat dua (2) jelas dikatakan bahwa, “pedoman teknis ini bertujuan untuk mewujudkan kemandirian dan menciptakan lingkungan binaan yang ramah bagi semua orang, termasuk penyandang cacat dan lansia.” Sayang, yang sering ditemui di trotoar kota ini malah menjebak penyandang yang disebut di atas.
Aksesibilitas netra yang sering disebut guiding block ini sering digunakan netra untuk menjalani kegiatan mereka sehari-sehari. Banyak dari mereka yang berdagang keliling, mengandalkan kaki dan tongkatnya untuk memenuhi kebutuhannya.
Ketika guiding block ini dibangun, itu akan mempermudah aktivitas mereka untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain secara mandiri.
Namun guiding block yang diharapkan dapat membantu teman-teman netra berjalan ini malfungsi, seharusnya teman-teman netra tidak membutuhkan tongkat saat berjalan di guiding block.
“Asal tidak keluar dari garis guiding block itu, kemungkinan besar aman. Memang membantu, tapi sekarang ga membantu,” jelas Syahrial.
Raut wajah mereka hampir tidak terkendali, raut kecewa sangat jelas terpatri. Bahkan salah satu dari mereka pernah jatuh dan masuk parit saat berjalan di daerah Imam Bonjol.
Dengan menggebu Irfan Nasib mengatakan bahwa guiding block yang sudah ada ini tidak maksimal apalagi yang belum dibuat. Sudah pernah dicoba untuk menguusulkan ke Pemerintah Kota (Pemko) dan Kantor Gubernur oleh pihak Pertuni sendiri, namun belum diketahui bagaimana nasib trotoar itu sekarang.
Guiding block yang sudah ada dinilai tidak maksimal oleh Ketua DPC Pertuni itu, pasalnya banyak lubang menganga yang membahayakan untuk digunakan.
“kalau ga hati-hati bisa nyeblos ke paret,” ucapnya.
Sangat disayangkan, bangunan yang seharusnya dibuat untuk membantu malah tidak bisa digunakan dengan maksimal oleh pengguna-pengguna yang seharusnya.
Terhalang Pedagang dan Parkir
Selain pembangunannya tidak merata, guiding block ini banyak yang digunakan oleh pedagang kaki lima dan lapak parkir. Polisi sering mengarahkan para penyandang disabilitas netra untuk menggunakan trotoar itu, tapi kurang diperhatikan bagaimana situasi guiding block itu. Tongkat masih harus tetap siaga untuk digunakan bahkan di trotoar yang memiliki aksesibilitas untuk mereka.
Sembari memperbaiki cara duduknya, Irfan Nasib mengharapkan pemerintah melibatkan mereka dalam setiap pembangunan aksesibilitas yang disediakan untuk mereka. Karena yang mengerti akan kebutuhan mereka adalah mereka sendiri.
Di hari yang sama, ketua DPC Pertuni menawarkan saya untuk menghadiri acara penyerahan dokumen rekomendasi dan konsensus mobilitas inklusif di kota Medan oleh Insititute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia yang dilaksanakan di Balaikota pada 26 Juli lalu.
Permintaan Kelompok Disabilitas
Pagi itu saya menghadiri acara yang dilaksanakan oleh ITDP, dihadiri oleh kepala dinas perhubungan kota Medan, Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu (GERKATIN) Kota Medan, GERKATIN Provinsi Sumatera Utara, Pertuni Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara, Forum Anak Kota Medan dan Aktivis Perempuan.
Kegiatan ini dilakukan secara indoor di ruang pertemuan BAPPEDA Kota Medan. Teman-teman netra hadir dengan pemandunya, berpakaian rapi dan bersahaja. Teman-teman tuna rungu tampak lebih rapi lagi dengan baju seragamnya, selebihnya di ruangan ini lebih dominan dengan mereka yang menggunakan batik.
Acara penyerahan konsensus ini merupakan pemberian konsensus fasilitas umum yang dibutuhkan oleh para penyandang disabilitas, anak-anak, perempuan dan kelompok rentan dalam mengakses transportasi publik dan fasilitas pendukungnya.
Rekomendasi perencanaan mobilitas inklusif oleh ITDP ini diantaranya penyesuaian ruang jalan, pengembangan jaringan transportasi publik, dan penataan jaringan transportasi tidak bermotor.
Dalam kata sambutannya pagi itu, kepala dinas perhubungan kota Medan menyampaikan rekomendasi yang disampaikan oleh ITDP sendiri sudah kondisional sesuai dengan kebutuhan publik.
“Sebagus apa pun perencanaan tidak ada artinya tanpa adanya komitmen dari kita semua tentang pelaksanaan dari rekomendasi itu sendiri,” katanya.
Dia mengajak semua yang ada dalam ruangan itu untuk membangun dan menjaga komitmen bersama untuk melaksanakan apa yang akan menjadi rekomendasi dari ITDP tersebut.
“Ramahnya cuma di pusat kota saja.”
Menanggapi hal ini seorang pengguna trotoar non-disabilitas yang saya temui di sekitaran Merdeka Walk, Cornella Tarigan, menyampaikan trotoar untuk disabilitas tidak ramah.
“Ramahnya cuma di pusat kota saja,” katanya menggebu.
Beberapa kali berjalan di trotoar yang memiliki aksesibilitas pun ia memperhatikan ada trotoar yang rusak bahkan ada yang tidak memiliki akses ini sama sekali. Bahkan di tempat-tempat seperti Merdeka Walk, trotoar ini hanya untuk menambah estetika.
Menurutnya masyarakat pun kurang diedukasi tentang trotoar sebagai akses bagi penyandang disabilitas ini. “Aku tahu fungsinya itu waktu SMP karena liat youtube juga,” lanjutnya.
Bagi pengguna trotoar para pedagang kaki lima yang memakai trotoar pun kurang ditertibkan. Di satu sisi, hal ini akan mengganggu para pejalan kaki, namun di sisi lain tidak ada lapak yang disediakan untuk mereka mencari nafkah. Beberapa pedagang kaki lima yang ditemui tidak ingin memberikan tanggapan, menggunakan haknya untuk diam.
Permintaan wawancara ke Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan sudah dilayangkan, namun hingga tulisan ini dipublikasi belum ada balasan dari Dinas Pekerjaan Umum sendiri.
Kembali ke bapak Irfan Nasib, yang berharap pembangunan guiding block ini akan melibatkan mereka kedepannya. Menurutnya guiding block yang sudah ada kini kurang bermanfaat dan menjebak.
“Ngapain ngomong yang belum ada, yang udah aja itu pun nggak bermanfaat,” tutupnya.
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.