Oleh : Yael Stefany Sinaga
Tidak ada yang aman walau sepertigaan simpang membelah menjadi dua
Mereka yang mengatasnamakan pendosa selalu saja riuh
Telinga pekak dengan kumandang kebenaran absolut yang semu
Semua tak ada yang abadi sampai ibu mencucurkan air susu
Semua hanya repetan belaka sampai ayah membungkuk sakit tak berdaya
Angin malam itu menandakan akan ada bintang jatuh
Mewarisi sebuah api gejolak untuk menerima dengan akal sehat
Kadang kala menanyakan perihal kehidupan yang semrawut
Laksana cinta seakan tak mampu sebagai penengah bagi para pedebah
Itulah sebabnya aku hanya berdiam diri dipinggiran kolam
Bilamana kepala dimahkotai sebuah hiasan duri dari daun mint
Begitu pula mereka merongrong meminta belas kasihan sang tuan
Bilamana jantung hati ditusuk berkali-kali dengan belati emas
Begitu pula mereka meringis dengan ratapan gigi yang menakutkan
Bila mana dan begitu pula lah manusia sepatutnya untuk tidak saling menyakiti
Kulihat bahwa dunia semakin penuh dengan nafas penderitaan
Fatamorgana hanya menjadi bualan bahwasanya realita sangat lah kejam
Pembenaran serta air mata tak kunjung selesai bahkan semakin menjadi-jadi
Tanda-tanda bahwa arus balik akan terjadi barang 100 tahun kedepan
Memuja sampai menyembah hingga tersungkur sehingga menjadi perbudakan
Hari ini berharap akan ada pengharapan tumbuh sebatas tunas
Mengakar, menjalar sampai ke tulang rusuk hingga rongga dada
Menjadi tanaman yang hidup atas dasar kebahagiaan akan kecukupan
Berbuah sampai akhirnya kembali bertumbuh untuk terus bertahan hidup
Ibarat batu megalit yang tak tersusun dari sepuh yang didoakan
Kelak akan berkumpul generasi tak bertuan menjelma sebagai pembangkang
Bergerak atas dasar kesatuan tak terhingga
Menciptakan surga dengan versi terbaik
Membangun sama rasa sama rata
Hingga membentuk yang namanya tatanan yang berbahagia dan penuh cinta
Didedikasikan bagi mereka yang kasat mata. Yang bersembunyi di dalam sepi. Mereka bagian kita yang
terlupakan.
Dan mereka ada.