
Oleh: Dinar Fazira Fitri
Bagi Irwan, menambal ban tidaklah sulit. Tapi, kalau isi angin bayar pakai uang Rp100 ribu, itu baru rumit.
Lelaki yang kerap dipanggil “bang, om, atau wak” ini bernama Irwan. Terserah pelanggan panggil dia siapa. Cukup nama singkatnya saja yang disebutkan, karena tulisan ini akan bercerita sedikit panjang tentang pengalamannya.
Mahasiswa USU tentu tak asing dengan keberadaannya di tepi pintu 1 USU. Pagi ke malam, ia setia duduk dengan perkakas kesayangannya. Ditemani sematan rokok di jari yang menjadi penawar penat.
Lahir pada tahun 1961, kini usianya menginjak 63 tahun. Dirinya mulai bercokol di tempat yang sekarang sejak tiga tahun lalu. Tetapi, Irwan telah menggeluti pekerjaan ini dari lama sekali. Membuatnya lihai tangani semua keluhan pelanggan yang singgah. Mulai dari isi angin, bensin, tambal ban, hingga ganti ban, semua ia siap layani dengan harga wajar.
Meski begitu, Irwan tak bisa mengelak dari pelanggan yang suka berutang. Lebih-lebih lagi mayoritas mahasiswa. Tidak punya uang kecil ataupun dompet ketinggalan jadi alasan terlaku di sini. Misalnya, isi angin harganya dua ribu, tapi yang dikeluarkan uang sebesar Rp50 ribu atau 100 ribu. Dengan legowo, Irwan tak permasalahkan itu.
“Kalau nanti dibayarnya, saya terima, kalau enggak ya udahlah. Gak mungkin perkara dua ribu perak saya nukar lagi, jadi diikhlaskan saja,” ungkapnya.
Kisaran tarif yang Irwan tetapkan, tambal ban Rp15 ribu untuk satu lubang dan isi angin Rp2 ribu. Kadang masih ada yang memberi seribu. Untuk mobil, isi angin Rp5 ribu, dihitung per-ban. Berlaku pula untuk tambal ban dengan harga Rp15 ribu. “Kadang ada juga yang bayar Rp12 ribu, tapi saya biarkan ajalah. Saya percaya nanti ada lagi rezeki itu,” tuturnya.

Irwan menjalani usaha sehari-hari mulai pukul tujuh pagi hingga pukul delapan malam. Pelanggan yang singgah, tak lain sebagian besar adalah mahasiswa. Seharian ia disibukkan oleh pelanggan yang silih berganti. Hiruk-pikuk jalan raya bagai irama pengiringnya dalam bekerja.
Selama bergelut dengan pekerjaan ini, ia telah bertemu pelanggan dari berbagai kalangan. Dengan aneka karakter pula. Salah satu kejadian yang lekat di ingatan, kala jasanya dibalas tidak mengenakkan oleh salah satu oknum dosen. Usai memakai jasanya untuk mobil, oleh oknum dosen tersebut, Irwan harus terima bayaran yang tidak sesuai, tidak sopan pula.
Saat Irwan meminta harga yang seharusnya, dosen tersebut membalas, “’Ah, udah cukupnya itu untuk kau.’ Semenjak itu saya gak terima lagi pelanggan bermobil kalau dia laki-laki,” tukasnya.
Irwan suarakan ketersinggungan hatinya, namun tak ayal tetap ia terima upah seadanya yang diberi. “Saya di sini kan nyari makan, bukan nyari ribut,” tegasnya lagi. Dari kejadian itulah, hingga saat ini jika ada pelanggan bermobil datang, ia pastikan dulu bahwa si pengendara adalah perempuan.
Jenakanya sekitar enam bulan kemudian, oknum tersebut datang lagi untuk gunakan jasanya. Kali ini, ia mampir dengan sepeda, perihal ban kempes. Irwan sontak menolak dan bilang, “Gak bisa di sini isi ban sepeda, yang bisa mobil,” guraunya.
“Mungkin dia gak ingat pernah bicara seperti itu, tapi saya yang digituin, kan ingat,” tutur Irwan kembali.
Irwan juga bercerita, masa libur turut menjadi kendala. Terlebih, pada masa pandemi ketika segala aktivitas kampus berubah menjadi daring. Penurunan pendapatan sangat dirasakan, kadang jam tiga sore baru ‘buka dasar’. Maka saat aktivitas kuliah kembali sedia kala, ia amat bersyukur karena jumlah pelanggan tidak menipis lagi.
Itulah sepintas kisah yang menjejal dirinya. Dibantu dengan satu anaknya, mudahkan ia untuk bagi tugas ketika tercipta antre panjang. Ada yang minta didahulukan namun ia tetap perlakukan sama rata. Semua yang memakai jasanya, disebut ‘langganan’. Irwan percaya bahwa mereka datang ke tambal bannya sebab percaya dengan cara kerja dan hasilnya. Asalkan pelanggan puas, itu yang selalu Irwan patenkan dalam bekerja.