Judul | The Year Earth Changed |
Sutradara | Tom Beard |
Narator | David Attenborough |
Penulis Skenario | – |
Rilis | 16 April 2021 |
Durasi | 48 menit |
Genre | Dokumentasi |
Tersedia di | AppleTV+ |
Film ini mengingatkan kita bahwa bumi dan segala isinya tak perlu manusia, namun manusia perlu bumi dan segala isinya.
11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) resmi menyatakan COVID-19 sebagai pandemi. Cara hidup baru masyarakat manusia pun dimulai. Kepada rakyatnya, hampir seluruh pemerintah di dunia menyerukan hal yang sama: tinggal di rumah saja!
Kebanyakan bagi kita, kebiasaan baru ini terasa menyeramkan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kontak dengan dunia luar. Namun—bagi bumi dan makhluk hidup lainnya, pandemi COVID-19 seakan membawa kembali surga ke dunia mereka. Setidaknya, itulah yang coba digambarkan Tom Beard dalam film dokumenter terbarunya, The Year Earth Changed.
Dinarasikan oleh David Attenborough dan diabadikan dari lima benua sejak awal karantina wilayah, penonton coba diperlihatkan bagaimana alam merespon secara positif perubahan kehidupan manusia lebih dari satu tahun belakangan.
Di Pantai Juno, Florida, Amerika Serikat (AS), misalnya. Dari balik pasir putih, nampak muncul kepala binatang kecil. Untuk pertama kalinya, ia melihat dunia. Ia baru saja menetas dengan tenang di balik tumpukan pasir yang ditimbun ibunya. Seekor penyu tempayan rupanya.
Kaki-kaki mungil yang lebih mirip sirip itu bergerak dengan susah payah, berusaha mengeluarkan tubuhnya dari timbunan pasir. Usahanya berhasil. Tak jauh darinya saudara-saudaranya juga melakukan hal yang sama. Melihat biru air pantai, mereka seperti terhipnotis. Kawanan bayi penyu bergegas jalan ke arah ombak yang menghantam bibir pantai, seakan tak ada yang bisa menghentikan mereka. Laut pun seperti menyambut dengan lapang dada. Akhirnya, mereka tersapu ombak dan mulai berenang jauh ke dalam air asin itu.
Momen menakjubkan yang langka. Rupanya, setelah karantina wilayah dan orang-orang dilarang ke pantai, penyu-penyu punya kesempatan lebih besar untuk berkembang biak.
“Saat manusia dilarang ke pantai, angkanya (angka keberhasilan penyu tempayan membuat sarang telurnya) melonjak hingga 61%, angka tertinggi yang pernah kami lihat,” ujar Justin Perrault, peneliti penyu di kawasan tersebut.
Peningkatan yang dramatis, terutama untuk spesies yang terancam punah. Apalagi, setiap satu sarang telur bisa menghasilkan seratus lebih bayi penyu.
Bagaimanapun, pantai adalah tempat penyu membuat sarang untuk telur mereka. Namun, kini hampir seluruh pantai di dunia berubah menjadi tempat wisata. Kesibukan di pantai membuat penyu ragu membuat sarang telurnya. Tak mengherankan jika akhirnya jumlah penyu menurun drastis di seluruh dunia.
Namun, siapa sangka pandemi COVID-19 memberi harapan baru untuk spesies ini. Selama tak ada gangguan manusia di pantai, dengan tenang kini para penyu bisa membuat sarang dan bertelur.
Selain itu, kita juga diajak melihat ke sisi dunia yang lain, tepatnya ke Cagar Alam Maasai Mara, Kenya. Di antara sabana yang luas, nampak kucing besar bertotol sedang mengincar mangsanya. Mengendap di antara rerumputan tinggi, mata oranyenya tajam mengintai. Ia berlari ketika melihat mangsanya mulai curiga. Untung, kecepatannya jauh unggul dari mangsanya. Singkat cerita: si Citah berhasil merubuhkan si Kijang.
Rupanya, si Citah merupakan ibu dari dua anak. Ia tak berburu untuk diri sendiri, melainkan untuk diberi ke anak-anaknya. Kedua anak citah yang masih berumur enam bulan harus bersembunyi jauh selama ibu citah berburu. Di sinilah tantangan alam dimulai: si Ibu menghadapi dilema.
Tubuh kijang hasil buruan terlalu besar untuk dibawa si Ibu ke anak-anaknya. Sedangkan, ia juga tak bisa pergi menjemput anak-anaknya, jika tak mau hasil buruannya dicuri oleh hyena atau singa.
Solusinya: si Ibu harus memanggil mereka dengan mengeluarkan suara pekikan lembut—seperti cuitan buruk gagak. Namun, ia harus berhati-hati. Jika pekikannya terlalu sering dan keras, si Ibu malah akan menarik perhatian musuhnya, hyena dan singa: nyawa anak-anaknya pun terancam.
Tapi berkat karantina wilayah, Cagar Alam Maasai Mara ditutup untuk wisatawan. Ini memberi berkah tersendiri untuk citah. Soalnya—sebelum itu, menonton citah berburu jadi sajian favorit para pengunjung. Akibatnya, suara kendaraan dan keriuhan obrolan pengunjung malah meredam suara panggilan Ibu citah. Ia terpaksa memanggil lebih sering dan dengan suara yang lebih keras—sehingga seringkali menarik perhatian musuhnya dan mengancam nyawa anak-anaknya.
“Pada masa sebelum COVID, satu dari tiga anak (citah) tidak bertahan hidup,” ungkap Salim Mandela, peneliti citah di kawasan itu. “Tapi saat ini, ada lebih banyak anak (citah) yang berumur lebih dari tiga bulan dan itu membuat kami optimis: kali ini akan ada lebih banyak anak (citah) yang bertahan hidup,” lanjut Mandela semangat.
Lagi-lagi, aktivitas yang manusia anggap menyenangkan ternyata punya dampak buruk bagi makhluk lain. Pandemi COVID-19 kembali menyadarkan kita sekaligus memberi harapan untuk si Citah.
Selain dua contoh di atas, masih banyak lagi ditampilkan berbagai kejadian menakjubkan berkat ‘ketidakhadiran’ manusia, seperti: pegunungan Himalaya yang bisa terlihat dari jarak 200 kilometer; kawanan paus bungkuk di Alaska Tenggara, AS, yang bisa saling berkomunikasi jauh lebih baik; kawanan rusa di Nara, Jepang, yang kembali ke makanan sehat; macan tulul di Mpumalanga, Afrika Selatan, yang mulai berani berburu di siang hari; dan masih banyak lagi.
Tak lupa ditampilkan berbagai data spektakuler, bagaimana bumi meremajakan diri selama lebih dari satu tahun belakangan, seperti: peningkatan 80 persen kadar oksigen di sungai Gangga, India; kebersihan air yang tadinya berada di level buruk melonjak ke level sangat baik di pantai Atlantik, Maroko; di Tiongkok, tingkat gas racun di atmosfer berkurang setengahnya; Los Angeles, AS, punya kualitas udara terbaik setelah 40 tahun; bahkan setelah 12 bulan pembatasan wilayah, emisi karbondioksida global turun 6 persen lebih—penurunan terbesar yang pernah diukur.
Ya—seperti judul film, 2020 memang tahun di saat bumi berubah. Bagi manusia, mungkin perubahan yang negatif. Namun bagi bumi dan makhluk hidup lain, pandemi COVID-19 seakan jadi hadiah terbaik dari alam. The Year Earth Changed mengingatkan kembali betapa egoisnya manusia.
Bagaimanapun, kita hanya seorang tamu dari berjuta tamu lainnya yang tinggal di rumah yang kita sebut bumi ini. Namun, kita merasa bumi cuma untuk manusia, yang lain hanya properti untuk mendukung kehidupan kita. Bahkan, kita sudah lupa merawat rumah sendiri. Kita terus mengotori rumah ini tanpa ingat menyapunya. Kini, rumah kita sudah mau rubuh, namun tak ada usaha memperbaikinya.
COVID-19 seakan datang sebagai satpam baru di rumah ini. Ia menertibkan cara hidup kita, sekaligus memberi udara segar untuk tamu lain dan rumah itu sendiri. Namun, si satpam hanya tinggal sementara, cepat atau lambat ia akan pergi. Walaupun begitu, ia berharap telah menyadarkan manusia, bahwa mereka perlu hidup berdampingan dengan tamu lain dan harus merawat rumah itu. Jika tidak, akan datang satpam lain yang mungkin jauh lebih galak.
Ya, seharusnya kita mulai memikir cara hidup yang lebih baik untuk manusia dan lingkungan hidup ke depannya. Seperti yang dinarasikan Tuan Attenborough:
“Tahun yang luar biasa ini—tahun ketika bumi berubah, tak hanya memperlihatkan bahwa kita dapat membantu satwa liar berkembang. Namun, jika memang serius melakukannya, kita juga dapat membuat planet ini semakin sehat. … Jika kita ingin sukses di masa depan, sekarang adalah waktu yang tepat untuk menemukan cara berbagi tempat dengan semua kehidupan di bumi.”