Oleh: Nurhanifah
Judul | : Hujan Bulan Juni |
Penulis | : Sapardi Djoko Damono |
Penerbit | : PT Gramedia Pustaka Utama |
Tahun terbit | : 2015 (Cetakan Keenam) |
Jumlah halaman | : 144 Halaman |
Harga | : Rp 50.000 |
Dibalik kisah cinta ini, ada pesan penting yang ingin Sapardi sampaikan. Sapardi sampaikan pesan mengenai isu keberagaman di Indonesia dalam novelnya.
Sapardi Djoko Damono-biasa dipanggil SDD- menyajikan novel Hujan Bulan Juni dengan rajutan kisah cinta manis. Kisah cinta Sarwono, dosen Program studi (prodi) Antropologi Universitas Indonesia dengan Pingkan dosen Prodi Jepang Universitas Indonesia. Ia kisahkan perjuangan cinta yang terhalang agama dan kebudayaan, layaknya kisah cinta tentu ada perjuangan untuk mempertahankan.
Sarwono tergambar sebagai tokoh utama yang dilema dengan dongeng Tonsea, kisah cinta Pingkan dan Matindas. Ia selalu bertanya-tanya bisakah ia menjadi ‘Matindas’ untuk Pingkan? Perang seperti apa yang akan ia alami supaya bisa memenangkan Pingkan. Ketakutannya memuncak saat Pingkan berada di Kyoto, akankah Pingkan dimenangkan oleh ‘Mogogunoi’ seperti dongeng Tonsea tersebut ?
Ah, biarkan mereka yang memilih. Toh, akhirnya perjuangan mereka memiliki krikil-krikil yang harus dilewati dengan solusi.
Cinta Sarwono sepertinya tak bertepuk sebelah tangan. Terlihat jelas dalam impian Pingkan yang ingin tinggal di Jepang bersama Sarwono. Sar, kalau perkawinan kita jadi masalah lebih baik nanti kamu ke Jepang aja nyusul aku, ya. Kita nikah di Kyoto. Atau kita tidak usah pulang saja, kerja di sana. Pernyataan Pingkan sedikit melegakan Sarwono, ia telah menyatakan keinginannya itu.
Bukan tanpa alasan, Pingkan sadari cintanya tak akan bersatu di Indonesia. Peraturan Indonesia melarang pernikahan dengan keyakinan berbeda. Keyakinan mereka berbeda. Pingkan seorang Kristiani sementara Sarwono seorang Muslim.
Sesuatu yang berbeda adalah salah, tergambar dari sikap keluarga Pingkan yang mencoba menjodohkannya dengan seorang dosen di tanah kelahirannya. Kalau nanti kalian kawin anak-anakmu mau ikut siapa? Pertanyaan ini kembali menyudutkan Pingkan. Ya jelas ikut bapak-ibunya! Ikut siapa lagi, katanya dalam hati.
Perjodohan ini seperti paksaan, dalam perjalanannya ke Surabaya bersama tantenya Pingkan kembali dibujuk meninggalkan Sarwono. Bahkan mereka menawarkan perkawinan dengan Pak Tumbelaka-dosen UNSRAT- sebelum Pingkan berangkat ke Jepang. Alasannya supaya Pingkan kembali ke kampung halaman setelah belajar di Jepang.
Meski ada penolakan, perbedaan juga dapat diterima. Penerimaan diperlihatkan dari Bu Pekanluhu-Ibu Pingkan- yang memberi lampu hijau mengenai hubungan mereka. Perbincangan khusus mengenai kelanjutan hubungan ini, dibicarakan Sarwono dan Bu Pekanluhu empat mata. Ia tanyakan keseriusan Sarwono untuk mengawini anaknya. Keputusan ditetapkan Bu Pekanluhu “Kamu menantuku, Matindas-Sarwono-”.
Ditengah kisruh isu keberagaman di Indonesia, ada baiknya anda membaca novel ini untuk menentukan sikap. Sebut saja Gerakan Fajar Nusantara dan LGBT(Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), yang masih hangat diperbincangan. Novel ini bisa jadi memberikan pandangan yang berbeda mengenai isu keberagaman.
Jangan mengerutkan kening ketika Yesus digambarkan sebagai gembala gondrong dalam perbincangan mereka. Perbincangan ini benar-benar menunjukkan cara saling menghargai satu sama lain. Tak ada penolakan yang mereka tunjukkan mengenai keyakinan, justru saling megingatkanlah untuk ibadah menurut kepercayaan yang mereka yakini. Seperti Pingkan yang mengingatkan Sarwono untuk Shalat Jumat, saat menemani keluarga Pingkan berwisata di Solo.
Sebagai inovasi karya, SDD bisa dikatakan kurang berhasil. Sebab sebagai seorang penyair SDD nampaknya tak bisa lepas dengan sajak-sajaknya. Novel ini masih berisi puisi karyanya, seperti Tiga Sajak Kecil. Meski berdiri sendiri, masih ada persamaan dalam karya berjudul Hujan Bulan Juni. Sama-sama berisi puisi.
SDD bilang novel ini merupakan pembuktian bahwa setiap karya dapat diperbarui dengan inovasi penulis. Pembuktian SDD berhasil, sebab terhitung dari Juni 2015 hingga Desember 2015 buku ini telah dicetak enam kali. Pencetakan dilakukan setiap bulan.
Hanya saja dalam novel ini banyak kata-kata berbahasa Jawa yang tak diterjemahkan, membuat pembaca yang tak mengerti akan mengerutkan kening sejenak. Pun, ada satu setengah halaman berisi sajak panjang tanpa tanda baca, membuat pembaca hampir kehabisan nafas ketika membacanya. Tapi, kekurangan ini tertutupi dengan alur cerita yang SDD sajikan.
Bagi anda penikmat sajak karya SDD tak perlu khawatir, sajak karyanya masih bisa anda nikmati dalam novel ini. Lagi, bagi pecinta kisah romantis dalam balutan isu keberagaman saya rasa novel ini bisa jadi teman untuk berdiskusi memahami sisi lain sebuah keberagaman di Indonesia yang masih diacuhkan.